IDE
Shofi Hana Regita Syehrun
Berbagai
suara di kelas seakan berebut untuk menggetarkan gendang telingaku. Ya,
beginilah suasana kelas pada umumnya jika guru biologi yang bertugas mengajar
pada jam pertama di pagi hari tidak kunjung datang. Murid-murid yang merasa mendapat
angin segar pasti mulai melakukan aktifitas favorit masing-masing. Entah itu
sekadar mengobrol dengan teman dekatnya, main game, browsing internet, ataupun
hanya menyeletuki temannya yang sedang mengobrol.
“Kemarin
aku ketemu sama ibu itu, kayaknya sih dia sakit.” ujar salah satu temanku. Dia
sendiri tengah membuka laptop kecilnya di meja. Entah apa yang akan
dikerjakannya, dan aku pun tidak berminat untuk mengetahuinya.
“Oh,
mungkin hari ini dia lagi ke rumah sakit. Makanya nggak masuk,” Teman yang kini
tengah membrowsing ria di sampingku menyeletuk sok tahu.
“Yee...ke
dokter kali, Nas. Mau periksa,” Iseng,
anak yang tadi memberi informasi menyalahi jawaban temannya.
“Alah,
sama aja lah...”
Aku
menelusuri gerak-gerik di ruangan ini tanpa semangat. Hari sudah menunjukkan
pukul tujuh lewat. Seharusnya matahari sudah membumbung lumayan tinggi. Namun
cuaca yang mendung membuat suasana terlihat seperti masih dini hari.
Sayup-sayup terdengar tetes-tetes hujan yang menyentuh tanah sekolah. Ah,
betapa enaknya jika sekarang aku berada di depan televisi di rumahku sambil
berselimut. Sungguh, cuaca seperti ini sempurna sekali untuk tidur.
Nyaris
saja aku memejamkan mata ketika ada yang bertanya, “Eh, cerpen yang ditugasin
kemarin itu minimal dua halaman, kan?”
“He-eh,
tentang pengalaman kita pokoknya.” jawab temanku yang tadi membuka laptopnya di
meja. Rupanya mereka sedang mengerjakan tugas yang diberikan oleh guru Bahasa
Indonesia kemarin.
“Hee...kalian
udah ngerjain cerpennya?” Aku mulai bergabung dalam percakapan.
“Gua
belum kok, nggak ngerti mau nulis apaan. Ya bingung loh, sehari-hari gua gak
ada yang istimewa. Gini-gini aja,” Gisma mulai mengeluarkan curahan hatinya.
Lega juga ternyata ada teman yang senasib denganku.
“Iya
nih, mau nulis apa coba tentang pengalaman mah. Kalau fiksi kayaknya lebih
gampang buatnya,” timpal yang lainnya.
“Eh
tapi nggak juga kok, bisa loh kalau kita mau membuat pengalaman kita jadi
menarik atau lucu.” Isca menyeletuk. Aku lumayan setuju pada ucapan Isca. Namun
masalahnya, aku tidak ingat kalau pengalamanku ada yang cukup menarik untuk
dijadikan cerpen.
Menyerah,
akhirnya aku mulai mengikuti jejak kelompok yang bermain game di saat tidak ada
guru. Tumbennya, baru beberapa menit mengutak-atik game di iPad kepunyaan
Gisma, rasa kebosanan sudah menjalar. Ya ampun, betapa inginnya aku untuk
pulang secepat mungkin dan menikmati lembutnya bantal di kamarku. Tapi itu
hanya harapan belaka, karena faktanya setelah jam pulang sekolah kelas kami
masih harus mengikuti tambahan belajar matematika.
Tak terasa istirahat pertama sudah dilewati.
Setelahnya kami bergegas ke Laboratorium Fisika untuk praktek elektronika.
Suasana hatiku saat ini lumayan baik karena kini kami tengah merakit lampu LED
dan aku bisa menyolder timah perekat dengan lumayan rapi. Tapi tidak, aku tidak
bercita-cita untuk masuk ke fakultas yang berembel-embel teknik ataupun
pertukangan seperti yang dikatakan oleh teman yang meledekku tadi. Cita-citaku adalah
untuk menuntut ilmu kedokteran.
Pelajaran elektronika berakhir tanpa disadari. Kini
Pendidikan Kewarganegaraan telah menanti untuk mengisi dua jam berikutnya.
Sejujurnya aku tidak begitu menikmati mata pelajaran yang satu ini.
Membosankan, bagiku. Untungnya, Ibu Umi memutuskan untuk mengisi jam PKn hari
ini dengan berdebat. Seluruh siswa dibagi menjadi dua kelompok, pro dan kontra.
Dan kami akan berdebat dengan topik Keterbukaan Pemerintah. Sesi debat berlangsung dengan seru hingga
aku lumayan menikmati jam pelajaran PKn sampai akhir.
“Ibuuuuu cerpennya belum selesai,” Terdengar riuh
celetukan teman-teman tepat ketika guru Bahasa Indonesia baru melangkahkan
kakinya ke dalam kelas kami.
“Bu, dilanjutkan sekarang nggak apa-apa ya?” pinta
seseorang dengan nada memelas.
Gerutu anak muridnya dibalas dengan senyuman maklum
sekaligus heran. “Ya nggak apa-apa, kok. Sekarang memang materinya untuk
membuat cerpen ini.” Jawabnya dengan nada suara yang khas. Aku bisa melihat
wajah-wajah yang tadi bingung kini menampilkan mimik kelegaan.
“Bu, tapi saya bingung mau menulis apa. Kehidupan
saya sehari-hari monoton gini, Bu.” keluh Gisma dengan didramatisir. Kami yang
melihatnya hanya tersenyum simpul. Maklum.
“Ya udah Gis, kalau kehidupan sehari-hari kamu
monoton, ya tulis aja pengalaman orang lain.” Kami tertawa mendengar jawaban Ibu
Melly. Gisma yang merasa diledek kemudian melipir ke tempat duduknya sambil
berceloteh manyun.
Bosan, aku mendekati Isca yang sedang berkutat dengan
laptopnya. Kuintip layarnya dan ternyata dia pun baru mengetik segelintir kata.
“Loh, Ca. Gua kira lo udah ngetik banyak.” celetukku heran.
“Apa? Ini bikin baru lagi kok,” jawabnya.
“Loh, kenapa?”
“Nggak apa-apa, bikin lagi aja.”
Aku membaca beberapa tulisan di layar laptop
silvernya. Sepertinya akan menjadi cerita yang menarik. Iseng, aku menyurukan
daguku di bahunya untuk membuatnya merasa geli.
“Heh, gak puas-puas amat ya, lo ini...” Bisa ditebak,
sekarang Isca menoleh kepadaku dengan tatapan kesal. “Sini, Shof!” Dia mulai
menaruh dagunya di bahuku dan melakukan apa yang sebelumnya kuterapkan
kepadanya.
“HYAAA JANGAN! JANGAN!!” Aku berteriak kegelian.
Sebenarnya aku sendiri tidak tahan geli, tapi aku suka melihat ekspresi
teman-temanku ketika kugelitiki.
“Nah, kan. Sekarang kesannya kayak gua yang
antagonis.” Gerutu Isca mendengar teriakanku.
Percakapan pun mengalir secara alami. Tiba-tiba dan
tanpa diminta, Isca menceritakan pengalaman memalukannya sewaktu kecil. Aku
tergelak hingga hampir kehabisan napas mendengar ceritanya itu. Mungkin bagi
dia itu memalukan. Tapi bagi aku dan Sheira yang mendengarkan, itu merupakan
cerita yang sangat kocak. Ibu Melly hanya geleng-geleng kepala mendengar cerita
Isca dan melihat kami yang tertawa seperti kesetanan. Sungguh, butuh waktu
cukup lama untukku agar bisa berhenti tertawa sepenuhnya.
“Ih gua bingung loh mau nulis apaan, pengalaman apa
coba?” Lagi, aku melihat Gisma menggerutu sambil mondar-mandir.
Aku meraih kedua tangan Gisma. “Ya udah Gis, coba
kita dansa dulu,” ujarku bercanda. “Kita buat kenangan kita sendiri.”
Detik itu juga aku mendapat ide untuk membuat
ceritaku. Terdengar suara Gisma yang mengatakan bahwa dia tidak bisa berdansa
atau sejenisnya. Namun aku tidak lagi menghiraukannya. Tidak juga suara
teman-teman lain yang sedang asyik mengobrolkan sesuatu yang terlihat seru,
maupun mereka yang sedang berkumpul untuk bermain game bersama. Kini pikiranku hanya
tertuju pada satu hal. Untuk segera sampai ke rumah dan membuka lembar kerja
pada laptopku.
Dan inilah aku. Berada di dalam kamar bercat hijau,
tempat yang menurutku paling nyaman seantero jagat. Sudah berada di dalam
pakaian santai. Kedua mataku terasa berat memang. Tapi sudah kutegaskan kepada
diriku sendiri untuk mulai membuka laptop berwarna putih milikku yang bahkan
telah kuberi nama panggilan sendiri, menaruhnya di atas meja lipat kecil agar
bisa digunakan di atas tempat tidur, lalu membuka lembar kerja Word terbaru. Jari-jariku merangkai
kumpulan kata-kata yang akan bermetamorfosis menjadi cerita yang sedang kau baca
sekarang.
“Kita buat kenangan kita sendiri.”
------
Tidak ada komentar:
Posting Komentar