Kamis, 26 September 2013

Cerpen- Ide



IDE

Shofi Hana Regita Syehrun
 

Berbagai suara di kelas seakan berebut untuk menggetarkan gendang telingaku. Ya, beginilah suasana kelas pada umumnya jika guru biologi yang bertugas mengajar pada jam pertama di pagi hari tidak kunjung datang. Murid-murid yang merasa mendapat angin segar pasti mulai melakukan aktifitas favorit masing-masing. Entah itu sekadar mengobrol dengan teman dekatnya, main game, browsing internet, ataupun hanya menyeletuki temannya yang sedang mengobrol.
“Kemarin aku ketemu sama ibu itu, kayaknya sih dia sakit.” ujar salah satu temanku. Dia sendiri tengah membuka laptop kecilnya di meja. Entah apa yang akan dikerjakannya, dan aku pun tidak berminat untuk mengetahuinya.
“Oh, mungkin hari ini dia lagi ke rumah sakit. Makanya nggak masuk,” Teman yang kini tengah membrowsing ria di sampingku menyeletuk sok tahu.
“Yee...ke dokter kali, Nas. Mau periksa,”  Iseng, anak yang tadi memberi informasi menyalahi jawaban temannya.
“Alah, sama aja lah...”
Aku menelusuri gerak-gerik di ruangan ini tanpa semangat. Hari sudah menunjukkan pukul tujuh lewat. Seharusnya matahari sudah membumbung lumayan tinggi. Namun cuaca yang mendung membuat suasana terlihat seperti masih dini hari. Sayup-sayup terdengar tetes-tetes hujan yang menyentuh tanah sekolah. Ah, betapa enaknya jika sekarang aku berada di depan televisi di rumahku sambil berselimut. Sungguh, cuaca seperti ini sempurna sekali untuk tidur.
Nyaris saja aku memejamkan mata ketika ada yang bertanya, “Eh, cerpen yang ditugasin kemarin itu minimal dua halaman, kan?”
“He-eh, tentang pengalaman kita pokoknya.” jawab temanku yang tadi membuka laptopnya di meja. Rupanya mereka sedang mengerjakan tugas yang diberikan oleh guru Bahasa Indonesia kemarin.
“Hee...kalian udah ngerjain cerpennya?” Aku mulai bergabung dalam percakapan.
“Gua belum kok, nggak ngerti mau nulis apaan. Ya bingung loh, sehari-hari gua gak ada yang istimewa. Gini-gini aja,” Gisma mulai mengeluarkan curahan hatinya. Lega juga ternyata ada teman yang senasib denganku.
“Iya nih, mau nulis apa coba tentang pengalaman mah. Kalau fiksi kayaknya lebih gampang buatnya,” timpal yang lainnya.
“Eh tapi nggak juga kok, bisa loh kalau kita mau membuat pengalaman kita jadi menarik atau lucu.” Isca menyeletuk. Aku lumayan setuju pada ucapan Isca. Namun masalahnya, aku tidak ingat kalau pengalamanku ada yang cukup menarik untuk dijadikan cerpen.
Menyerah, akhirnya aku mulai mengikuti jejak kelompok yang bermain game di saat tidak ada guru. Tumbennya, baru beberapa menit mengutak-atik game di iPad kepunyaan Gisma, rasa kebosanan sudah menjalar. Ya ampun, betapa inginnya aku untuk pulang secepat mungkin dan menikmati lembutnya bantal di kamarku. Tapi itu hanya harapan belaka, karena faktanya setelah jam pulang sekolah kelas kami masih harus mengikuti tambahan belajar matematika.
                Tak terasa istirahat pertama sudah dilewati. Setelahnya kami bergegas ke Laboratorium Fisika untuk praktek elektronika. Suasana hatiku saat ini lumayan baik karena kini kami tengah merakit lampu LED dan aku bisa menyolder timah perekat dengan lumayan rapi. Tapi tidak, aku tidak bercita-cita untuk masuk ke fakultas yang berembel-embel teknik ataupun pertukangan seperti yang dikatakan oleh teman yang meledekku tadi. Cita-citaku adalah untuk menuntut ilmu kedokteran.
                Pelajaran elektronika berakhir tanpa disadari. Kini Pendidikan Kewarganegaraan telah menanti untuk mengisi dua jam berikutnya. Sejujurnya aku tidak begitu menikmati mata pelajaran yang satu ini. Membosankan, bagiku. Untungnya, Ibu Umi memutuskan untuk mengisi jam PKn hari ini dengan berdebat. Seluruh siswa dibagi menjadi dua kelompok, pro dan kontra. Dan kami akan berdebat dengan topik Keterbukaan Pemerintah. Sesi debat berlangsung dengan seru hingga aku lumayan menikmati jam pelajaran PKn sampai akhir.
                “Ibuuuuu cerpennya belum selesai,” Terdengar riuh celetukan teman-teman tepat ketika guru Bahasa Indonesia baru melangkahkan kakinya ke dalam kelas kami.
                “Bu, dilanjutkan sekarang nggak apa-apa ya?” pinta seseorang dengan nada memelas.
                Gerutu anak muridnya dibalas dengan senyuman maklum sekaligus heran. “Ya nggak apa-apa, kok. Sekarang memang materinya untuk membuat cerpen ini.” Jawabnya dengan nada suara yang khas. Aku bisa melihat wajah-wajah yang tadi bingung kini menampilkan mimik kelegaan.
                “Bu, tapi saya bingung mau menulis apa. Kehidupan saya sehari-hari monoton gini, Bu.” keluh Gisma dengan didramatisir. Kami yang melihatnya hanya tersenyum simpul. Maklum.
                “Ya udah Gis, kalau kehidupan sehari-hari kamu monoton, ya tulis aja pengalaman orang lain.” Kami tertawa mendengar jawaban Ibu Melly. Gisma yang merasa diledek kemudian melipir ke tempat duduknya sambil berceloteh manyun.
                Bosan, aku mendekati Isca yang sedang berkutat dengan laptopnya. Kuintip layarnya dan ternyata dia pun baru mengetik segelintir kata. “Loh, Ca. Gua kira lo udah ngetik banyak.” celetukku heran.
                “Apa? Ini bikin baru lagi kok,” jawabnya.
                “Loh, kenapa?”
                “Nggak apa-apa, bikin lagi aja.”
                Aku membaca beberapa tulisan di layar laptop silvernya. Sepertinya akan menjadi cerita yang menarik. Iseng, aku menyurukan daguku di bahunya untuk membuatnya merasa geli.
                “Heh, gak puas-puas amat ya, lo ini...” Bisa ditebak, sekarang Isca menoleh kepadaku dengan tatapan kesal. “Sini, Shof!” Dia mulai menaruh dagunya di bahuku dan melakukan apa yang sebelumnya kuterapkan kepadanya.
                “HYAAA JANGAN! JANGAN!!” Aku berteriak kegelian. Sebenarnya aku sendiri tidak tahan geli, tapi aku suka melihat ekspresi teman-temanku ketika kugelitiki.
                “Nah, kan. Sekarang kesannya kayak gua yang antagonis.” Gerutu Isca mendengar teriakanku.
                Percakapan pun mengalir secara alami. Tiba-tiba dan tanpa diminta, Isca menceritakan pengalaman memalukannya sewaktu kecil. Aku tergelak hingga hampir kehabisan napas mendengar ceritanya itu. Mungkin bagi dia itu memalukan. Tapi bagi aku dan Sheira yang mendengarkan, itu merupakan cerita yang sangat kocak. Ibu Melly hanya geleng-geleng kepala mendengar cerita Isca dan melihat kami yang tertawa seperti kesetanan. Sungguh, butuh waktu cukup lama untukku agar bisa berhenti tertawa sepenuhnya.
                “Ih gua bingung loh mau nulis apaan, pengalaman apa coba?” Lagi, aku melihat Gisma menggerutu sambil mondar-mandir.
                Aku meraih kedua tangan Gisma. “Ya udah Gis, coba kita dansa dulu,” ujarku bercanda. “Kita buat kenangan kita sendiri.”
                Detik itu juga aku mendapat ide untuk membuat ceritaku. Terdengar suara Gisma yang mengatakan bahwa dia tidak bisa berdansa atau sejenisnya. Namun aku tidak lagi menghiraukannya. Tidak juga suara teman-teman lain yang sedang asyik mengobrolkan sesuatu yang terlihat seru, maupun mereka yang sedang berkumpul untuk bermain game bersama. Kini pikiranku hanya tertuju pada satu hal. Untuk segera sampai ke rumah dan membuka lembar kerja pada laptopku.
                Dan inilah aku. Berada di dalam kamar bercat hijau, tempat yang menurutku paling nyaman seantero jagat. Sudah berada di dalam pakaian santai. Kedua mataku terasa berat memang. Tapi sudah kutegaskan kepada diriku sendiri untuk mulai membuka laptop berwarna putih milikku yang bahkan telah kuberi nama panggilan sendiri, menaruhnya di atas meja lipat kecil agar bisa digunakan di atas tempat tidur, lalu membuka lembar kerja Word terbaru. Jari-jariku merangkai kumpulan kata-kata yang akan bermetamorfosis menjadi cerita yang sedang kau baca sekarang.
“Kita buat kenangan kita sendiri.”
------     

Tidak ada komentar:

Posting Komentar