Rabu, 15 Agustus 2012

Surat Dari Ibu





What a inspiring story copied from ALIF 

*** 

Orang bilang anakku seorang aktivis, Kata mereka namanya tersohor dikampusnya sana. Orang bilang anakku seorang aktivis, Dengan segudang kesibukan yang disebutnya amanah umat . Orang bilang anakku seorang aktivis, Tapi bolehkah aku sampaikan padamu nak ? “Ibu bilang engkau hanya seorang putra kecil ibu yang lugu.”

Anakku, sejak mereka bilang engkau seorang aktivis ibu kembali mematut diri menjadi ibu seorang aktivis .Dengan segala kesibukkanmu,ibu berusaha mengerti betapa engkau ingin agar waktumu terisi dengan segala yang bermanfaat.Ibu sungguh mengerti itu nak, tapi apakah menghabiskan waktu dengan ibumu ini adalah sesuatu yang sia-sia nak ? Sungguh setengah dari umur ibu telah ibu habiskan untuk membesarkan dan menghabiskan waktu bersamamu nak,tanpa pernah ibu berfikir bahwa itu adalah waktu yang sia-sia
 
Anakku,kita memang berada disatu atap nak,di atap yang sama saat dulu engkau bermanja dengan ibumu ini . masih teringat oleh ibumu ini kenangan kenangan manis ketika engkau masih ada didekapanku, dipelukanku.
 
Tapi kini dimanakah rumahmu nak?ibu tak lagi melihat jiwamu di rumah ini .Sepanjang hari ibu tunggu kehadiranmu dirumah,dengan penuh doa agar Allah senantiasa menjagamu .Larut malam engkau kembali dengan wajah kusut.Mungkin tawamu telah habis hari ini,tapi ibu berharap engkau sudi mengukir senyum untuk ibu yang begitu merindukanmu . Ah,lagi-lagi ibu terpaksa harus mengerti,bahwa engkau begitu lelah dengan segala aktivitasmu hingga tak mampu lagi tersenyum untuk ibu . Atau jangankan untuk tersenyum,sekedar untuk mengalihkan pandangan pada ibumu saja engkau engkau,katamu engkau sedang sibuk mengejar deadline. Padahal,andai kau tahu nak,ibu ingin sekali mendengar segala kegiatanmu hari ini,memastikan engkau baik-baik saja,memberi sedikit nasehat yang ibu yakin engkau pasti lebih tahu.Ibu memang bukan aktivis sekaliber engkau nak,tapi bukankah aku ini ibumu ? yang 9 bulan waktumu engkau habiskan didalam rahimku..

Anakku, ibu mendengar engkau sedang begitu sibuk nak. Nampaknya engkau begitu mengkhawatirkan nasib organisasimu,engkau mengatur segala strategi untuk mengkader anggotamu . Engkau nampak amat peduli dengan semua itu,ibu bangga padamu .Namun,sebagian hati ibu mulai bertanya nak,kapan terakhir engkau menanyakan kabar ibumu ini nak ? Apakah engkau mengkhawatirkan ibu seperti engkau mengkhawatirkan keberhasilan acaramu ? kapan terakhir engkau menanyakan keadaan adik-adikmu nak ? Apakah adik-adikmu ini tidak lebih penting dari anggota organisasimu nak ?

Anakku,ibu sungguh sedih mendengar ucapanmu.Saat engkau merasa sangat tidak produktif ketika harus menghabiskan waktu dengan keluargamu . Memang nak,menghabiskan waktu dengan keluargamu tak akan menyelesaikan tumpukan tugas yang harus kau buat,tak juga menyelesaikan berbagai amanah yang harus kau lakukan .Tapi bukankah keluargamu ini adalah tugasmu juga nak?bukankah keluargamu ini adalah amanahmu yang juga harus kau jaga nak?Anakku,ibu mencoba membuka buku agendamu .Buku agenda sang aktivis.Jadwalmu begitu padat nak,ada rapat disana sini,ada jadwal mengkaji,ada jadwal bertemu dengan tokoh-tokoh penting.Ibu membuka lembar demi lembarnya,disana ada sekumpulan agendamu,ada sekumpulan mimpi dan harapanmu.Ibu membuka lagi lembar demi lembarnya,masih saja ibu berharap bahwa nama ibu ada disana.Ternyata memang tak ada nak,tak ada agenda untuk bersama ibumu yang renta ini.Tak ada cita-cita untuk ibumu ini . Padahal nak,andai engkau tahu sejak kau ada dirahim ibu tak ada cita dan agenda yang lebih penting untuk ibu selain cita dan agenda untukmu,putra kecilku..
 
Kalau boleh ibu meminjam bahasa mereka,mereka bilang engkau seorang organisatoris yang profesional.Boleh ibu bertanya nak,dimana profesionalitasmu untuk ibu ?dimana profesionalitasmu untuk keluarga ? Dimana engkau letakkan keluargamu dalam skala prioritas yang kau buat ?

Ah,waktumu terlalu mahal nak.Sampai-sampai ibu tak lagi mampu untuk membeli waktumu agar engkau bisa bersama ibu..

Setiap pertemuan pasti akan menemukan akhirnya. Pun pertemuan dengan orang tercinta,ibu,ayah,kaka dan adik . Akhirnya tak mundur sedetik tak maju sedetik .Dan hingga saat itu datang,jangan sampai yang tersisa hanyalah penyesalan.Tentang rasa cinta untuk mereka yang juga masih malu tuk diucapkan .Tentang rindu kebersamaan yang terlambat teruntai.


***

Selasa, 19 Juni 2012

Incredible Fireball For Incredible Holiday!


Holiday ? such a great word ever! finally I got a time to refresh my mind for a while haha

Well, let’s go to the main point ya! Eventhough I didn’t go anywhere since the first day of holiday, I have a great experience! Ya playing a “Fireball”! honestly,  it doesn’t hot or damage your skin at all. This ball made of Bayur leaf, I can find it easily in the small forest near my house. Well, to make it, you just need to pull the bottom layer of the leaf which have a white color, just like making a ball. Then, soak the ball in the kerosene or ground oil for a while then finally burned it!  Before you play it, don’t forget to smear some baby oil on your foot. Playing in indoor area isn’t recommended! even it doesn't hot, hurt or dangerous (?) please take attention to the safety, guys! and last but not the least, play it! :D

                                                           Bayur Leaf (up and down layer)

                                                          after burned, it looks black

                                                       give it a little touch of fire hahaa
                                                                         gliding

                                                         fighting for the ball

                                                                         kick it!

                                                        




Selasa, 12 Juni 2012

Growing Up Is Horrible, Isn't It ?

E
verything seems so ridiculous as the time passes by. But out of the blue, I got a ridiculous website hahaha here, we can see what will happen on our appereance 20 or 30 years later. This website has changed my mind about being mature is such a great one, being old is horrible I think XD

So, since this night I’ll enjoy my teenage live, hanging out, screaming, laughing, singing, loving, fighting, or taking challenges!  who know we won’t find this valueable time when we grow up. But, being old is such a mob rule haha, we can’t avoid it! but being mature isn’t depends on our age, it’s depends on ours. So, if it makes you happy, do it. If it doesn’t, then don’t!
               
 Look at what I’ve got here  lol 

               what happen with your cute face ? when you were 20, you still use the bangs? hahaha


                                another side of you hahaha you still look gorgeous man ! lol

i know what's on your mind, where's me ? no, i'll never post it here. if only i want to make fun of my self hahaha if you really curious ? just find out yours! B)


Selasa, 05 Juni 2012

Cerpen-Jendela Ribuan Mimpi

             Diruang kecil itu seorang lelaki  paruh baya telah menghabiskan beberapa tahun terakhirnya. Tak ada hal yang membuatnya betah disana. Hanya sebuah ranjang kecil yang renta termakan usia, sama sepertinya. Tak ada sanak saudara ataupun kerabat yang menjenguknya. Beberapa kali memang si susulung datang hanya untuk menuliskan hitam diatas putih, memaksa sang ayah untuk menandatangani surat pembagaian warisan.  Tak ada yang bisa dilakukannya selain menurut, toh ia juga merasa kulitnya sudah mulai menyibak aroma tanah.
              Akhirnya hal yang selalu diimpikannya datang juga. Seorang teman. Sekarang Ia tak sendiri lagi di ruangan kecil dengan aroma raksanya yang khas. Seorang lelaki berusia 40 tahun kini menjadi bagian dari kamar itu, dari jiwa yang selalu merintih kesepian. Sang kakek selalu berdoa agar ia diberikan seorang teman dalam ruangan ini, agar ia tak sendirian, agar ia tak kesepian. Ia ingin mengobrol dan menceritakan betapa gagahnya ia dulu menjadi seorang tentara yang bertempur di Ambarawa.
Sayang, teman barunya hanyalah pendengar setia. seluruh neuron dalam syaraf pusatnya mati. Satu-satunya indra yang masih berfungsi adalah telinganya. Kata manusia-manusia berbaju serba putih itu harapan hidup lelaki ini hanya sekitar 20 %, ya manusia-manusia itu juga bertingkah bagai seorang peramal, menurut mereka waktunya hanya tinggal tersisa 7 hari lagi. Bedebah mereka, seolah ingin mengalahkan kekuasaan Tuhan saja !
                 Dimulailah kehidupan baru diruang sempit dan pengap itu. Sejak mendapat teman baru, sang veteran tak henti-hentinya bercerita tentang keadaan dibalik jendela. Ya, ranjangnya memang berada di pojok ruang dan memang dekat pula dengan jendela, sedang si lelaki koma didekat pintu masuk kamar ini.

  
Hari pertama :
“wah.. lihatlah hari ini mentari bersinar terang. Oh lihat, dibawah sana banyak anak kecil yang sedang bermain bola. lihatlah, mereka bermain dengan sangat bersemangat sampai sampai bajunya basah bagai mandi keringat saja hahaha..seru sekali mereka bermain, andai kau bisa melihatnya juga ! ”

Hari kedua :
“hmm… pagi ini rupanya matahari lagi murung. Sinarnya agak redup, tapi lihatlah juntaian pelangi itu ! wah, ada warna merah, jingga, kuning, hijau, biru, dan nila ! indah sekali, baru kali ini aku melihat pelangi dengan sangat jelas ! benar-benar menakjubkan, andai kau bisa melihatnya juga !”

Hari ke tiga :
“ Subahanallah ! alangkah indah hari ini ! bunga-bunga di taman bawah merekah dengan warna-warna yang sangat indah ! oh lihat, ada kupu-kupu, lebah, dan burung-burung pipit yang sedang bercengkrama diantaranya. Pemandangan yang sangat bagus, andai kau bisa melihatnya juga !”

Hari ke empat :
“Allahuakbar ! lihatlah betapa manisnya anak-anak perempuan yang sedang bekejar-kejaran berusaha menangkap kupu-kupu ditaman itu ! rambut ikalnya berayun-ayun seolah ikut bersemangat mengejar kupu-kupu dengan aneka warnanya itu ! manis sekali, andai kau bisa melihatnya juga !”

Hari ke lima :
“hm.. Lahaula walakuata.. apa benar pemandangan yang kulihat ini ? mentari pagi dengan sinarnya yang membiaskan seluruh ruangan. Oh~ lihatlah dua orang remaja itu. Duduk berdua dibawah pohon. Manis sekali. Hahaha aku jadi ingat cinta pertamaku dulu. Ya ! sang lelaki menghadiahkan sebatang coklat, wah romantis sekali, andai kau bisa melihatnya juga !”

 Hari ke enam :
“Ya Salam ! pagi ini Monas terlihat begitu megah ! ini hari libur kah ? banyak sekali orang yang berkumpul disana. Oh, beberapa dari mereka berkeliling dengan sepeda  bersama. Aku baru sadar betapa indahnya Jakarta di pagi ini ! alangkah menyenangkan yah, andai kau bisa melihatnya juga !”

Hari ke tujuh :
“Subahanallah, malam ini sedang ada bulan purnama ! wah betapa bulat dan terangnya bulan itu ! aku belum pernah melihat yang seperti ini ckckckck Allah memang maha besar. Malam ini suasana diluar sana damai sekali, andai kau bisa melihatnya juga !”
                 Tak ada cerita dihari kedelapan ini. Lelaki tua itu telah pergi. Bukan, ia tidak pergi melihat suasana ditaman atau disekitar Monas seperti yang  diceritakannya setiap hari pada si lelaki bisu yang masih saja terbaring dengan berbagai alat medis yang tiap saat berdecit, “tiit..tiit..tiit..”. lelaki tua itu akhirnya bisa keluar dari ruangan yang serba putih ini, ia kahirnya menemukan dunianya yang baru, alam yang baru…
***
                Satu bulan kemudian…

                Benar saja, manusia-manusia yang berjubah serba putih itu tak bisa menandingi kekuasaan Tuhan. Lihatlah, kini sang lelaki bisu yang mereka perkirakan tak akan bertahan lebih dari satu minggu, kini telah sadar dari tidur panjangnya. Keajaiban Tuhan, memang tak pernah bisa di tebak !

“Suster, bolehkah ranjang saya dipindahkan ke pojok ruang dekat jendela itu ? bukankah itu kosong ?”

“ya, tentu saja, tuan !” ujar sang suster dengan sedikit bingung, dari mana ia tahu ada jendela ?

                Setelah berpindah ranjang, betapa terkejutnya sang lelaki mendapati sebuah jendela yang begitu tinggi.  Jangankan untuk melihat keuar, jendela tersebut tak bisa dijagkaunya, sekalipun ia berdiri! Jendela kecil itu lebih tepat disebut fentilasi ! dengan nada memohon, dimintanya sang suster untuk melihat keluar jendela tersebut, akhirnya dengan bantuan beberapa rekanya, sang suster dapat melihat suasana dibalik jendela kecil itu.

“tak ada yang dapat terlihat, tuan. Kamar ini langsung berbatasan dengan sebuah gedung, jadi tak ada yang bisa dilihat !” katanya.

“tidak mungkin, sus ! bapak tua yang sebelumnya dirawat dini setiap hari selalu bercerita pada saya tentang pemandangan yang indah, taman, monas, dan… lapangan tempat anak-anak bermain bola ! dia selalu bercetita tentang sinar matahari pagi yang terbiaskan dari jendela itu !”

 Sang suster terlihat terkejut.

“maksud tuan, pak tua itu ? ah~ tuan bercanda ! bagaimana mungkin dia bisa melihat keluar jendela yang tinggi dan tidak ada apa-apanya ini sedangkan matanya saja buta dan kakinya lumpuh !”

“tapi ceritanya benar-benar nyata, sus ! bahkan saya bisa merasakan sinar matahari itu saat dia bercerita ! dan dia selalu menyelipkan kalimat : andai kau bisa melihatnya juga !  diakhir ceritanya itu !”

“Ya tuan, lelaki itu memang hebat. Ia tahu anda koma, dan tinggal indra pendengaran anda sajalah yang dapat berfungsi. Tapi, setiap hari ia mencoba memotivasi Tuan dengan ceritanya yang begitu nyata dengan menyelipkan kata-kata : andai kau bisa melihatnya juga ! agar Tuan, tersugesti untuk dapat melihat apa yang seolah-olah ia lihat ! padahal kami memprediksikan umurnya jauh lebih lama dari tuan, tapi Tuhan lah yang berkuasa atas segalanya. Kami salah…” ujar suster Devira dengan nada rendah seolah menyesal.

Note : this story has been posted in Pulpen

Sabtu, 12 Mei 2012

Cerpen-Mercusuar


Laki-laki bertubuh kurus itu berjalan gontai di bawah terik matahari. Sebuah kemeja  dan celana bahan menutupi tubuhnya yang kurus. Sepasang sepatu sandal melekat di kakinya. Rambutnya panjang, matanya cekung, tetapi pandangannya tajam. Sebuh ransel berwarna coklat melekat dipundaknya, dia terus berjalan menuruti kehendak hatinya ke arah laut pelabuhan itu.
            Laut memang mahaluas.  Ia sendiri bingung menafsirkan arah tujuannya. Kabut pagi yang menembus tulangnya terasa menyakitkan. Biasan sinar matahari yang baru saja bangun dari singgasananya semakin menguatkan tekatnya, apapun yang terjadi, ia harus menemukan kenangan masa kecilnya. Ia rindu, sangat rindu. ia hanya bisa pasrah atas kehadiran badai yang meluluh lantakan semua perahu akal sehat yang sedang berlayar di lautan hatinya.
***
            “9..10.. udah belom nih ??”
Seorang gadis kecil berlarian kecil ke segala sisi di padang rumput itu. Teriknya mentari tak lagi durisaukannya. Rambut ikalnya yang terikat rapi oleh pita merah muda melonjak-lonjak mengikuti semangatnya. Bibir mungilnya mengembang ketika melihat juntaian kain merah yang tertiup angin, tepat di balik semak ilalang itu.

“hayooo ! Tio kena ! ye.. yee..ye..yee.. aku menang !” lonjaknya kegirangan.

 “yaah.. aku kalah deh !” bocah kecil itu mengusap-usap kepalanya yang telah hangus terbakar panasnya matahari, seolah ia begitu putus asa.

“Tio ! kita main sepeda  aja yuk ? aku bosen !”

            Bocah lelaki itupun mengiyakan tanpa menghiraukan akibat apa yang akan ia dapat setibanya dirumah nanti. Mamanya pasti akan mengomel panjang lebar melihat anak lelakinya berubah menjadi lebih kecoklatan dengan tanah dan keringat di bajunya.
            Padang ilalang ini dulunya adalah pantai. Namun, seiring waktu, wilayah laut pun bergeser dan dimulailah titik titik kehidupan rumput hijau ini. Tak jauh dari pantai, ada sebuah menara tua. Sebenarnya dulu itu menara mercusuar untuk membantu penerangan laut dimalam hari agar para nelayan tidak tersesat atau menabrak karang disekitarnya. Walau kini menara itu tak lagi berfungsi, bangunannya tetap terlihat kokoh dan megah dengan ornamen batu kuarsit sebagai pondasinya.
            Kedua bocah itu bermain dengan riangnya. Beratnya pedal yang mereka kayuh saat bermain diantara pasir-pasir pantai itu malah mereka jadikan tantangan untuk dulu-duluan mencapai menara diujung sana. tapi belum juga sampai, mereka malah berbaring di pasir pantai itu. Menikmati indahnya masa kanak-kanak. Desir ombak kecil yang membentur bebatuan karang pun tak ayal mencipratkan air garam itu ketubuh mereka.  Mereka pun tertawa ceria.

“itu bentuknya bunga, Tio ! bukannya mobil !”

“ih itu mobil, Anya ! kamu sih pikirannya bunga mulu !”

            Beberapa kali mereka saling sergah. Pendapatnya tak pernah menyatu. Tio selalu membayangkan kalau awan-awan itu membentuk mobil, kereta, dan pesawat sedang Anya melihatnya dalam sisi feminim, seperti bunga, hati, bahkan Putri Rapunzel di menaranya. Ya..ya..ya.. cara mereka melihat dunia memang sangat mengasyikan. Mereka dapat tertawa lepas tanpa diabut-buat seperti orang dewasa atau menangis dengan kuat diman saja tanpa perlu merasa malu, tidak seperti kita. Bayangkan saja jika kita menangis kuat-kuat ditengah khalayak sekarang ? bukannya pelukan mama yang kita dapatkan, justru tudingan sebagai orang gila lah.

“Ti..oo…! pulang, den ! sudah hampir maghrib nih, nanti mama marah lho, den !” seru  Bi Nah.

“Iya, Bi… bentar aku anter Anya pulang dulu ya !”

            Inilah yang Anya suka dari Tio. Dia tidak pernah melepas atau meninggalkannya. Dia terlalu sayang pada Anya. Tio selalu menjaga dan melindungi Anya tanpa ia sadari sekalipun. Tiap kali suara nyaring Bi Nah melengking, Tio akan mengantar Anya pulang terlebih dahulu, baru akhirnya ia pulang . Anya tak seperti Tio. Anya tak pernah disusul pulang ataupun dimarahi mamanya jika ia keasyikan bermain. Diusianya yang masih sangat belia, mama Anya terpaksa meninggalkannya untuk menyebrang  ke negeri orang demi kelangsungan hidup mereka setelah kepergian papa. Anya hanya dititipkan pada tetangga yang sebenarnya acuh tak acuh pada gadis mungil ini. Jadi, kalaupun Anya tak pulang, tak akan ada yang merisaukannya, mungkin tetangganya justru akan bersyukur bebannya berkurang, maklumlah kondisi perekonomian mereka juga sangat tipis.

“Anya, aku pulang dulu yah.. besok kita main petak umpet lagi, oke ?”

“oke, tapi besok kamu yang jadi ya ! hihihihi..”
***
“7...8…9…10.. Anya ! undah belom ?!”

Tio bergegas memeriksa tiap sudut semak ilalang. Kali ini mereka bermain dekat dengan menara mercusuar ditepi pantai. Sebelum bermain juga mereka sudah naik keatas menara megah itu, bersama Bi Nah tentunya. Lalu, setelah puas merasakan desiran angin yang kencang dan melihat pemandangan pantai yang mahaluas itu dari atas sana, mereka pun memutuskan utuk melanjutkan permainan mereka kemarin, petak umpet.
            Sudah lima kali Tio menyusuri sudut-sudut semak ilalang ini, tepian pantai pun sudah ia susuri, tapi Anya tetap saja belum ditemukan. Tio hampir putus asa mengingat matahari sudah mulai bosan dengan permainan mereka dan hendak melepas jubah jingganya. Pasti sebentar lagi Bi Nah akan menyusulnya, tapi bagaimana dengan Anya ?

“Anya ! kamu dimana nih ? udahan yuk ? udah mau maghrib nih, Nya ! aku nyerah deh !” seru Tio.

Dari tempat persembunyiannya Anya cekikikan sendiri melihat gelagat Tio yang mulai putus asa itu. Tapi ia akan tetap bertahan disini sampai Tio menemukannya. Anya yakin Tio pasti akan menemukannya, Tio ga akan mungkin pulang sebelum mengantarkan dirinya sampai kerumah.

“Den Tio ! udah mau maghrib ! pulang, Den ! Den Tio disuruh mama beresin barang-barangnya Aden !” suara Bi Nah akhirnya melengking juga.

“iya Bi, bentar ! Anya masih ngumpet nih. Aku harus nemuin dia dulu !” sergah Tio.

            Tapi, waktu semakin bergulir dengan cepat dan Anya belum juga ditemukan. Tio telah meminta Bi Nah untuk membantunnya menemukan Anya, tapi tetap saja Anya tak mau kalah. Sampai menjelang azan Isya berkumandang, akhirnya mama Tio turun tangan karena anak semata wayangnya belum juga pulang.
“bentar dulu, ma ! Anya masih ngumpet, nih !” teriak Tio mencoba meyakinkan mama untuk melepaskan tangan mungilnya dan membiarkannya untuk menemukan Anya. Tapi kesabaran mama telah terkuras, mereka harus bergegas pulang untuk persiapan pindah rumah esok hari. Tak ada waktu untuk bermain, apa lagi hari semakin larut. Tio pun hanya bisa pasrah, air mata tak henti-hentinya bercucuran tak ketinggalan dengan suara jeritannya.  Mama Tio pun berusaha meyakinkannya dengan megatakan Anya mungkin saja telah pulang kerumahnya tanpa pamit pada Tio sewaktu bermain tadi.
            Sementara ditempat lain, Anya meringis ketakutan & tak mau keluar dari persembuniannya karena dia yakin Tio akan segera menyusulnya dan mengantarnya pulang. Ia yakin, sangat yakin. Tapi, dimana Tio ?
***
            Lelaki berubuh kurus itu akhirnya menapakan kakinya pada tanah yang seputuh tahun lamanya tidak ia kunjungi. Kenangan-kenangan itu pun seketika menyerbunya bagi sebuah film bisu tanpa jeda. Hinga tanpa terasa air mata luruh dari pelupuk matanya. Tatapannya jatuh pada sebuah menara yang masih saja berdiri kokoh setelah satu dekade ditinggalkannya. Bangunan itu masih saja berdiri dengan tegar diantara hempasan angin dan air garam disekitarnya.
            Tiap satu anak tangga terlangkahkan, rasa bersalah, bingung, dan takut itu kembali menghampirinya. Tiap hentakakan kaki terasa bagai sebilah pisau yang terus menujahnya. Hingga pada pijakan terakhir, jentungnya terasa bergetar, darahnya bagai mendidih, dan hujan keringat dingin itu kembali menghujamnya. Bau anyir sekaligus lembab langsung menusuk indranya.
            Desiran angin yang menerobos jendela kecil dipuncak mercusuar itu seketika membawa kenangan dan janji  itu kembali, kenangan akan sahabat kecilnya, Anya.

“Tio kalo aku diculik sama nenek sihir dimenara ini, kamu harus nyelametin aku ya kaya Putri Rapunzel  ?”

“sip deh ! tapi bukannya Putri Rapunzel rambutnya panjang banget & lurus,Nya ? rambut kamu kan Cuma sebahu, ngikel lagi ! hahaha”

“iih Tio ! ya nanti kamu jangan naek pake rambut aku dong ! kan sakit dijambak ! kamu naek pake tangga punya Paman Kosim aja !”

“hahaha.. iya deh, iya. Tapi aku gak janji  yah kalo tangganya Pamanku lagi dipinjem sama tetangga sebelah hahahaa…”

            dicarinya sosok Anya disana, namun nihil. Anya mungkin sudah pergi. Ya, percis seperti apa yang didengarnya dari mulut Bu Siska, tetangga Anya yang menghasuh gadis itu dulu. Anya menunggu Tio ditempat ini. Anya tetap yakin Tio akan menemukannya, sampai  matanya tak sanggup lagi terbuka.
Tiba-tiba Tio mendengar langkah kaki anak-anak seperti berlarian menghampirinya.
            Detik selanjutnya bergulir begitu lambat. Ditatapnya sesosok gadis . Masih dengan baju dan pita merah mudanya. Tubuhnya pun masih sama mungilnya seperti terakhir kali Tio melihatnya, hanya saja kulitnya lebih pucat dari biasanya. 
“Tio ! kamu udah nemuin aku !! sekarang giliran kamu yang ngumpet !”.


Bandar Lampung, 12 Mei 2012
Zakia Prajani

Kamis, 10 Mei 2012

The Power of Words : Bewitch


I’m strong because I’ve been weak. I’m fearless, because I’ve been afraid. I’m wise, because I’ve been foolish.


Some times it’s better to be alone. No one can hurt me that way.


You’re my could have been and should have been. But never was and never will be.


I’ll move on. It’s just a chapter in the past. I won’t close the book, just turn the page.


I won’t change to please someone. I’ll change because it makes me a better person & leads me to a better furute.


I’m not beautiful as you. I’m beautiful like the way I am. I am me.


Don’t judge me until you know me. Don’t underestimate me until you challenge me. Don’t talk about me until you talk to me.


Sometimes, laughing isn’t something we do for fun. Sometimes, it’s a relief when we have nowhere to run.


I’m fine exactly as I am. My words & flaws. I don’t need to change. I’m not ugly, fat, stupid, or worthless. I am me.


Being a fangirl : Mentally dating a celebrity that doesn't know you exist


Sometimes I think live is fake, we pretend to smile while deep inside crying. We pretend to fit in them who actually accept us to be deceived, not as a real friend. hey, we aren't "Barbie", we don't life in plastic !

Gold, silver, diamond, and even money aren’t the most valuable things. Somehow they will gone. Only the true friend will last.


inspired by many sources : 
My live