Rabu, 18 Mei 2016

Cerpen-Gaun Asa

(Published on  PULPEN  )

Ku harap ini hanya dongeng. Terlantun dari bibir penuh irama kasih, mengantarku ke dunia terindah yang akan kutapaki. Ke didunia mayaku. Memang harap tak kunjung tiba. Hanya asa yang bergelayut manja menanti. Entah sampai kapan. Kuharap ini hanya cerita. Tak sanggup kukayuh roda kehidupan ini menuju peraduan yang abadi. Entah, aku lelah dengan drama kehidupan ini. Sungguh.

                Kau, dengan segala kebaikanmu memberikan aku suapan terlezat yang pernah masuk ke tubuhku. Kau, dengan segala ketulusanmu, memberikan ku hari-hari terindah yang pernah ada. Dan kau, dengan segala keindahanmu, memberikanku sejuta warna pelangi. Kau, segalanya.

                Tapi, kukira kau telah melupakanku. Kau lebih memilih dia. Lelaki yang tidak kusukai itu. Kau tahu, aku membencinya. Tidak, kau tak mengerti. Aku tak ingin kasih mu terbagi. Cukup, hanya cukup untukku seorang. Tapi, dia telah merampasmu dariku. Bagaimana aku tak marah ? aku hanya ingin engkau menjadi milikku seorang, ibu..

                ini keputusanku dan tak ada seorangpun yang dapat memecahkan bola tekat ini. Jarum jam yang terus berdenting, seolah memutar kembali kenangan hangat itu. Tapi, sebelum sang rembulan melepas jubahnya dan sebelum ayam pagi berkokok, aku sudah harus pergi dari sini. Bukankah itu maumu ?


********

                “kemaanaaa... kemanaa... kemanaaa...kuharus mencarii...hihihihi anakkuuuu...” wanita paruh baya itu terus saja memekikkan suaranya. Berjalan tak tentu arah dan terus berjalan. Geraian rambut hitamnya yang kusam, sengaja ia kibas-kibaskan. Wajahnya berlumur entah apa, mungkin lumpur atau tanah. Bajunya yang lusuh seolah setia melekat di tubuhnya. Sinar mentari membuat bayangannya terlihat lebih tua dari pada usianya.
                Berpuluh kilo jalan telah ia lewati, berharap menemukan jejak yang tertinggal. Asa yang teguh tetap dipegangnya dengan erat, serat genggamannya pada kantung plastik hitam yang entah apa isinya itu. Sedang tangan kirinya memeluk erat boneka beruang kecil yang sebenarnya lucu, andai tidak usang.
                Sekelompok anak kecil tiba-tiba muncul dari sudut gang dan melemparinya dengan kerikil-kerikil tajam. Ia tak membalas. Meringkuk sembari memeluk erat boneka dan plastik asoy hitamnya, hanya itu yang ia lakukan. Tak cukup rupanya, anak-anak itu malah mengerumuninya. “orang gilaaa..orang gilaaa..orang gilaaa..”.

                Ia ketakutan. Tubuhnya menggigil. Dipandanginya deretan anak-anak itu, pandangannya jatuh pada seorang gadis kecil berbaju pink dipermanis dengan kuncitan beruang di rambutnya, lalu ia tersenyum, “anakku ? anakkuuu.. hihihihi ma..ma. ini mama. Ayo siniiii... hihihihi”.

                Tawa anak-anak itu serentak terhenti manakala wanita itu berdiri dan berusaha mendekati sang gadis cantik itu. Mereka berhamburan ke jalanan, meninggalkan sang gadis kecil di tempat wanita tua itu. Wanita tua itu berusaha mendekatinya. Ingin rasanya ia peluk & kecup kedua pipinya itu. Ia rindu.. ia rindu pada anaknya. Ikat rambut beruang dan baju merah muda yang dikenakan anak itu mengingatkan memorinya pada sang buah hati. Ia berharap, sangat berharap yang ada dihapannya sekarang adalah darah dangingnya.

                “Kira ? Kira anak mama ? Kira, mama cari Kira kemana-mana, kok Kira ada disiiini ?” tanyanya penuh harap. Suaranya benar-benar lirih. Sang gadis kecil itu masih saja diam ditempat memperhatikan wanita tua dihadapannya. Namun, ketika tangan wanita tua itu hampir menyentuh pipinya, tangisnya menggelegar, tapi ia tetap saja berdiri disitu.

                “Kira kenapa nangis ? ini mama. Maaaa....ma. sini mimik sama mama...” , di hapusnya air mata pipi sang gadis dengan penuh kasih. Lalu ia tersenyum. Tapi senyumnya kembali mengatup mana kala kulit keringnya kerkena lemparan batu lagi. Kali ini bukan main-main, rupanya ibu dari sang gadis kecil dihapannya sedang menaptapnya geram dan segera menarik tangan si gadis kecil dari hadapannya. “heh ! orang gila ! pegi sana ! kamu apain anak saya ? he ? pergi kamu !!!!”

                “anakku... anakkuuuuuuuuuuuuuuuu...” ia berteriak histeris seiring kepergian sang gadis kecil. Entah mengapa ia merasa hatinya kembali kosong. Nalurinya tercabik sudah. Air mata itu tak sanggup lagi dibendungnya. Boneka dan bungkusan plastik itu terus di dekepnya membuat noda kembali tercipta dibadan boneka itu. “Kiraa....jangan ambil anakku...”. ia pun berlari mengejar si ibu yang membawa gadis kecil tadi, tak dipedulikannya klakson-klakson mobil yang memekikkan telinganya, ia terus berlari berusaha mendapatkan belahan jiwanya yang hilang. Na’as, sebuah mobil minibus yang melaju kencang menghentikan langkahnya...


*******

                Aku terdiam membisu memandang hujan yang  turun dengan derasnya. Memaksa sang mentari untuk meringkuk dalam jubah kelabunya. Deraian air mata ini rasanya juga terus menderai seiring rintik itu menyentuh bumi, membasahi hati yang luka. Perih. Perlahan kupejamkan mataku, tapi air mata ini tak kunjung jua berhenti. Kenangan-kenangan bisu itu tetap saja berputar dalam memori yang kelu. Film-film tanpa suara itu terus saja berputar bak bianglala yang tak terhentikan. Ingin kukutuk diri ini.

                Kembali kubuka mataku. Memandangi sebuah gaun merah muda yang ku kenakan dengan sebuah boneka beruang kusam yang kini kudekap. Memandangi sebuah gundukan ranah merah itu. Mengapa seakan Tuhan tak pernah adil kepadaku ? seolah Ia tak memberikan kesempatan kedua untukku. Derasnya hujan menghapus air mata yang ikut luluh bersamanya. Beribu maaf dan sesal berkutat dihati ini.

                “Ma, terima kasih atas semuanya. Kira tahu, mungkin sulit untuk mama memaafkan anak yang durhaka ini. Tak pantas memang Kira ada disini. Tapi Kira yakin, kesucian dan keteguhan hati mama untuk mencari Kira selama ini tak akan pernah pudar. Karena itulah mama. Ma,  Kira mohon maafin Kira, Mengapa Tuhan mengirim Kira sebagai perantara Izrail pada mama? kira ga bermaksud membunuh mama. Ma, andai mama bisa membuka mata mama kembali, Kira ingin memberikan apapun untuk mama. Ma, andai mama bisa membuka mata mama walau hanya 5 detik, Kira ingin mama melihat kira mengenakan baju dari mama ini. Baju merah muda kesukaan kira. Ukurannya pas, ma. Hati mama begitu tulus untuk Kira, hingga disaat terakhir mama, mama masih saja mencoba mencari anak yang durhaka ini hanya untuk memberikan baju kesukaannya yang dirajut dengan segala asa, harapan, dan air mataa mama. Maafin Kira maa...”

                Hujan akhirnya berhenti. Seolah menyuruh tangis ini diam. Mengantarkan seorang ibu dengan jiwa malaikat yang kini dipeluk bumi dengan iringan tangis penyesalan sang belahan jiwa yang selama ini dicarinya entah kemana...