Jumat, 01 November 2013
Untukmu
Bagaimana jika semuanya berakhir sebelum kita sempat memulai ?
Kamis, 31 Oktober 2013
Bincangan Jiwa
Oleh jiwa yang bungkam dalam meriam senja. Dari hati yang terpenjara dalam panggung sandiwara..
Kadang.. aku merasa sangat senang bisa berada disini. Bertemu kamu, dia, dan mereka. Merasa menjadi remaja paling beruntung, bisa mendapat pengetahuan yang belum didapat oleh mereka. Dapat mengembangkan pola pikir, mental, dan karakter.
Kadang.. aku merasa sangat senang bisa berada disini. Bertemu kamu, dia, dan mereka. Merasa menjadi remaja paling beruntung, bisa mendapat pengetahuan yang belum didapat oleh mereka. Dapat mengembangkan pola pikir, mental, dan karakter.
Kadang pula, aku
merasa sangat egois. Selalu ingin jadi yang terbaik, selalu ngin jadi yang
terdisiplin, selalu ingin jadi pemimpin. Selalu merasa aku bisa melakukan
semua, merasa energiku sangat berlimpah, tanpa putus semangat. Entahlah,
bagaimana sikapku ini dimata mereka.
Namun, rasa ini
kini kembali datang. Ah.. padang hati ini seolah sering diterjang badai. Sekali
lagi, ini bukan kali pertama. Rasa malu, kecewa, dan menyesal.. kenapa kalian
sangat suka hinggap? Kenapa kalian selalu datang dan memenjarakan jiwaku?
Ah.. keegoisanku.
Mengapa kau sampai mendorongku untuk berani melakukan hal yang terlalu besar
dan melupakan hal kecil yang justru penting? Kenapa di dada ini selalu terselip
bahwa yang aku lakukan adalah selalu yang terbaik dan memang baik untukku, untuk
kau, mereka, untuk ‘ini’. Tapi.. jika itu benar, mengapa pendapatku selalu berbanding terbalik
dengan pandangan orang-orang dewasa itu?
Mengapa begitu
pelik.. itu bukan salahku, tapi kenapa kau limpahkan amarahmu padaku? Bukan aku
tak tahan atau menyesal, tapi tahukah kamu apa yang sebenarnya? Tidak, kau tak tahu dan tak mau tahu. Pernah kau
berpikir apa yang kami rasakan?
Sepi. Ah.. kau
selalu menjadi temanku yang paling setia. Dimanapun,mengapa kau selalu hadir?
Lepasakanlah dan tolong menjauh dari jiwa ini. Penjara itu sudah benar-benar
mengekangku, jangan kau tambah lagi. Cukup.
Ambisi. Kau, ah..
kenapa pula kau memelukku begitu erat. Longgarkanlah jemarimu. Ku lakukan yang
bisa kuusahakan demimu, lalu kenapa kau selalu menuntutku untuk lebih? Mengapa kau
terlalu betah duduk bersandar di bahu jiwaku? Mengapa kau selalu menuntutku
untuk menjadi yang nomor satu? Tidak kah kau
puas? Apa lagi yang kau inginkan?
Tanggung jawab. Ah..tolong aku. Kenapa kau selalu datang dan pergi bersama asa?
Saat asa bosan, mengapa kau juga ikut bosan bersamaku? Aku mohon, tolong
kembali bersama asa dan jangan lagi kalian pergi. Usirlah semua yang mengganggu
jiwa. Tahu kah kau? Saat kau menghilang, ambisi datang menguasaiku dan sepi
mengurungku sendirian! Aku takut. Aku tahu aku memilikimu, dan kau yang
membuatku sampai di titik ini. Janganlah bosan menemaniku, aku mohon. Karena kau
salah satu alasan aku berada di sini.
Pergilah gundah,
pergilah sepi, pergilah malu, pergilah sedih. Bebaskan aku. Biarkan aku
bernyanyi bersama suka dalam sukma.
Sudahlah, Hentikan
panggung sandiwara ini! lepaskan topeng itu, buang, buang saja! Kau yang
menjadikan anak kecil berparas dewasa dan orang dewasa berparas anak kecil. Sudahlah,
aku sudah bosan menontonmu, aku sesak di dalam auditorium jiwa ini. aku ingin
bebas, aku rindu udara. Kembalikan duniaku, dunia kami. Pertunjukkanmu sudah
usai, tolong tutuplah tirai merah marunmu.
Selasa, 01 Oktober 2013
Cerpen - I'll Walk Forward
I’ll
Walk Forward.
SORAYA INDIRA SARI
Hari
itu adalah pertama kalinya aku bertengkar dengan seorang sahabat. Namanya
adalah Lies Deanti. Kami memanggilnya dengan Dean. Dia adalah anak yang ceria
dan sangat menarik. Aku, Dean dan seorang teman kami yang bernama Ghina Khansa
Izatti adalah sahabat yang sangat dekat. Sejak kami SD, orang-orang memanggil
kami dengan sebutan tiga serangkai. Mungkin itu karena kami menyukai hal yang
sama, dan sering sekali bermain bersama. Persahabatan kami terus berlanjut
hingga kami SMA walaupun kami bertiga tidak bersekolah di SMA yang sama.
Usaha
dan doaku terkabul dengan masuknya aku ke SMAN 2 Bandar Lampung. Namun, Tuhan
tidak pernah lupa memberikan cobaan di saat makhluknya merasa bahagia. Belajar
di SMA 2 dengan sistem SKS yang sangat berbeda dengan cara belajar sebelumnya, sangatlah
berat. Nilaiku jatuh, materi pun tak dapat kuterima dengan baik. Harapan orang
tua seakan menjadi beban mental bagiku. Secara perlahan-lahan aku menjadi takut
dengan apa yang akan terjadi di masa depan.
Beban
pikiran ini terbawa saat aku bermain bersama mereka berdua. Mereka menjadi
tidak nyaman bermain bersamaku. Dan beberapa hari kemudian aku menerima pesan
dari Dean yang mengatakan bahwa diriku berubah. Aku bingung, dan bertanya apa
yang telah kulakukan sehingga ia bisa mengatakan aku berubah. Sesakit apapun
itu, aku ingin memperbaiki kesalahanku pada mereka. Tapi dia tidak membalas.
Keesokan
harinya Aku memutuskan untuk menemui Dean di rumahnya tanpa memberitahunya
terlebih dulu. Ketika aku sampai disana, Dean menyapaku dengan mata yang tidak
ramah. Tetapi aku tidak mau menyerah, juga setelah kutahu ternyata Ghina juga berada
disana. Maka aku langsung berpikir untuk minta maaf kepada mereka berdua.
“De,
Ghin… maafin gue plis…” aku duduk menunduk di hadapan mereka berdua. Ghina
mengangguk, sedangkan Dean tidak memberikan respon apapun. Aku merasa tidak
enak pada mereka berdua selama aku berada di rumah Dean. Aku berpura-pura
merasa senang dan mengobrol bersama mereka seperti biasa.
Ketika
aku sudah berada di rumah, Aku tidak bisa menahan diri untuk tidak menelpon
Ghina.
“Ne,
Ghin. Arigatou. (terima kasih)” adalah kata pertama yang aku ucapkan setelah aku
mendengar Ghina mengatakan ‘Halo’. Aku menangis di sepanjang telepon bertanya
apa yang harus aku lakukan untuk memperbaiki persahabatan kami. Tapi Ghina
tidak bisa mengatakan apapun. Karena ini adalah masalah yang harus aku
selesaikan sendiri.
“Tapi
lo masih mau temenan sama gue kan?” tanyaku sesenggukan.
“Ya iyalah Sor nyosor… gue ama Dean
tau, kalo lo itu lagi beradaptasi di SMANDA. Gue juga tau lo punya goal yang
harus lo kejer. Lagipula lo tetep Sora yang gue kenal, Cuma lagi stress aja.
Jangan nangis geh” Ghina menjawab dengan setengah tertawa, aku pun tak bisa
menahan diri untuk tidak tertawa juga.
“Makasih
Ghin… Makasih banget.” dengan itu aku memutuskan sambungan telepon.
Satu
masalah selesai. Sekarang gue harus mikirin kayakmana ngehadepin Dean
Pikirku saat itu. Aku memutuskan untuk menghadapi Dean secara langsung. Karena
sudah belasan SMS minta maaf yang telah terkirim tetapi tak satupun dibalas. Dan
sudah entah berapa kali telepon dariku yang tak diangkatnya. Apapun alasannya, aku
harus menghadapinya secara langsung, karena ini usaha terakhir yang bisa kupikirkan
saat itu.
Beberapa hari kemudian, tepat sepulang sekolah
aku pergi ke SMA 10 Bandar Lampung. Ketika tiba, keadaan sekolah masih sepi. Ternyata
mereka belum pulang. Karena tak punya kenalan lain di sekolah itu, Aku menunggu
di sebuah warung nasi uduk yang ada di seberang SMA itu dan memesan makanan.
Tatapan mataku tak pernah pergi dari gerbang sekolah itu. Tetapi sudah 2 jam aku
menunggu sejak jam pulang SMANDA di hari Kamis berdering, Dean tidak pernah
muncul. Jam sudah menunjukkan pukul 5 sore dan pedagang nasi uduk itu pun mulai
membereskan dagangannya, bersiap pulang.
Apakah
sebegitu tidak inginnya dia berteman kembali denganku? Yang aku mau cuma
berteman kembali bersamanya. Apakah dia memang menghindari aku, karena dia tahu
aku memakai almamater SMANDA? Apakah dia benar-benar sudah berada di tempat
itu? Tempat dimana sudah tidak ada kata toleransi lagi untuk orang seperti aku?
Kalau memang begitu.. apapun yang aku usahakan untuk memperbaiki hubungan
pertemanan kami, jadi tidak ada gunanya… Kepalaku penuh dengan pikiran negatif. Tiba-tiba
aku merasa seperti ingin menangis. Pada akhirnya, kuputuskan untuk pulang,
karena jadwal privat Matematika menungguku di rumah.
Seusai
privat, aku meraih handphoneku yang
sedang dicas di atas tempat tidur.
‘De,
Maafin gue. Terimakasih. Gue bersyukur udah pernah kenal sama lo. Gue ga bisa
ketemu sama lo lagi.’ adalah pesan terakhir yang kukirim padanya. Setelah itu aku
menghapus nomornya, semua pesan yang pernah kukirim untuknya dan semua daftar
panggilan yang menyangkut tentang dirinya.
Aku
menghabiskan sepanjang malam, menangisi kebodohan diriku sendiri. Tidak akan ada
lagi masa yang kami habiskan bertiga. Ingatanku kembali ke masa SD dulu,
sewaktu kami berada di kelas yang sama, sewaktu kami memakai seragam yang sama,
melakukan hal bodoh bersama, diam dalam kesal ketika komik milik kami
masing-masing disita secara bersamaan, berebut makanan, berebut giliran
meminjam komik, berteriak hal aneh sekeras-kerasnya diatas atap rumah tanpa
memedulikan ada orang yang dapat mendengarnya, bertengkar karena hal kecil dan
langsung minta maaf sesudahya. Saat salah satu dari kami punya masalah seberat
apapun itu, kami tetap saling mendukung, menangis bersama, tertawa bersama, Ya
Tuhan… aku ingin kembali.
Ah…
andaikan aku bisa kembali ke masa itu, masa di mana aku masih mengerti mereka
berdua dengan saat baik. Masa di mana kami belum menjadi dewasa. Karena
kedeewasaan membuat manusia menjadi egois. Karena kedewasaan membuatku takut
untuk mengambil resiko. Tapi lari dari masalah seperti ini sama saja mengambil
jalan terburuk. Ya Tuhan… Aku benci dengan kenyataan bahwa aku harus menjadi
dewasa untuk hidup dalam masyarakat. Aku ingin masa bersama mereka berdua itu
akan terjadi lagi. Tapi aku sudah tidak bisa memepertahankan rasa tidak ingin
menyerah itu lagi di saat aku sudah mendapat banyak penolakan seperti ini. Kenapa?
Kenapa semua ini berakhir secara tiba-tiba?
Sekali
lagi air mata terasa saat mengalir di pipi. Pesan itu sudah terkirim. Aku tidak
bisa mengubah keputusanku lagi. Tidak. Bukannya tidak bisa. Tapi aku tidak
boleh. Aku tidak boleh cengeng. Dia memang sahabatku. Tetapi dia tidak boleh menghambat
masa depanku. Hal-hal menyenangkan dan menyedihkan bersamanya tidak akan
kulupakan. Sudah banyak juga kata-kata yang kuterima dari Dean yang membuatku
lebih kuat. Tidak apa kan kalau perpisahan ini kugunakan sebagai sesuatu yang
membuatku lebih kuat lagi? Ini memang berat, tapi aku bisa. Pasti bisa. Aku
akan menghidupi ‘masa sekarang’ dengan sebaik-baiknya. Aku akan mulai perubahan
ini, sekarang.
Keesokan
harinya di saat aku sempat, aku menghapus semua hubunganku di internet
dengannya dari laptop salah satu teman yang kebetulan membawa benda itu. Aku
menahan diri untuk tidak menangis. Tetap ceria seperti biasanya. Tetap menggila
seperti biasanya. Tetapi saat mengobrol mengenai hal tak jelas bersama Sanas
Zanadiya dan Zakia Prajani, dua teman yang paling dekat denganku di kelas,
kontrol diriku lepas. Aku tidak bisa menahan diri untuk tidak menangis. Mereka
yang heran karena aku memang tidak pernah cerita apapun hanya bisa mengelus
pundakku lembut, berusaha membuatku kembali tenang.
Sejak hari itu aku lebih mendekatkan
diri pada Sanas dan Zakia. Juga dengan teman-teman lain di sekolah, seperti
Gisma Chairunissa, Isca Amanda, Shofi Hana Regita, Sheira Indah Anjani. Sebelumnya
bukannya kami tidak akrab, hanya saja tidak terlalu dekat. Hari-hari
menyenangkan itu kembali. Walaupun tidak dijalani bersama teman yang sama, rasa
bahagia yang kurasakan adalah sama. Walaupun kesenangan itu hanya akan
berlangsung semasa kami SMA, Aku tetap bersyukur. Karena kesenangan itu sangat
menyenangkan sampai tidak terasa sekarang kami sudah menginjak kelas 11 dan
sudah harus bersiap-siap untuk mengambil jalan hidup dengan serius.
Tuh
kan, Aku bisa mengatasi semua ini. Aku juga
sudah beradaptasi dengan sistem SKS, sehingga aku bisa sedikit mengejar target.
Beban pikiran itu juga secara perlahan-lahan menghilang. Tapi entah mengapa
sejak saat itu aku tidak ada lagi perasaan takut kehilangan sahabat. Mungkin
agak sedikit tidak manusiawi karena mereka dekat dengan ku. Tapi mungkin juga
hanya perasaan takut yang menyelubungi ku untuk mengurangi rasa sedihku di
waktu kelulusan nanti.
Sekarang, aku bersyukur telah kuputuskan untuk lari dari masalah itu. Hari
itu aku memang ‘membuka pintu secara paksa’, tapi sekarang aku sudah berada di
jalan yang mengarah ke mimpiku. Di ujung jalan sana masih terdapat sebuah
tangga yang harus kunaiki untuk memasuki mimpi itu. Mungkin nanti, dikala aku
berhasil menaiki puncaknya, aku akan mengingat semua hal yang telah terjadi ini
sebagai memori yang indah. Memori-memori perjuanganku yang memberikanku rasa
percaya diri dan kebebasan. Memori-memori yang pernah terjadi akan terasa
sangat lama dan bisa membuatku tertawa atau menitikkan air mata di hari tua.
Untuk menyongsong hari itu, aku harus lebih banyak berusaha lagi hari ini.
~ 13.09.25 ~
Kamis, 26 September 2013
Cerpen-Memori yang Hilang
Memori yang Hilang
Zakia Prajani
Rabu, 11 September 2013
03:23 WIB.
Ide cerpen
berdasarkan berita VOA dengan bubuhan fiksi
Rumah sakit
“Dokter.....dokter......”
Teriak seseorang dari kamar pasien.
“Ada
apa Mary.....?” Sahut sang teman.
“Anne
ini suatu keajaiban....pasien kamar 1314 sadarkan diri....” Kata Mary sang
perawat itu girang.
“Ohya?
Cepat panggil dokter William....”
Perawat
Mary segera memanggil sang dokter.
----------
“Akhirnya
aku pulang kerumahku juga....” Sahutku.
Sudah
lama
aku tidak pulang ke Indonesia. Aku meneruskan kuliah di University of
Adelaide. Aku jarang sekali pulang kerumah itupun ayah dan bunda yang
selalu
kesini menjengukku tapi liburan kali ini aku akan memberi kejutan untuk
mereka.
“Ayah....bunda
Nessa pulang....” Teriakku tapi tak ada sahutan dari dalam.
“Ayah....bunda....”
Ucapku sekali lagi tapi tak ada sahutan juga.
Akhirnya
aku mencari kunci yang biasanya mereka tinggalkan di bawah pot bunga lili.
“Nah...ini
dia....” Akhirnya aku bisa membuka pintu ini.
Ketika
aku masuk rumah ini bau apek tercium dimana-mana. Aku menggerutu kenapa mereka
tidak membersihkan rumah ini. Sekali lagi aku memanggil mereka tapi tetap tak
ada sahutan begitu juga Bi Inah. Aku melihat keruang belakang juga tak ada
hingga akhirnya aku menemukan sepucuk surat dimeja makan. Aku membacanya
ternyata dari bunda.
Untuk Nessa.
Sayang,kami pergi keacara pernikahan anak Pak Burhan teman
ayah. Bi Inah pulang kampung. Kalau kamu lapar beli saja diluar. Bunda tidak
masak. Mungkin baru besok bunda dan ayah pulang jadi kamu hati-hati ya dirumah.
“Ya....bunda
ini. Masa anaknya datang ditinggal pergi...” Kesalku.
Ya
sudahlah....lebih baik aku membersihkan rumah ini dari sarang binatang. Tak
terasa sudah hampir dua jam aku membersihkan rumah ini dan tiba saatnya perutku
berbunyi karena bunda tidak menyiapkan makan akhirnya aku terpaksa membeli nasi
goreng didekat warung langganan bunda.
“Bang...nasi
gorengnya satu ya...” Kata pada penjualnya.
“Iya
Neng...tunggu sebentar ya....”
“Iya
Bang ngga apa-apa. Ohya Bang..kenal sama Pak Karim?” Tanyaku.
“Iya
kenal, Neng. Dia kan bapak saya...?”
“Ohya?
Terus kemana sekarang pak Karimnya kan biasanya bapak yang jual?”
“Bapak
sudah meninggal, Neng...”
“Masa?
Bukannya kemarin masih Pak Karim yang jual?”
“Ah...Neng
ini ada ada saja. Salah lihat mungkin,Neng...”
“Tapi
wajahnya sama,Bang...”
“Iya
ngga mungkin, Neng. Bapak saya sudah meninggal lama kok...”
“Iya
mungkin saya salah lihat. Ohya berapa, Bang....” Kataku saat penjualnya sudah
selesai.
“Tujuh
ribu neng...”
“Naik
ya, bang harga nasi gorengnya...” Kataku saat menyerahkan uang.
Si
penjual nasi goreng bingung.
“Terima
kasih ya, Bang...” Ucapku sambil melangkah pergi.
Rupanya nasi goreng ini rasanya lebih enak Pak Karim yang membuatnya. Aku heran
bukannya aku meninggalkan rumah selama tiga bulan begitu cepatnya nasi goreng
ini harganya naik. Beberapa bulan yang lalu aku beli masih empat ribu.
Mungkin penjualnya masih baru. Setelah selesai makan akupun segera membaringkan
tubuhku ditempat tidur.
“Ayah ...minggu depan Ananda pulang.”
“Iya sayang .....kami tunggu kedatanganmu”
Aku terbangun karena mimpi yang aneh. Tak terasa pagi sudah datang. Aku segera
mandi dan menonton berita sebelum mencari makan.
“Arif
sang tersangka penabrak lari yang menewaskan puluhan jiwa sepuluh tahun
yang lalu berhasil ditangkap....” Kata sang penyiar.
Aku
menyaksikan berita ini dengan serius.
“Kecelakaan
yang menewaskan seluruh korban Bus Patas sepuluh tahun yang lalu............”
Lanjut sang penyiar.
“Wah...wah...baru
tertangkap sekarang? Sepuluh tahun yang lalu aku masih SD” Batinku.
“Hari
ini aku akan makan apa ya? Untung masih ada sisa uang bulananku....”
Akhirnya
aku membeli makanan karena perutku sudah berbunyi saat aku menutup pagar aku
melihat semua orang memandangku aneh. Mungkin mereka baru melihat aku....
“Bu,beli
lauknya saja...” Kataku saat sampai diwarung depan sekolahku dulu.
“Berapa,
Neng...” Tanya sang ibu penjual.
“Lima
ratus saja,bu...”
“Dua
ribu saja ya,Neng. Sekarang ngga ada lauk lima ratus...” Sahut sang
penjual.
“Ya
ngga apa-apa,Bu...”
“Neng,tinggal
dimana kok baru kelihatan sekarang...” Tanya sang penjual.
“Dijalan
Mawar 20. Saya anaknya Pak Sungkono,Bu....”
Semua
orang terkejut mendengar perkataan Nessa.
Aneh...benar-benar aneh setiap orang disini. Baru saja aku tinggalkan tiga
bulan semua barang naik drastis dan yang lebih aneh semua orang saling berbisik
saat bertatapan denganku. Memang ada yang salah? Menjelang malam ayah dan bunda
belum juga datang. Aku kesepian lebih baik aku menelepon Ami. Teman sekolahku
tapi kok telepon ini tak berbunyi. Mungkin ayah belum membayarnya dari pada
kesepian lebih baik aku menonton saja. Tanpa terasa aku tertidur di ruang TV.
“Jangan pulang besok,nak. Cuaca masih kurang baik.....”
Aku terbangun lagi karena mimpi yang aneh. Didalam mimpi aku melihat seorang
ibu sedang menelepon anaknya memberi kabar agar kepulangannya ditunda.
“Sudah
jam lima pagi tapi ayah dan bunda belum juga datang. Kemana sih mereka?” Kataku
sebal.
Lebih baik aku meyegarkan tubuhku dengan air hangat. Saat aku mandi terdengar
suara dari dapur. Mungkin ayah dan bunda sudah datang. Ternyata benar itu
mereka.
“Bunda....kok
baru datang sekarang....”
Tidak
ada sahutan.
“Bunda...ditanya
kok diam. Sakit ya....”
Bunda
hanya mengangguk saja.
Akupun tak ambil pusing seperti biasa bunda diam kalau lagi sakit atau
bertengkar karena ayah.
“Bunda
,ayah dimana...?”
Bunda
hanya menunjuk kearah taman.
“Bunda
kalau lagi bertengkar dengan ayah tidak apa-apa tapi jangan Nessa didiamin gitu
dong...” Kesalku.
Sekali
lagi tidak ada sahutan.
“Ayah....Nessa
dari kemarin disini tapi kalian malah pergi sampai dua hari....” Kataku sambil
memeluk ayah dari belakang tapi tubuh ayah terasa dingin.
“Ayah
juga sakit ya...” Tanyaku.
Ayah
hanya tersenyum.
“Ayah
ditanya kok seperti bunda sih diam aja...”
“Jangan-jangan
kalian tengkar ya...”
Ayah
hanya menganngguk dan sekali lagi diam.
“Uh....kalian
ini diajak bicara ngga ada jawaban...” Gerutuku.
Dari pada aku sebal lebih baik aku jalan-jalan saja sambil berolah raga dipagi
hari. Udara dipedesaan lebih menyenangkan dari pada dikota besar. Saat aku
melewati sebuah rumah tempat tinggal Mimi teman baikku waktu kecil aku pun
mampir.
“Selamat
pagi.....” Sapaku.
“Iya...siapa
ya....?” Sahut orang dari dalam.
“Bu
Wijah ya...” Kataku.
“Iya...Neng
siapa ya...?”
“Ya
ampun ibu lupa sama saya...”
Bu
Wijah menatap Nessa penasaran.
“Saya
Nessa. Anaknya Pak Sungkono...”
Bu
Wijah menunjukkan wajah yang ketakutan.
“Kok
ibu diam saja.....”
“Ngga
mungkin....ini hanya mimpi....” Kata bu Wijah sambil masuk kedalam rumah dan
menutup pintu dengan keras.
“Siapa
Bu....” Tanya suara dari dalam rumah.
“Nes.....nes...nessa....,Mi...dia
kembali...”
Suara
piring terjatuh karena mereka semua terkejut melihat Nessa diluar.
Aku yang masih diluar mendengar pembicaraan mereka. Apa yang mereka maksud
Nessa kembali? Bukannya aku baru meninggalkan desa ini sudah hampir tiga bulan
yang lalu tapi mengapa mereka seakan-akan melihatku seperti hantu? Ada apa
denganku?
“Ayah....bunda...”
Panggilku setelah sampai rumah.
Tak
ada sahutan.
“Ayah...bunda
kalian dimana...?” Panggilku lagi tapi tetap tak ada sahutan.
“Uh...mereka
ini pergi lagi tapi tak ada pesan....” Keluhku
Merekapun
tidak meninggalkan makanan untukku. Ada apa dengan mereka? Semua serba aneh
disini. Ayah dan bunda saling berdiam diri. Mereka bahkan tak bicara sepatah
katapun.
“Lebih
baik aku tidur siang saja....daripada mikirin ayah dan bunda...”
“Nak,bunda mohon tunda dulu kepulanganmu. Bunda punya firasat
ngga enak...”
“Bunda,jangan tahayul. Ananda tidak bisa menunda karena tiket
sudah ditangan....”
“Tapi nak....tiket kan bisa dibeli lagi...”
“Sudahlah bunda. Ananda akan pulang besok....”
“Tapi bunda takut,nak...”
“Ngga usah takut,bunda. Pokoknya ananda tunggu dibandara besok
untuk dijemput...”
Aku
berkeringat dingin. Baru kali ini mimpiku jelas. Didalam mimpi aku melihat
bunda sedang menelepon dengan seseorang. Ananda? Siapakah dia? Apa aku
mengenalnya? Ayah dan bunda hanya mempunya satu anak saja. Yaitu hanya aku.
Siapa Ananda itu?
Sudah
satu jam aku tertidur dan perutku sudah bernyanyi untuk diisi. Saat aku membuka
tudung nasi ternyata tidak ada makanan. Bunda hanya duduk-duduk saja ditaman .
Mau tak mau aku harus membeli makan diluar karena bunda tidak masak sedangkan
ayah lagi pergi.
“Bunda....Nessa
beli makan dulu...”
Bunda
hanya mengangguk saja.
“Diam
lagi diam lagi....” Kesalku.
Karena
warung sebelah rumah tutup akhirnya aku mencari didepan sekolahku dulu.
Lagi-lagi semua orang melihatku aneh tapi aku hiraukan.
“Bu,nasi
sotonya satu...”
“Makan
sini atau bungkus,neng...?”
“Makan
sini saja,bu sama teh hangat....”
Aku
makan dengan lahap karena sejak pagi aku tak makan. Saat aku makan aku
mendengar pembicaraan bapak-bapak mengenai ketua RT kami.
“Jang,kamu
tahu pak RT kita. Pak Wijaya?” Ucap sang bapak.
“Iya
memang mengapa?”
“Beliau
selingkuh loh...?”
“Ah
masa?”
Pak
Wijaya? Bukannya RT desa ini pak Umar kok cepat sekali penggantiannya. Bukannya
masa jabatannya masih lama?
“Berapa,
Bu?” Tanyaku selesai makan.
“Sepuluh
ribu,Neng...”
Aku
merogoh uang dikantung celanaku dan memberi uang kepada penjualnya.
“Pak,bukannya
RT desa ini Pak Umar...?” Tanyaku pada bapak disampingku sebelum pergi.
“Pak
Umar? Ya bukan, Neng. Kan sudah diganti?” Jawabnya sambil menatapku aneh.
Ya
ampun mengapa aku baru pergi tiga bulan semua sudah berubah. Harga seporsi soto
yang tiga bulan lalu masih dua ribu sekarang malah naik drastis dan pak RT yang
sudah diganti. Aku penasaraan dengan ini semua. Lebih baik aku tanya bunda
saja....
“Bunda....ada
dimana?” Teriakku dari luar.
Tapi
tak ada sahutan.
“Bunda...dimana
sih?”
Tetap
tak ada sahutan.
Tok...tok.....
Ada
ketukan dari luar dan aku segera membuka pintu ternyata Bu Wijah dan warga yang
lain.
“Ada
apa ya.... Ayah dan bunda saya tidak ada dirumah sekarang...?”
“Apakah
anda anaknya pak Sungkono?” Tanya Pak RT.
“Iya
Pak. Benar.....Ada apa ya, Pak?”
“Anda
itu Ananda ya...?”
“Bukan
saya bukan Ananda tapi Nessa....”
“Kami
yakin anda itu Ananda...?”
“Pak
saya itu Nessa bukan Ananda. Mungkin bapak dan ibu salah orang?”
“Ngga
kami tidak mungkin salah orang....anda itu Nessa Ananda Sungkono kan...”
“Iya
betul itu nama saya...”
“Ya
ampun ternyata kamu masih hidup,Nak..?” Sahut Bu Wijah.
“Masih
hidup? Maksud bapak ibu apa?”
“Kamu
ngga ingat kejadian yang menimpa kamu,nak?” Tanya Pak RT.
“Kejadian
apa ya....?”
“Nak,sepuluh
tahun yang lalu kamu dinyatakan hilang dalam kecelakaan.....”
“Kecelakaan?
Sepuluh tahun yang lalu? Tunggu.....maksudnya apa? Saya tidak tahu....”
“Tunggu
ayah dan bunda pulang saja. Biar bapak dan ibu bisa tahu bahwa saya baru pergi
dari desa ini tiga bulan lalu?” Lanjutku kesal.
“Nak,mungkin
kamu mendengar kecelakaan yang penabraknya baru tertangkap
sekarang...........?” Kata Pak RT.
“Iya
saya baru melihatnya kemarin lusa tapi apa hubungan dengan ini semua?”
“Penumpang
yang tewas salah satunya adalah orangtuamu waktu mereka menjemputmu karena
mereka mendengar ada tabrakan pesawat tapi mereka tewas ditengah
perjalanan....” Jelas sang RT.
“Itu
tak mungkin Pak...Tadi pagi mereka masih disini...lagipula orangtua saya tak
mungkin naik bis menjemput saya?”
“Memang
mereka tidak naik bis tapi mereka naik mobil. Dipersimpangan jalan ada bis yang
mau belok sedangkan mobil yang dikendarai ayahmu didepan tapi tiba-tiba ada
sebuah truk yang lewat ditengah jalan dan terjadilah kecelakaan itu. Semua
penumpang bis itu terbalik dan mobil ayahmu jatuh kesungai...”
“Ah......itu
tak mungkin. Kalian pasti bercanda” Kataku tak percaya.
“Itu
benar,nak. Mereka pergi dengan tergesa-gesa mendengar pesawat yang kamu
tumpangi mengalami kecelakaan sepuluh tahun yang lalu...”
“Itu
tak mungkin. Aku tak percaya...ini semua bohong. Lebih baik kalian pergi...”
Kataku sambil menutup pintu.
Aku
segera berlari kekamarku dan menangis karena aku tak percaya ini semua.
Bukannya aku baru pergi tiga bulan lalu? Aku sadar bahwa ada bukti yang
membenarkan ini semua. Surat yang ditinggalkan bunda. Aku membacanya kembali
tapi aku terkejut.
Untuk Nessa
22 Februari 2000
Sayang,kami pergi keacara pernikahan anak Pak Burhan teman
ayah. Bi Inah pulang kampung. Kalau kamu lapar beli saja diluar. Bunda tidak
masak. Mungkin baru besok bunda dan ayah pulang jadi kamu hati-hati ya dirumah.
Akupun
segera berlari seperti kesetanan. Aku ingin membuktikan bahwa mereka salah. Aku
akan bertanya setiap orang dijalan. Tahun berapakah sekarang? Dan mereka semua
menjawab bahwa sekarang adalah tahun 2010. Aku menangis....kalau sekarang
tahun 2010 kemana aku sepuluh tahun yang lalu? Tiba-tiba aku teringat aku
pernah ada dirumah sakit aku segera berlari kesana.
“Suster...masih
ingat dengan saya...?” Tanyaku saat sampai seperti orang kesetanan.
“Iya
tentu semua orang disini mengenal anda?” Sahut suster Mary.
“Suster
tolong katakan padaku...sekarang tahun berapa?”
“Mbak,sekarang
tahun 2010”
“Itu
tak mungkin....”
“Itu
mungkin saja mbak karena mbak mengalami koma sepuluh tahun karena
kecelakaan....”
“Koma?
Jadi selama sepuluh tahun ini aku koma?”
“Iya
mbak. Selama sepuluh tahun ini mbak ada dirumah sakit dan tidak ada satupun
keluarga yang menjenguk...”
“Kalau
saya mengalami koma mengapa nyawa saya masih dipertahankan...”Isakku.
“Mbak,ngga
boleh berkata seperti itu. Kami tidak bisa melakukannya karena kondisi jantung
mbak masih baik waktu itu jadi kami tidak bisa melakukan itu...” Kata suster
Mary memeluk Nessa.
“Buat
apa saya harus hidup kalau saya harus kehilangan kedua orangtua saya?” Aku
menangis.
“Yang
sabar ya mbak...” Sekali lagi suster Mary memeluk Nessa.
Tiba-tiba
aku teringat dengan kejadian itu dan mimpi yang aku alami. Aku ingat bunda
meneleponku untuk menunda kepulanganku ke Indonesia tapi aku membantahnya dan
mengapa semua orang memandangku aneh. Aku jadi sadar mengapa ayah dan bunda
yang aku temui hanya berdiam dan berwajah pucat juga dingin ternyata mereka
sudah meninggal. Aku jatuh tersungkur dan menangis. Andai saja aku mendengar
perkataan bunda. Aku menyesal.....
------------
Cerpen- Ide
IDE
Shofi Hana Regita Syehrun
Berbagai
suara di kelas seakan berebut untuk menggetarkan gendang telingaku. Ya,
beginilah suasana kelas pada umumnya jika guru biologi yang bertugas mengajar
pada jam pertama di pagi hari tidak kunjung datang. Murid-murid yang merasa mendapat
angin segar pasti mulai melakukan aktifitas favorit masing-masing. Entah itu
sekadar mengobrol dengan teman dekatnya, main game, browsing internet, ataupun
hanya menyeletuki temannya yang sedang mengobrol.
“Kemarin
aku ketemu sama ibu itu, kayaknya sih dia sakit.” ujar salah satu temanku. Dia
sendiri tengah membuka laptop kecilnya di meja. Entah apa yang akan
dikerjakannya, dan aku pun tidak berminat untuk mengetahuinya.
“Oh,
mungkin hari ini dia lagi ke rumah sakit. Makanya nggak masuk,” Teman yang kini
tengah membrowsing ria di sampingku menyeletuk sok tahu.
“Yee...ke
dokter kali, Nas. Mau periksa,” Iseng,
anak yang tadi memberi informasi menyalahi jawaban temannya.
“Alah,
sama aja lah...”
Aku
menelusuri gerak-gerik di ruangan ini tanpa semangat. Hari sudah menunjukkan
pukul tujuh lewat. Seharusnya matahari sudah membumbung lumayan tinggi. Namun
cuaca yang mendung membuat suasana terlihat seperti masih dini hari.
Sayup-sayup terdengar tetes-tetes hujan yang menyentuh tanah sekolah. Ah,
betapa enaknya jika sekarang aku berada di depan televisi di rumahku sambil
berselimut. Sungguh, cuaca seperti ini sempurna sekali untuk tidur.
Nyaris
saja aku memejamkan mata ketika ada yang bertanya, “Eh, cerpen yang ditugasin
kemarin itu minimal dua halaman, kan?”
“He-eh,
tentang pengalaman kita pokoknya.” jawab temanku yang tadi membuka laptopnya di
meja. Rupanya mereka sedang mengerjakan tugas yang diberikan oleh guru Bahasa
Indonesia kemarin.
“Hee...kalian
udah ngerjain cerpennya?” Aku mulai bergabung dalam percakapan.
“Gua
belum kok, nggak ngerti mau nulis apaan. Ya bingung loh, sehari-hari gua gak
ada yang istimewa. Gini-gini aja,” Gisma mulai mengeluarkan curahan hatinya.
Lega juga ternyata ada teman yang senasib denganku.
“Iya
nih, mau nulis apa coba tentang pengalaman mah. Kalau fiksi kayaknya lebih
gampang buatnya,” timpal yang lainnya.
“Eh
tapi nggak juga kok, bisa loh kalau kita mau membuat pengalaman kita jadi
menarik atau lucu.” Isca menyeletuk. Aku lumayan setuju pada ucapan Isca. Namun
masalahnya, aku tidak ingat kalau pengalamanku ada yang cukup menarik untuk
dijadikan cerpen.
Menyerah,
akhirnya aku mulai mengikuti jejak kelompok yang bermain game di saat tidak ada
guru. Tumbennya, baru beberapa menit mengutak-atik game di iPad kepunyaan
Gisma, rasa kebosanan sudah menjalar. Ya ampun, betapa inginnya aku untuk
pulang secepat mungkin dan menikmati lembutnya bantal di kamarku. Tapi itu
hanya harapan belaka, karena faktanya setelah jam pulang sekolah kelas kami
masih harus mengikuti tambahan belajar matematika.
Tak terasa istirahat pertama sudah dilewati.
Setelahnya kami bergegas ke Laboratorium Fisika untuk praktek elektronika.
Suasana hatiku saat ini lumayan baik karena kini kami tengah merakit lampu LED
dan aku bisa menyolder timah perekat dengan lumayan rapi. Tapi tidak, aku tidak
bercita-cita untuk masuk ke fakultas yang berembel-embel teknik ataupun
pertukangan seperti yang dikatakan oleh teman yang meledekku tadi. Cita-citaku adalah
untuk menuntut ilmu kedokteran.
Pelajaran elektronika berakhir tanpa disadari. Kini
Pendidikan Kewarganegaraan telah menanti untuk mengisi dua jam berikutnya.
Sejujurnya aku tidak begitu menikmati mata pelajaran yang satu ini.
Membosankan, bagiku. Untungnya, Ibu Umi memutuskan untuk mengisi jam PKn hari
ini dengan berdebat. Seluruh siswa dibagi menjadi dua kelompok, pro dan kontra.
Dan kami akan berdebat dengan topik Keterbukaan Pemerintah. Sesi debat berlangsung dengan seru hingga
aku lumayan menikmati jam pelajaran PKn sampai akhir.
“Ibuuuuu cerpennya belum selesai,” Terdengar riuh
celetukan teman-teman tepat ketika guru Bahasa Indonesia baru melangkahkan
kakinya ke dalam kelas kami.
“Bu, dilanjutkan sekarang nggak apa-apa ya?” pinta
seseorang dengan nada memelas.
Gerutu anak muridnya dibalas dengan senyuman maklum
sekaligus heran. “Ya nggak apa-apa, kok. Sekarang memang materinya untuk
membuat cerpen ini.” Jawabnya dengan nada suara yang khas. Aku bisa melihat
wajah-wajah yang tadi bingung kini menampilkan mimik kelegaan.
“Bu, tapi saya bingung mau menulis apa. Kehidupan
saya sehari-hari monoton gini, Bu.” keluh Gisma dengan didramatisir. Kami yang
melihatnya hanya tersenyum simpul. Maklum.
“Ya udah Gis, kalau kehidupan sehari-hari kamu
monoton, ya tulis aja pengalaman orang lain.” Kami tertawa mendengar jawaban Ibu
Melly. Gisma yang merasa diledek kemudian melipir ke tempat duduknya sambil
berceloteh manyun.
Bosan, aku mendekati Isca yang sedang berkutat dengan
laptopnya. Kuintip layarnya dan ternyata dia pun baru mengetik segelintir kata.
“Loh, Ca. Gua kira lo udah ngetik banyak.” celetukku heran.
“Apa? Ini bikin baru lagi kok,” jawabnya.
“Loh, kenapa?”
“Nggak apa-apa, bikin lagi aja.”
Aku membaca beberapa tulisan di layar laptop
silvernya. Sepertinya akan menjadi cerita yang menarik. Iseng, aku menyurukan
daguku di bahunya untuk membuatnya merasa geli.
“Heh, gak puas-puas amat ya, lo ini...” Bisa ditebak,
sekarang Isca menoleh kepadaku dengan tatapan kesal. “Sini, Shof!” Dia mulai
menaruh dagunya di bahuku dan melakukan apa yang sebelumnya kuterapkan
kepadanya.
“HYAAA JANGAN! JANGAN!!” Aku berteriak kegelian.
Sebenarnya aku sendiri tidak tahan geli, tapi aku suka melihat ekspresi
teman-temanku ketika kugelitiki.
“Nah, kan. Sekarang kesannya kayak gua yang
antagonis.” Gerutu Isca mendengar teriakanku.
Percakapan pun mengalir secara alami. Tiba-tiba dan
tanpa diminta, Isca menceritakan pengalaman memalukannya sewaktu kecil. Aku
tergelak hingga hampir kehabisan napas mendengar ceritanya itu. Mungkin bagi
dia itu memalukan. Tapi bagi aku dan Sheira yang mendengarkan, itu merupakan
cerita yang sangat kocak. Ibu Melly hanya geleng-geleng kepala mendengar cerita
Isca dan melihat kami yang tertawa seperti kesetanan. Sungguh, butuh waktu
cukup lama untukku agar bisa berhenti tertawa sepenuhnya.
“Ih gua bingung loh mau nulis apaan, pengalaman apa
coba?” Lagi, aku melihat Gisma menggerutu sambil mondar-mandir.
Aku meraih kedua tangan Gisma. “Ya udah Gis, coba
kita dansa dulu,” ujarku bercanda. “Kita buat kenangan kita sendiri.”
Detik itu juga aku mendapat ide untuk membuat
ceritaku. Terdengar suara Gisma yang mengatakan bahwa dia tidak bisa berdansa
atau sejenisnya. Namun aku tidak lagi menghiraukannya. Tidak juga suara
teman-teman lain yang sedang asyik mengobrolkan sesuatu yang terlihat seru,
maupun mereka yang sedang berkumpul untuk bermain game bersama. Kini pikiranku hanya
tertuju pada satu hal. Untuk segera sampai ke rumah dan membuka lembar kerja
pada laptopku.
Dan inilah aku. Berada di dalam kamar bercat hijau,
tempat yang menurutku paling nyaman seantero jagat. Sudah berada di dalam
pakaian santai. Kedua mataku terasa berat memang. Tapi sudah kutegaskan kepada
diriku sendiri untuk mulai membuka laptop berwarna putih milikku yang bahkan
telah kuberi nama panggilan sendiri, menaruhnya di atas meja lipat kecil agar
bisa digunakan di atas tempat tidur, lalu membuka lembar kerja Word terbaru. Jari-jariku merangkai
kumpulan kata-kata yang akan bermetamorfosis menjadi cerita yang sedang kau baca
sekarang.
“Kita buat kenangan kita sendiri.”
------
Langganan:
Postingan (Atom)