Kamis, 20 Januari 2011

Cerpen-Catatan tertinggal


Catatan tertinggal
 
Gadis kecil itu akrab disapa Elena. Usianya baru menginjak 5 tahun. ia memiliki seorang adik perempuan bernama Maya. Maya baru berusia 4 tahun. Elena sangat menyayangi adiknya, ia selalu berusaha menjadi kakak yang baik untuk Maya.
Kemana pun Elena pergi, Maya selalu bersamanya. Elena adalah sorang gadis kecil yang riang, ceria, manis, dan ramah. Ia memiliki kulit yang putih bersih, rambut panjang yang sedikit pirang, dan kedua bola mata yang berwarna kecoklatan. Anggun sekali.
Tetapi, semua keceriaan Elena terhempas sudah, diusianya yang baru menginjak 5 tahun, ia difonis dokter mengidap kanker otak dan dokter telah memprediksikan bahwa Elena hanya dapat bertahan selama 135 hari lagi.
Awalnya gadis mungil itu tidak mengetahui bahwalah ia tengah mengidap penyakit yang siap merenggut nyawanya itu. Tetapi disuatu malam, ia tak sengaja mendengar percakapan bunda dan ayahnya. Elena memang masih kecil, tetapi daya pikirnya sudah melampaui batas pemikiran anak sebayanya, ia mengerti apa yang dibicarakan ayah dan bundanya dimalam itu.
Elena kecil yang tadinya berdiri tegap dibalik pintu kamar bundanya, seketika tersungkur dan menangis ketika mendengar perkataan ayah dan bundanya tersebut.
Mendengar tangisan anaknya, ayah dan bunda Elena segera menghampiri anak mereka. “sayang, Elena, kenapa nangis ?” Tanya bunda.
“aku takut kehilangan Bunda, Ayah, sama Maya, aku sayang kalian. Aku ga mau meninggal, Bun..” jawab Elena kecil
“tidak sayang, kamu itu kuat, kamu bakal kuat selamanya. Kamu harus percaya sama mukzizat Tuhan, bukan sama Dokter”.
“tapi Elena takut, Bun…”
        Mendengar perkataan malaikat kecilnya, ayah dan bunda Elena terhentak untuk memeluk Elena. Mereka berusaha menenagkan pikiran anaknya yang sedang kacau itu. Sampai tak terasa, tumpahan air mata Elena dan kedua orang tuanya pecah seketika, adik Elena, Maya, hanya diam membisu memperhatikan tingkah keluarganya. Mungkin ia tak mengerti apa yang sebenarnya terjadi.
        Hari demi hari bergulir, keadaan Elena semakin melemah. Ayah dan bunda Elena sengaja mengambil cuti kerja selama beberapa bulan demi memberikan perhatian seutuhnya kepada putri sulung mereka, Elena.
        Setiap hari adalah keceriaan untuk Elena dan adiknya, Maya. Ayah dan bunda Elena setiap hari membawa mereka ketempat-tempat hiburan yang belum pernah Elena dan Maya kunjungi sebelumnya.
        Elena yang memang hobi melukis, selalu menggambarkan kegembiraan hatinya sepulang dari tempat-tempat hiburan tersebut. Ia melukiskan apa saja yang telah ia lalui bersama keluaga kecilnya. Lukisan yang sederhana dari tangan seorang gadis kecil yang malang, tak begitu indah, namun memiliki makna tersirat yang dalam dan setiap lukisannya yang telah selesai ia buat itu selalu ia pajang dikamarnya, tak heran jika kamar Elena penuh dengan warna-warni cat air.
        Tak terasa 99 hari telah Elena lalui tanpa mengenal waktu, fonis kematian pun semakin menghantui kedua orang tua Elena, mereka tak sanggup untuk melepas anak sulung mereka itu. Rasanya baru sebentar mereka bersama Elena, namun dengan 36 hari lagi mereka akan kehilangan sosok bidadari tersebut.
        Elena sungguh gadis yang berhati emas, ia selalu membagi keceriaannya pada seluruh orang didekatnya. Ia tahu bundanya menangis, maka ia selalu melukiskan bunga mawar merah muda yang akan ia berikan kepada bundanya tercinta tiap kali ia menangis. Di dalam lukisan bunga tersebut, Elena juga menyisispkan beberapa kata sederhana seperti “bunda tersenyumlah !” atau “bunda, Elena sayang bunda”.
        Bunda Elena hanya bisa tertegun menanggapi bidadari mulianya, ia selalu tersenyum pada Elena, padahal hati kecilnya menangis pilu. Ia tak percaya dengan fonis dokter, ia hanya percaya pada Tuhan. Karena ajal setiap manusia ada ditangan Tuhan. Tak henti-henti pula ia mendoakan Elena kecil, tangis yang menyertai disetiap doanya berharap akan dikabulkan oleh Tuhan.
        Dan inilah saatnya, saat yang tak pernah diharapkan oleh kedua orang tua dan adik Elena. Ini adalah hari yang ke 135, dimana dokter telah memprediksikan umur Elena pada hari ini.
        Tetapi, doa bunda Elena terkabulkan, Elena tidak pergi meninggalkan mereka. Hanya saja, kaki Elena sudah tak sanggup lagi untuk digerakkan, dan kedua pipi Elena berubah mengembung karena salah satu syaraf diotak Elena, telah rusak dimakan oleh sel-sel kanker yang semakin meluas.
        Sejak saat itu Elena harus menggunakan bantuan kursi roda jika ingin berpergian. “Bunda..” sapa Elena dihari ke 139-nya.
“iya, nak..”
“Bun, Elena takut ga bias ngelukis lagi..” ringik Elena.
“kamu bisa kok nak, coba kamu lukis wajah Bunda” rayu bundanya,
“aku ga bisa Bun. Aku ga bisa ngelukis wajah Bunda kalo Bunda nangis kaya gini.. aku ga suka Bunda nangis”
“engga, Bunda ga nangis sayang, Bunda tadi kelilipan aja kok”
“aku ga percaya ! pokoknya Bunda ga boleh nangis, aku ga suka liat Bunda nangis, Bunda cengeng, aku aja ga nangis, masa Bunda nangis !” lontar Elena polos.
        Bunda Elena hanya bisa tersenyum nakal menanggapi anaknya. Hari-demi hari ia selalu mencoba membuat Elena tertawa dengan berbagai cara. Ia tak ingin Maya, adik Elena yang baru saja mengenal kakaknya tersebut harus kehilangan.
        Dihari Elena yang ke-222, senyum Elena tak lagi tampak, ia mendadak koma. Seluruh keluarga Elena hanya dapat bedoa demi kesembuhannya.
        Dan kini tibalah sudah, dihari yang ke-225, Elena benar-benar tertidur untuk selamanya, ia tak bisa melukis kembali, senyumnya pun tak akan bisa ia bagi kembali untuk orang-orang yang sedang bersedih dihadapannya, dan ia tak bisa lagi menghapus air mata bundanya itu. Ya, elana telah pergi untuk selamanya dihari yang ke 225.
        Malaikat kecil itu telah meninggalkan berjuta kebahagiaan bagi orang-orang yang mengenalnya. Lukisan terakhir Elena yang bertema hati, telah dipajang di museum sebagai tanda penyemangat bagi anak-anak yang mengalami nasib seperti Elena.
        Lukisan tersebut, bermakna bahwa, walaupun Elena menderita dengan penyakitnya, ia mampu untuk terus mengukir senyum diwajah semua orang. Ya, fonois dokter salah, Elena tidak pergi dalam waktu 135 hari, ia pergi diharinya yang ke 225. Ajal itu ada ditangan tuhan, bukan dokter yang menentukannya. Dan didalam lukisannya itu juga, Elena berpesan bahwa kehidupan memang indah pada akhirnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar