I’ll
Walk Forward.
SORAYA INDIRA SARI
Hari
itu adalah pertama kalinya aku bertengkar dengan seorang sahabat. Namanya
adalah Lies Deanti. Kami memanggilnya dengan Dean. Dia adalah anak yang ceria
dan sangat menarik. Aku, Dean dan seorang teman kami yang bernama Ghina Khansa
Izatti adalah sahabat yang sangat dekat. Sejak kami SD, orang-orang memanggil
kami dengan sebutan tiga serangkai. Mungkin itu karena kami menyukai hal yang
sama, dan sering sekali bermain bersama. Persahabatan kami terus berlanjut
hingga kami SMA walaupun kami bertiga tidak bersekolah di SMA yang sama.
Usaha
dan doaku terkabul dengan masuknya aku ke SMAN 2 Bandar Lampung. Namun, Tuhan
tidak pernah lupa memberikan cobaan di saat makhluknya merasa bahagia. Belajar
di SMA 2 dengan sistem SKS yang sangat berbeda dengan cara belajar sebelumnya, sangatlah
berat. Nilaiku jatuh, materi pun tak dapat kuterima dengan baik. Harapan orang
tua seakan menjadi beban mental bagiku. Secara perlahan-lahan aku menjadi takut
dengan apa yang akan terjadi di masa depan.
Beban
pikiran ini terbawa saat aku bermain bersama mereka berdua. Mereka menjadi
tidak nyaman bermain bersamaku. Dan beberapa hari kemudian aku menerima pesan
dari Dean yang mengatakan bahwa diriku berubah. Aku bingung, dan bertanya apa
yang telah kulakukan sehingga ia bisa mengatakan aku berubah. Sesakit apapun
itu, aku ingin memperbaiki kesalahanku pada mereka. Tapi dia tidak membalas.
Keesokan
harinya Aku memutuskan untuk menemui Dean di rumahnya tanpa memberitahunya
terlebih dulu. Ketika aku sampai disana, Dean menyapaku dengan mata yang tidak
ramah. Tetapi aku tidak mau menyerah, juga setelah kutahu ternyata Ghina juga berada
disana. Maka aku langsung berpikir untuk minta maaf kepada mereka berdua.
“De,
Ghin… maafin gue plis…” aku duduk menunduk di hadapan mereka berdua. Ghina
mengangguk, sedangkan Dean tidak memberikan respon apapun. Aku merasa tidak
enak pada mereka berdua selama aku berada di rumah Dean. Aku berpura-pura
merasa senang dan mengobrol bersama mereka seperti biasa.
Ketika
aku sudah berada di rumah, Aku tidak bisa menahan diri untuk tidak menelpon
Ghina.
“Ne,
Ghin. Arigatou. (terima kasih)” adalah kata pertama yang aku ucapkan setelah aku
mendengar Ghina mengatakan ‘Halo’. Aku menangis di sepanjang telepon bertanya
apa yang harus aku lakukan untuk memperbaiki persahabatan kami. Tapi Ghina
tidak bisa mengatakan apapun. Karena ini adalah masalah yang harus aku
selesaikan sendiri.
“Tapi
lo masih mau temenan sama gue kan?” tanyaku sesenggukan.
“Ya iyalah Sor nyosor… gue ama Dean
tau, kalo lo itu lagi beradaptasi di SMANDA. Gue juga tau lo punya goal yang
harus lo kejer. Lagipula lo tetep Sora yang gue kenal, Cuma lagi stress aja.
Jangan nangis geh” Ghina menjawab dengan setengah tertawa, aku pun tak bisa
menahan diri untuk tidak tertawa juga.
“Makasih
Ghin… Makasih banget.” dengan itu aku memutuskan sambungan telepon.
Satu
masalah selesai. Sekarang gue harus mikirin kayakmana ngehadepin Dean
Pikirku saat itu. Aku memutuskan untuk menghadapi Dean secara langsung. Karena
sudah belasan SMS minta maaf yang telah terkirim tetapi tak satupun dibalas. Dan
sudah entah berapa kali telepon dariku yang tak diangkatnya. Apapun alasannya, aku
harus menghadapinya secara langsung, karena ini usaha terakhir yang bisa kupikirkan
saat itu.
Beberapa hari kemudian, tepat sepulang sekolah
aku pergi ke SMA 10 Bandar Lampung. Ketika tiba, keadaan sekolah masih sepi. Ternyata
mereka belum pulang. Karena tak punya kenalan lain di sekolah itu, Aku menunggu
di sebuah warung nasi uduk yang ada di seberang SMA itu dan memesan makanan.
Tatapan mataku tak pernah pergi dari gerbang sekolah itu. Tetapi sudah 2 jam aku
menunggu sejak jam pulang SMANDA di hari Kamis berdering, Dean tidak pernah
muncul. Jam sudah menunjukkan pukul 5 sore dan pedagang nasi uduk itu pun mulai
membereskan dagangannya, bersiap pulang.
Apakah
sebegitu tidak inginnya dia berteman kembali denganku? Yang aku mau cuma
berteman kembali bersamanya. Apakah dia memang menghindari aku, karena dia tahu
aku memakai almamater SMANDA? Apakah dia benar-benar sudah berada di tempat
itu? Tempat dimana sudah tidak ada kata toleransi lagi untuk orang seperti aku?
Kalau memang begitu.. apapun yang aku usahakan untuk memperbaiki hubungan
pertemanan kami, jadi tidak ada gunanya… Kepalaku penuh dengan pikiran negatif. Tiba-tiba
aku merasa seperti ingin menangis. Pada akhirnya, kuputuskan untuk pulang,
karena jadwal privat Matematika menungguku di rumah.
Seusai
privat, aku meraih handphoneku yang
sedang dicas di atas tempat tidur.
‘De,
Maafin gue. Terimakasih. Gue bersyukur udah pernah kenal sama lo. Gue ga bisa
ketemu sama lo lagi.’ adalah pesan terakhir yang kukirim padanya. Setelah itu aku
menghapus nomornya, semua pesan yang pernah kukirim untuknya dan semua daftar
panggilan yang menyangkut tentang dirinya.
Aku
menghabiskan sepanjang malam, menangisi kebodohan diriku sendiri. Tidak akan ada
lagi masa yang kami habiskan bertiga. Ingatanku kembali ke masa SD dulu,
sewaktu kami berada di kelas yang sama, sewaktu kami memakai seragam yang sama,
melakukan hal bodoh bersama, diam dalam kesal ketika komik milik kami
masing-masing disita secara bersamaan, berebut makanan, berebut giliran
meminjam komik, berteriak hal aneh sekeras-kerasnya diatas atap rumah tanpa
memedulikan ada orang yang dapat mendengarnya, bertengkar karena hal kecil dan
langsung minta maaf sesudahya. Saat salah satu dari kami punya masalah seberat
apapun itu, kami tetap saling mendukung, menangis bersama, tertawa bersama, Ya
Tuhan… aku ingin kembali.
Ah…
andaikan aku bisa kembali ke masa itu, masa di mana aku masih mengerti mereka
berdua dengan saat baik. Masa di mana kami belum menjadi dewasa. Karena
kedeewasaan membuat manusia menjadi egois. Karena kedewasaan membuatku takut
untuk mengambil resiko. Tapi lari dari masalah seperti ini sama saja mengambil
jalan terburuk. Ya Tuhan… Aku benci dengan kenyataan bahwa aku harus menjadi
dewasa untuk hidup dalam masyarakat. Aku ingin masa bersama mereka berdua itu
akan terjadi lagi. Tapi aku sudah tidak bisa memepertahankan rasa tidak ingin
menyerah itu lagi di saat aku sudah mendapat banyak penolakan seperti ini. Kenapa?
Kenapa semua ini berakhir secara tiba-tiba?
Sekali
lagi air mata terasa saat mengalir di pipi. Pesan itu sudah terkirim. Aku tidak
bisa mengubah keputusanku lagi. Tidak. Bukannya tidak bisa. Tapi aku tidak
boleh. Aku tidak boleh cengeng. Dia memang sahabatku. Tetapi dia tidak boleh menghambat
masa depanku. Hal-hal menyenangkan dan menyedihkan bersamanya tidak akan
kulupakan. Sudah banyak juga kata-kata yang kuterima dari Dean yang membuatku
lebih kuat. Tidak apa kan kalau perpisahan ini kugunakan sebagai sesuatu yang
membuatku lebih kuat lagi? Ini memang berat, tapi aku bisa. Pasti bisa. Aku
akan menghidupi ‘masa sekarang’ dengan sebaik-baiknya. Aku akan mulai perubahan
ini, sekarang.
Keesokan
harinya di saat aku sempat, aku menghapus semua hubunganku di internet
dengannya dari laptop salah satu teman yang kebetulan membawa benda itu. Aku
menahan diri untuk tidak menangis. Tetap ceria seperti biasanya. Tetap menggila
seperti biasanya. Tetapi saat mengobrol mengenai hal tak jelas bersama Sanas
Zanadiya dan Zakia Prajani, dua teman yang paling dekat denganku di kelas,
kontrol diriku lepas. Aku tidak bisa menahan diri untuk tidak menangis. Mereka
yang heran karena aku memang tidak pernah cerita apapun hanya bisa mengelus
pundakku lembut, berusaha membuatku kembali tenang.
Sejak hari itu aku lebih mendekatkan
diri pada Sanas dan Zakia. Juga dengan teman-teman lain di sekolah, seperti
Gisma Chairunissa, Isca Amanda, Shofi Hana Regita, Sheira Indah Anjani. Sebelumnya
bukannya kami tidak akrab, hanya saja tidak terlalu dekat. Hari-hari
menyenangkan itu kembali. Walaupun tidak dijalani bersama teman yang sama, rasa
bahagia yang kurasakan adalah sama. Walaupun kesenangan itu hanya akan
berlangsung semasa kami SMA, Aku tetap bersyukur. Karena kesenangan itu sangat
menyenangkan sampai tidak terasa sekarang kami sudah menginjak kelas 11 dan
sudah harus bersiap-siap untuk mengambil jalan hidup dengan serius.
Tuh
kan, Aku bisa mengatasi semua ini. Aku juga
sudah beradaptasi dengan sistem SKS, sehingga aku bisa sedikit mengejar target.
Beban pikiran itu juga secara perlahan-lahan menghilang. Tapi entah mengapa
sejak saat itu aku tidak ada lagi perasaan takut kehilangan sahabat. Mungkin
agak sedikit tidak manusiawi karena mereka dekat dengan ku. Tapi mungkin juga
hanya perasaan takut yang menyelubungi ku untuk mengurangi rasa sedihku di
waktu kelulusan nanti.
Sekarang, aku bersyukur telah kuputuskan untuk lari dari masalah itu. Hari
itu aku memang ‘membuka pintu secara paksa’, tapi sekarang aku sudah berada di
jalan yang mengarah ke mimpiku. Di ujung jalan sana masih terdapat sebuah
tangga yang harus kunaiki untuk memasuki mimpi itu. Mungkin nanti, dikala aku
berhasil menaiki puncaknya, aku akan mengingat semua hal yang telah terjadi ini
sebagai memori yang indah. Memori-memori perjuanganku yang memberikanku rasa
percaya diri dan kebebasan. Memori-memori yang pernah terjadi akan terasa
sangat lama dan bisa membuatku tertawa atau menitikkan air mata di hari tua.
Untuk menyongsong hari itu, aku harus lebih banyak berusaha lagi hari ini.
~ 13.09.25 ~