Sabtu, 12 Mei 2012

Cerpen-Mercusuar


Laki-laki bertubuh kurus itu berjalan gontai di bawah terik matahari. Sebuah kemeja  dan celana bahan menutupi tubuhnya yang kurus. Sepasang sepatu sandal melekat di kakinya. Rambutnya panjang, matanya cekung, tetapi pandangannya tajam. Sebuh ransel berwarna coklat melekat dipundaknya, dia terus berjalan menuruti kehendak hatinya ke arah laut pelabuhan itu.
            Laut memang mahaluas.  Ia sendiri bingung menafsirkan arah tujuannya. Kabut pagi yang menembus tulangnya terasa menyakitkan. Biasan sinar matahari yang baru saja bangun dari singgasananya semakin menguatkan tekatnya, apapun yang terjadi, ia harus menemukan kenangan masa kecilnya. Ia rindu, sangat rindu. ia hanya bisa pasrah atas kehadiran badai yang meluluh lantakan semua perahu akal sehat yang sedang berlayar di lautan hatinya.
***
            “9..10.. udah belom nih ??”
Seorang gadis kecil berlarian kecil ke segala sisi di padang rumput itu. Teriknya mentari tak lagi durisaukannya. Rambut ikalnya yang terikat rapi oleh pita merah muda melonjak-lonjak mengikuti semangatnya. Bibir mungilnya mengembang ketika melihat juntaian kain merah yang tertiup angin, tepat di balik semak ilalang itu.

“hayooo ! Tio kena ! ye.. yee..ye..yee.. aku menang !” lonjaknya kegirangan.

 “yaah.. aku kalah deh !” bocah kecil itu mengusap-usap kepalanya yang telah hangus terbakar panasnya matahari, seolah ia begitu putus asa.

“Tio ! kita main sepeda  aja yuk ? aku bosen !”

            Bocah lelaki itupun mengiyakan tanpa menghiraukan akibat apa yang akan ia dapat setibanya dirumah nanti. Mamanya pasti akan mengomel panjang lebar melihat anak lelakinya berubah menjadi lebih kecoklatan dengan tanah dan keringat di bajunya.
            Padang ilalang ini dulunya adalah pantai. Namun, seiring waktu, wilayah laut pun bergeser dan dimulailah titik titik kehidupan rumput hijau ini. Tak jauh dari pantai, ada sebuah menara tua. Sebenarnya dulu itu menara mercusuar untuk membantu penerangan laut dimalam hari agar para nelayan tidak tersesat atau menabrak karang disekitarnya. Walau kini menara itu tak lagi berfungsi, bangunannya tetap terlihat kokoh dan megah dengan ornamen batu kuarsit sebagai pondasinya.
            Kedua bocah itu bermain dengan riangnya. Beratnya pedal yang mereka kayuh saat bermain diantara pasir-pasir pantai itu malah mereka jadikan tantangan untuk dulu-duluan mencapai menara diujung sana. tapi belum juga sampai, mereka malah berbaring di pasir pantai itu. Menikmati indahnya masa kanak-kanak. Desir ombak kecil yang membentur bebatuan karang pun tak ayal mencipratkan air garam itu ketubuh mereka.  Mereka pun tertawa ceria.

“itu bentuknya bunga, Tio ! bukannya mobil !”

“ih itu mobil, Anya ! kamu sih pikirannya bunga mulu !”

            Beberapa kali mereka saling sergah. Pendapatnya tak pernah menyatu. Tio selalu membayangkan kalau awan-awan itu membentuk mobil, kereta, dan pesawat sedang Anya melihatnya dalam sisi feminim, seperti bunga, hati, bahkan Putri Rapunzel di menaranya. Ya..ya..ya.. cara mereka melihat dunia memang sangat mengasyikan. Mereka dapat tertawa lepas tanpa diabut-buat seperti orang dewasa atau menangis dengan kuat diman saja tanpa perlu merasa malu, tidak seperti kita. Bayangkan saja jika kita menangis kuat-kuat ditengah khalayak sekarang ? bukannya pelukan mama yang kita dapatkan, justru tudingan sebagai orang gila lah.

“Ti..oo…! pulang, den ! sudah hampir maghrib nih, nanti mama marah lho, den !” seru  Bi Nah.

“Iya, Bi… bentar aku anter Anya pulang dulu ya !”

            Inilah yang Anya suka dari Tio. Dia tidak pernah melepas atau meninggalkannya. Dia terlalu sayang pada Anya. Tio selalu menjaga dan melindungi Anya tanpa ia sadari sekalipun. Tiap kali suara nyaring Bi Nah melengking, Tio akan mengantar Anya pulang terlebih dahulu, baru akhirnya ia pulang . Anya tak seperti Tio. Anya tak pernah disusul pulang ataupun dimarahi mamanya jika ia keasyikan bermain. Diusianya yang masih sangat belia, mama Anya terpaksa meninggalkannya untuk menyebrang  ke negeri orang demi kelangsungan hidup mereka setelah kepergian papa. Anya hanya dititipkan pada tetangga yang sebenarnya acuh tak acuh pada gadis mungil ini. Jadi, kalaupun Anya tak pulang, tak akan ada yang merisaukannya, mungkin tetangganya justru akan bersyukur bebannya berkurang, maklumlah kondisi perekonomian mereka juga sangat tipis.

“Anya, aku pulang dulu yah.. besok kita main petak umpet lagi, oke ?”

“oke, tapi besok kamu yang jadi ya ! hihihihi..”
***
“7...8…9…10.. Anya ! undah belom ?!”

Tio bergegas memeriksa tiap sudut semak ilalang. Kali ini mereka bermain dekat dengan menara mercusuar ditepi pantai. Sebelum bermain juga mereka sudah naik keatas menara megah itu, bersama Bi Nah tentunya. Lalu, setelah puas merasakan desiran angin yang kencang dan melihat pemandangan pantai yang mahaluas itu dari atas sana, mereka pun memutuskan utuk melanjutkan permainan mereka kemarin, petak umpet.
            Sudah lima kali Tio menyusuri sudut-sudut semak ilalang ini, tepian pantai pun sudah ia susuri, tapi Anya tetap saja belum ditemukan. Tio hampir putus asa mengingat matahari sudah mulai bosan dengan permainan mereka dan hendak melepas jubah jingganya. Pasti sebentar lagi Bi Nah akan menyusulnya, tapi bagaimana dengan Anya ?

“Anya ! kamu dimana nih ? udahan yuk ? udah mau maghrib nih, Nya ! aku nyerah deh !” seru Tio.

Dari tempat persembunyiannya Anya cekikikan sendiri melihat gelagat Tio yang mulai putus asa itu. Tapi ia akan tetap bertahan disini sampai Tio menemukannya. Anya yakin Tio pasti akan menemukannya, Tio ga akan mungkin pulang sebelum mengantarkan dirinya sampai kerumah.

“Den Tio ! udah mau maghrib ! pulang, Den ! Den Tio disuruh mama beresin barang-barangnya Aden !” suara Bi Nah akhirnya melengking juga.

“iya Bi, bentar ! Anya masih ngumpet nih. Aku harus nemuin dia dulu !” sergah Tio.

            Tapi, waktu semakin bergulir dengan cepat dan Anya belum juga ditemukan. Tio telah meminta Bi Nah untuk membantunnya menemukan Anya, tapi tetap saja Anya tak mau kalah. Sampai menjelang azan Isya berkumandang, akhirnya mama Tio turun tangan karena anak semata wayangnya belum juga pulang.
“bentar dulu, ma ! Anya masih ngumpet, nih !” teriak Tio mencoba meyakinkan mama untuk melepaskan tangan mungilnya dan membiarkannya untuk menemukan Anya. Tapi kesabaran mama telah terkuras, mereka harus bergegas pulang untuk persiapan pindah rumah esok hari. Tak ada waktu untuk bermain, apa lagi hari semakin larut. Tio pun hanya bisa pasrah, air mata tak henti-hentinya bercucuran tak ketinggalan dengan suara jeritannya.  Mama Tio pun berusaha meyakinkannya dengan megatakan Anya mungkin saja telah pulang kerumahnya tanpa pamit pada Tio sewaktu bermain tadi.
            Sementara ditempat lain, Anya meringis ketakutan & tak mau keluar dari persembuniannya karena dia yakin Tio akan segera menyusulnya dan mengantarnya pulang. Ia yakin, sangat yakin. Tapi, dimana Tio ?
***
            Lelaki berubuh kurus itu akhirnya menapakan kakinya pada tanah yang seputuh tahun lamanya tidak ia kunjungi. Kenangan-kenangan itu pun seketika menyerbunya bagi sebuah film bisu tanpa jeda. Hinga tanpa terasa air mata luruh dari pelupuk matanya. Tatapannya jatuh pada sebuah menara yang masih saja berdiri kokoh setelah satu dekade ditinggalkannya. Bangunan itu masih saja berdiri dengan tegar diantara hempasan angin dan air garam disekitarnya.
            Tiap satu anak tangga terlangkahkan, rasa bersalah, bingung, dan takut itu kembali menghampirinya. Tiap hentakakan kaki terasa bagai sebilah pisau yang terus menujahnya. Hingga pada pijakan terakhir, jentungnya terasa bergetar, darahnya bagai mendidih, dan hujan keringat dingin itu kembali menghujamnya. Bau anyir sekaligus lembab langsung menusuk indranya.
            Desiran angin yang menerobos jendela kecil dipuncak mercusuar itu seketika membawa kenangan dan janji  itu kembali, kenangan akan sahabat kecilnya, Anya.

“Tio kalo aku diculik sama nenek sihir dimenara ini, kamu harus nyelametin aku ya kaya Putri Rapunzel  ?”

“sip deh ! tapi bukannya Putri Rapunzel rambutnya panjang banget & lurus,Nya ? rambut kamu kan Cuma sebahu, ngikel lagi ! hahaha”

“iih Tio ! ya nanti kamu jangan naek pake rambut aku dong ! kan sakit dijambak ! kamu naek pake tangga punya Paman Kosim aja !”

“hahaha.. iya deh, iya. Tapi aku gak janji  yah kalo tangganya Pamanku lagi dipinjem sama tetangga sebelah hahahaa…”

            dicarinya sosok Anya disana, namun nihil. Anya mungkin sudah pergi. Ya, percis seperti apa yang didengarnya dari mulut Bu Siska, tetangga Anya yang menghasuh gadis itu dulu. Anya menunggu Tio ditempat ini. Anya tetap yakin Tio akan menemukannya, sampai  matanya tak sanggup lagi terbuka.
Tiba-tiba Tio mendengar langkah kaki anak-anak seperti berlarian menghampirinya.
            Detik selanjutnya bergulir begitu lambat. Ditatapnya sesosok gadis . Masih dengan baju dan pita merah mudanya. Tubuhnya pun masih sama mungilnya seperti terakhir kali Tio melihatnya, hanya saja kulitnya lebih pucat dari biasanya. 
“Tio ! kamu udah nemuin aku !! sekarang giliran kamu yang ngumpet !”.


Bandar Lampung, 12 Mei 2012
Zakia Prajani

Kamis, 10 Mei 2012

The Power of Words : Bewitch


I’m strong because I’ve been weak. I’m fearless, because I’ve been afraid. I’m wise, because I’ve been foolish.


Some times it’s better to be alone. No one can hurt me that way.


You’re my could have been and should have been. But never was and never will be.


I’ll move on. It’s just a chapter in the past. I won’t close the book, just turn the page.


I won’t change to please someone. I’ll change because it makes me a better person & leads me to a better furute.


I’m not beautiful as you. I’m beautiful like the way I am. I am me.


Don’t judge me until you know me. Don’t underestimate me until you challenge me. Don’t talk about me until you talk to me.


Sometimes, laughing isn’t something we do for fun. Sometimes, it’s a relief when we have nowhere to run.


I’m fine exactly as I am. My words & flaws. I don’t need to change. I’m not ugly, fat, stupid, or worthless. I am me.


Being a fangirl : Mentally dating a celebrity that doesn't know you exist


Sometimes I think live is fake, we pretend to smile while deep inside crying. We pretend to fit in them who actually accept us to be deceived, not as a real friend. hey, we aren't "Barbie", we don't life in plastic !

Gold, silver, diamond, and even money aren’t the most valuable things. Somehow they will gone. Only the true friend will last.


inspired by many sources : 
My live 

Selasa, 01 Mei 2012

Sajak-Sajak Kecil Dalam Kepak Sayap Jibril


Sajak ini doa, tangan yang menampung luka, yang menjagamu, agar kau tak pernah merasa sendirian, dan ditinggalkan.



Sajak ini adalah ramuan untukmu. Penawar rasa rindu. Sajak ini tercipta oleh tinta asa dan kertas jiwa, untukmu..


Mengenalmu adalah suatu kebahagiaan, mencintaimu adalah suatu kemenangan jiwa.


Malam ini langit begitu murung, tinggal sebuah sirius yang bersinar tegar seolah berada dalam keluasan cintamu; disana kutemukan dunia baru yang lebih indah dari surga.


Darimu aku faham, bila air mata adalah rahasia penciptaan Tuhan, yang paling menakjubkan.


Cinta adalah sebuah kekuatan abadi. Saat memori mencoba melupakanmu, benda-benda yang dulu pernah kita sentuh, seperti bicara kembali tentangmu.


Satu hal yang paling sulit bagiku: melupakanmu.


Aku telah belajar arti perih darimu : lewat ciuman-ciumanmu yang manis dan menanggung luka dunia.


Sejauh apapun jalan yang kutempuh, hati ini tetap akan menjadi milikmu, karena disetiap desir darahku akan selalu bertasbih untuk kebahagiaanmu.


Sesuatu, yang kausebut kenangan, telah membukakan padaku rahasia, cara mencintaimu tanpa pernah merasa kehilangan.  


Kangen ini. Laut tak bertepi…


Malam, sesungguhnya, tak pernah memejam. Ia hanya diam-diam menyembunyikan luka kita dalam kelam, agar kita bisa tidur tentram.

Aku akan jadi doa malammu. Sementara kau perlahan memejam tentram, aku akan menggapai langit: mengetuk pintu surga bagimu.