Kamis, 31 Oktober 2013

Bincangan Jiwa



Oleh jiwa yang bungkam dalam meriam senja. Dari hati yang terpenjara dalam panggung sandiwara..
 
Kadang.. aku merasa sangat senang bisa berada disini. Bertemu kamu, dia, dan mereka. Merasa menjadi remaja paling beruntung, bisa mendapat pengetahuan yang belum didapat oleh mereka. Dapat mengembangkan pola pikir, mental, dan karakter.

Kadang pula, aku merasa sangat egois. Selalu ingin jadi yang terbaik, selalu ngin jadi yang terdisiplin, selalu ingin jadi pemimpin. Selalu merasa aku bisa melakukan semua, merasa energiku sangat berlimpah, tanpa putus semangat. Entahlah, bagaimana sikapku ini dimata mereka.
Namun, rasa ini kini kembali datang. Ah.. padang hati ini seolah sering diterjang badai. Sekali lagi, ini bukan kali pertama. Rasa malu, kecewa, dan menyesal.. kenapa kalian sangat suka hinggap? Kenapa kalian selalu datang dan memenjarakan jiwaku?

Ah.. keegoisanku. Mengapa kau sampai mendorongku untuk berani melakukan hal yang terlalu besar dan melupakan hal kecil yang justru penting? Kenapa di dada ini selalu terselip bahwa yang aku lakukan adalah selalu yang terbaik dan memang baik untukku, untuk kau, mereka, untuk ‘ini’. Tapi.. jika itu benar,  mengapa pendapatku selalu berbanding terbalik dengan pandangan orang-orang dewasa itu?
Mengapa begitu pelik.. itu bukan salahku, tapi kenapa kau limpahkan amarahmu padaku? Bukan aku tak tahan atau menyesal, tapi tahukah kamu apa yang sebenarnya?  Tidak, kau tak tahu dan tak mau tahu. Pernah kau berpikir apa yang kami rasakan?

Sepi. Ah.. kau selalu menjadi temanku yang paling setia. Dimanapun,mengapa kau selalu hadir? Lepasakanlah dan tolong menjauh dari jiwa ini. Penjara itu sudah benar-benar mengekangku, jangan kau tambah lagi. Cukup.

Ambisi. Kau, ah.. kenapa pula kau memelukku begitu erat. Longgarkanlah jemarimu. Ku lakukan yang bisa kuusahakan demimu, lalu kenapa kau selalu menuntutku untuk lebih? Mengapa kau terlalu betah duduk bersandar di bahu jiwaku? Mengapa kau selalu menuntutku untuk menjadi yang nomor satu? Tidak kah kau 
puas? Apa lagi yang kau inginkan?

Tanggung jawab. Ah..tolong aku. Kenapa kau selalu datang dan pergi bersama asa? Saat asa bosan, mengapa kau juga ikut bosan bersamaku? Aku mohon, tolong kembali bersama asa dan jangan lagi kalian pergi. Usirlah semua yang mengganggu jiwa. Tahu kah kau? Saat kau menghilang, ambisi datang menguasaiku dan sepi mengurungku sendirian! Aku takut. Aku tahu aku memilikimu, dan kau yang membuatku sampai di titik ini. Janganlah bosan menemaniku, aku mohon. Karena kau salah satu alasan aku berada di sini.

Pergilah gundah, pergilah sepi, pergilah malu, pergilah sedih. Bebaskan aku. Biarkan aku bernyanyi  bersama suka dalam sukma.

Sudahlah, Hentikan panggung sandiwara ini! lepaskan topeng itu, buang, buang saja! Kau yang menjadikan anak kecil berparas dewasa dan orang dewasa berparas anak kecil. Sudahlah, aku sudah bosan menontonmu, aku sesak di dalam auditorium jiwa ini. aku ingin bebas, aku rindu udara. Kembalikan duniaku, dunia kami. Pertunjukkanmu sudah usai, tolong tutuplah tirai merah marunmu.


Selasa, 01 Oktober 2013

Cerpen - I'll Walk Forward

Ill Walk Forward.
SORAYA  INDIRA  SARI



Hari itu adalah pertama kalinya aku bertengkar dengan seorang sahabat. Namanya adalah Lies Deanti. Kami memanggilnya dengan Dean. Dia adalah anak yang ceria dan sangat menarik. Aku, Dean dan seorang teman kami yang bernama Ghina Khansa Izatti adalah sahabat yang sangat dekat. Sejak kami SD, orang-orang memanggil kami dengan sebutan tiga serangkai. Mungkin itu karena kami menyukai hal yang sama, dan sering sekali bermain bersama. Persahabatan kami terus berlanjut hingga kami SMA walaupun kami bertiga tidak bersekolah di SMA yang sama.
Usaha dan doaku terkabul dengan masuknya aku ke SMAN 2 Bandar Lampung. Namun, Tuhan tidak pernah lupa memberikan cobaan di saat makhluknya merasa bahagia. Belajar di SMA 2 dengan sistem SKS yang sangat berbeda dengan cara belajar sebelumnya, sangatlah berat. Nilaiku jatuh, materi pun tak dapat kuterima dengan baik. Harapan orang tua seakan menjadi beban mental bagiku. Secara perlahan-lahan aku menjadi takut dengan apa yang akan terjadi di masa depan.
Beban pikiran ini terbawa saat aku bermain bersama mereka berdua. Mereka menjadi tidak nyaman bermain bersamaku. Dan beberapa hari kemudian aku menerima pesan dari Dean yang mengatakan bahwa diriku berubah. Aku bingung, dan bertanya apa yang telah kulakukan sehingga ia bisa mengatakan aku berubah. Sesakit apapun itu, aku ingin memperbaiki kesalahanku pada mereka. Tapi dia tidak membalas.
Keesokan harinya Aku memutuskan untuk menemui Dean di rumahnya tanpa memberitahunya terlebih dulu. Ketika aku sampai disana, Dean menyapaku dengan mata yang tidak ramah. Tetapi aku tidak mau menyerah, juga setelah kutahu ternyata Ghina juga berada disana. Maka aku langsung berpikir untuk minta maaf kepada mereka berdua.
“De, Ghin… maafin gue plis…” aku duduk menunduk di hadapan mereka berdua. Ghina mengangguk, sedangkan Dean tidak memberikan respon apapun. Aku merasa tidak enak pada mereka berdua selama aku berada di rumah Dean. Aku berpura-pura merasa senang dan mengobrol bersama mereka seperti biasa.
Ketika aku sudah berada di rumah, Aku tidak bisa menahan diri untuk tidak menelpon Ghina.
“Ne, Ghin. Arigatou. (terima kasih)” adalah kata pertama yang aku ucapkan setelah aku mendengar Ghina mengatakan ‘Halo’. Aku menangis di sepanjang telepon bertanya apa yang harus aku lakukan untuk memperbaiki persahabatan kami. Tapi Ghina tidak bisa mengatakan apapun. Karena ini adalah masalah yang harus aku selesaikan sendiri.
“Tapi lo masih mau temenan sama gue kan?” tanyaku sesenggukan.
            “Ya iyalah Sor nyosor… gue ama Dean tau, kalo lo itu lagi beradaptasi di SMANDA. Gue juga tau lo punya goal yang harus lo kejer. Lagipula lo tetep Sora yang gue kenal, Cuma lagi stress aja. Jangan nangis geh” Ghina menjawab dengan setengah tertawa, aku pun tak bisa menahan diri untuk tidak tertawa juga.
“Makasih Ghin… Makasih banget.” dengan itu aku memutuskan sambungan telepon.
Satu masalah selesai. Sekarang gue harus mikirin kayakmana ngehadepin Dean Pikirku saat itu. Aku memutuskan untuk menghadapi Dean secara langsung. Karena sudah belasan SMS minta maaf yang telah terkirim tetapi tak satupun dibalas. Dan sudah entah berapa kali telepon dariku yang tak diangkatnya. Apapun alasannya, aku harus menghadapinya secara langsung, karena ini usaha terakhir yang bisa kupikirkan saat itu.
             Beberapa hari kemudian, tepat sepulang sekolah aku pergi ke SMA 10 Bandar Lampung. Ketika tiba, keadaan sekolah masih sepi. Ternyata mereka belum pulang. Karena tak punya kenalan lain di sekolah itu, Aku menunggu di sebuah warung nasi uduk yang ada di seberang SMA itu dan memesan makanan. Tatapan mataku tak pernah pergi dari gerbang sekolah itu. Tetapi sudah 2 jam aku menunggu sejak jam pulang SMANDA di hari Kamis berdering, Dean tidak pernah muncul. Jam sudah menunjukkan pukul 5 sore dan pedagang nasi uduk itu pun mulai membereskan dagangannya, bersiap pulang.
Apakah sebegitu tidak inginnya dia berteman kembali denganku? Yang aku mau cuma berteman kembali bersamanya. Apakah dia memang menghindari aku, karena dia tahu aku memakai almamater SMANDA? Apakah dia benar-benar sudah berada di tempat itu? Tempat dimana sudah tidak ada kata toleransi lagi untuk orang seperti aku? Kalau memang begitu.. apapun yang aku usahakan untuk memperbaiki hubungan pertemanan kami, jadi tidak ada gunanya…  Kepalaku penuh dengan pikiran negatif. Tiba-tiba aku merasa seperti ingin menangis. Pada akhirnya, kuputuskan untuk pulang, karena jadwal privat Matematika menungguku di rumah.
Seusai privat, aku meraih handphoneku yang sedang dicas di atas tempat tidur.
‘De, Maafin gue. Terimakasih. Gue bersyukur udah pernah kenal sama lo. Gue ga bisa ketemu sama lo lagi.’ adalah pesan terakhir yang kukirim padanya. Setelah itu aku menghapus nomornya, semua pesan yang pernah kukirim untuknya dan semua daftar panggilan yang menyangkut tentang dirinya.
Aku menghabiskan sepanjang malam, menangisi kebodohan diriku sendiri. Tidak akan ada lagi masa yang kami habiskan bertiga. Ingatanku kembali ke masa SD dulu, sewaktu kami berada di kelas yang sama, sewaktu kami memakai seragam yang sama, melakukan hal bodoh bersama, diam dalam kesal ketika komik milik kami masing-masing disita secara bersamaan, berebut makanan, berebut giliran meminjam komik, berteriak hal aneh sekeras-kerasnya diatas atap rumah tanpa memedulikan ada orang yang dapat mendengarnya, bertengkar karena hal kecil dan langsung minta maaf sesudahya. Saat salah satu dari kami punya masalah seberat apapun itu, kami tetap saling mendukung, menangis bersama, tertawa bersama, Ya Tuhan… aku ingin kembali.
Ah… andaikan aku bisa kembali ke masa itu, masa di mana aku masih mengerti mereka berdua dengan saat baik. Masa di mana kami belum menjadi dewasa. Karena kedeewasaan membuat manusia menjadi egois. Karena kedewasaan membuatku takut untuk mengambil resiko. Tapi lari dari masalah seperti ini sama saja mengambil jalan terburuk. Ya Tuhan… Aku benci dengan kenyataan bahwa aku harus menjadi dewasa untuk hidup dalam masyarakat. Aku ingin masa bersama mereka berdua itu akan terjadi lagi. Tapi aku sudah tidak bisa memepertahankan rasa tidak ingin menyerah itu lagi di saat aku sudah mendapat banyak penolakan seperti ini. Kenapa? Kenapa semua ini berakhir secara tiba-tiba?
Sekali lagi air mata terasa saat mengalir di pipi. Pesan itu sudah terkirim. Aku tidak bisa mengubah keputusanku lagi. Tidak. Bukannya tidak bisa. Tapi aku tidak boleh. Aku tidak boleh cengeng. Dia memang sahabatku. Tetapi dia tidak boleh menghambat masa depanku. Hal-hal menyenangkan dan menyedihkan bersamanya tidak akan kulupakan. Sudah banyak juga kata-kata yang kuterima dari Dean yang membuatku lebih kuat. Tidak apa kan kalau perpisahan ini kugunakan sebagai sesuatu yang membuatku lebih kuat lagi? Ini memang berat, tapi aku bisa. Pasti bisa. Aku akan menghidupi ‘masa sekarang’ dengan sebaik-baiknya. Aku akan mulai perubahan ini, sekarang.
Keesokan harinya di saat aku sempat, aku menghapus semua hubunganku di internet dengannya dari laptop salah satu teman yang kebetulan membawa benda itu. Aku menahan diri untuk tidak menangis. Tetap ceria seperti biasanya. Tetap menggila seperti biasanya. Tetapi saat mengobrol mengenai hal tak jelas bersama Sanas Zanadiya dan Zakia Prajani, dua teman yang paling dekat denganku di kelas, kontrol diriku lepas. Aku tidak bisa menahan diri untuk tidak menangis. Mereka yang heran karena aku memang tidak pernah cerita apapun hanya bisa mengelus pundakku lembut, berusaha membuatku kembali tenang.
            Sejak hari itu aku lebih mendekatkan diri pada Sanas dan Zakia. Juga dengan teman-teman lain di sekolah, seperti Gisma Chairunissa, Isca Amanda, Shofi Hana Regita, Sheira Indah Anjani. Sebelumnya bukannya kami tidak akrab, hanya saja tidak terlalu dekat. Hari-hari menyenangkan itu kembali. Walaupun tidak dijalani bersama teman yang sama, rasa bahagia yang kurasakan adalah sama. Walaupun kesenangan itu hanya akan berlangsung semasa kami SMA, Aku tetap bersyukur. Karena kesenangan itu sangat menyenangkan sampai tidak terasa sekarang kami sudah menginjak kelas 11 dan sudah harus bersiap-siap untuk mengambil jalan hidup dengan serius.
Tuh kan, Aku bisa mengatasi semua ini. Aku juga sudah beradaptasi dengan sistem SKS, sehingga aku bisa sedikit mengejar target. Beban pikiran itu juga secara perlahan-lahan menghilang. Tapi entah mengapa sejak saat itu aku tidak ada lagi perasaan takut kehilangan sahabat. Mungkin agak sedikit tidak manusiawi karena mereka dekat dengan ku. Tapi mungkin juga hanya perasaan takut yang menyelubungi ku untuk mengurangi rasa sedihku di waktu kelulusan nanti.
            Sekarang, aku bersyukur telah  kuputuskan untuk lari dari masalah itu. Hari itu aku memang ‘membuka pintu secara paksa’, tapi sekarang aku sudah berada di jalan yang mengarah ke mimpiku. Di ujung jalan sana masih terdapat sebuah tangga yang harus kunaiki untuk memasuki mimpi itu. Mungkin nanti, dikala aku berhasil menaiki puncaknya, aku akan mengingat semua hal yang telah terjadi ini sebagai memori yang indah. Memori-memori perjuanganku yang memberikanku rasa percaya diri dan kebebasan. Memori-memori yang pernah terjadi akan terasa sangat lama dan bisa membuatku tertawa atau menitikkan air mata di hari tua. Untuk menyongsong hari itu, aku harus lebih banyak berusaha lagi hari ini.
~ 13.09.25 ~