Senin, 06 Desember 2010

Cerpen - my life story (part-1)


My life story

Betapa indahnya bila aku menjadi suci kembali bagiakan burung merpati putih yang tinggi diawan, tak ada kesedihan di dada, tak ada dendam di hati, tak ada permusuhan dalam hidup, tak ada air mata kesedihan yang memilu, tak ada kata-kata perpisahan, tak ada cinta yang harus aku tangisi, tak ada perasaan benci dalam benak, dan tak ada perasaan egois terukir. Tapi, mimpi tinggal lah mimpi, bagaikan awan yang tak akan mungkin dapat tergapai oleh jari-jemariku.
Kali ini aku melangkahkan kakiku kembali dengan sejuta rasa kebimbangan didalam hati. Malam semakin larut, Bintang tak kulihat diatas langit dan Rembulan menyembunyikan kilauan sinarnya yang indah. Yang ku tahu, sisa tetesan air hujan masih mentes disetiap ujung ujung daun dan pepohonan menandakan bahwa tadi hujan lebat telah menguyur mereka. Aku terus berjalan, tak tau apa yang harus aku fikirkan karna mungkin saat ini fikiranku sudah tidak berfungsi hingga aku malas untuk berfikir. Cuaca  semakin dingin, Arloji di lengan masih menunjukan pukul sepuluh malam. lampu – lampu jalan yang berdiri di pinggiran jalan kota menemani setiap inci langkah ku yang tak tau harus kemana aku melangkah. Mobil mobil dan kendaraan lain masih berlalu lalang di malam yang dingin ini. Aku berhenti di sebuah tortoar jalan dan aku duduk di pinggirnya dengan melamunkan semua yang terjadi begitu cepat dalam hidup ku.
“udah aku bosan kaya gini! lebih baik kita cerai !”, ucap seorang  suami pada istrinya.
“baik, aku tunggu kamu di pengadilan agama secepatnya !”, balas sang istri dengan penuh emosi, mereka terus memuncak dan memanas, aku hanya diam dengan isak tangis diantara mereka. Sesekali aku hanya memandang pilu penuh haru kearah bunda yang telah berlinang air mata. Entah apa yang mendorong mereka untuk bercerai, dulu aku benar-benar polos dan tak mengerti apa-apa.
        Waktu itu aku masih berusia 4 tahun, aku terpaksa hidup tanpa sosok seorang ayah, ya tentu saja. Dulu, orang yang paling dekat denganku adalah bunda dan usiaku pun masih 4 tahun , jadi hak asuhku jatuh kepada bunda. Hari demi hari aku beserta bunda dan kedua orang saudara lelakiku hidup sebatang kara, tak ada yang peduli, kasihan, atau pun terharu.
        Tetapi, siapa sangka, setelah kepergian ayah yang kini telah mempersunting seorang wanita lain, bunda tak kunjung ingin mencari pengganti ayah, ia tetap bersikeras untuk fokus terhadap aku dan kedua orang saudaraku. Sungguh wanita mulia.
        Kini terhitung sudah usiaku yang menginjak 13 tahun, berarti sudah lebih kurang 9 tahun dari perpisahan ayah dan bunda, bunda mulai tertarik untuk memiliki seorang pendamping hidup yang baru untuknya, tetapi aku jelas-jelas menentang keinginnanya itu, sampai-sampai aku mengancam pada bunda jika ia menikah dengan lelaki itu, aku akan pergi dari rumah. Setiap malam aku mendengar isak tangis darinya, isak tangis yang membuat hatiku bergetar, tetapi egoku benar-benar tak ingin mempunyai ayah yang baru, aku tak ingin kasih sayang bunda berubah padaku karena harus terbagi dengan lelaki itu. Aku memang keji tak berperasaan.
        Duduk di kelas 2 SMP terfaporit di daerahku tidaklah membutuhkan biaya yang sedikit, belum lagi kakak dan adikku yang juga bersekolah di sekolah swasta terbaik. Soal pendidikan, bunda memang menginginkan yang terbaik untuk kami, walapun keadaan ekonomi terkadang membuatnya harus banting tulang.
        Sebelum mentari terbit, ia telah terjaga dari tidur lelapnya, ia mengecup kedua kaki mungil kami, membisikkan do’a ditelinga kami, dan menyuruh kami untuk bangun dengan sangat lebut, kemudian kami disodorkan dengan beraneka macam hidangan yang mewah, hasil kerja kerasnya seharian. Susu dan ayam, tak pernah tak tersedia. Semuanya ia berikan pada kami agar kami sehat, agar kami kuat, agar kami dapat bertenaga di sekolah nanti. Tetapi, apa yang ia makan ? tak sedikit pun nasi dan susu ia kunyam, hanya segelas air putih, “bunda tak lapar, nak. Makanlah.. jangan risaukan bunda.” Itu ujarnya setiap aku bertanya mengapa bunda tidak makan. Itu semua untuk kami, kami, dan kami, anak-anaknya.
        Kini bunda telah rapuh, penyakit mulai menghampirinya secara perlahan. Setiap hari ia habiskan diluar rumah, berusaha mengaisi pekerjaan ditengah-tengah jadwalnya yang padat, berusaha mengais rezeki untuk kami bersekolah esok. Aku tak menyangka, ditengah penderitaannya untuk menjadi seorang single parent, kini ia harus menderita karena dokter telah memfonis kanker serviks.


NB : ok, readers bagaimana kelanjutan kisahnya ? karena penulis menuliskan cerita ini menjadi 2 part, yang dimana "aku" harus menerima kenyataan bahwa bundanya difonis tidak akan dapat pulih selain operasi yang beresika, so don't miss it ! hehehhe keep on posting guys ! ^^