Senin, 28 Juni 2010

cerpen - Arti kehidupan untukku




Arti kehidupan untukku




        Air mata yang membanjiri pelispis ini sungguh tiada henti membayangkan dikala aku masih memiliki satu pilihan untuk menjalani kesunyian yang terus menderai seperti layaknya air sungai yang deras. Entah apa yang harus aku lakukan lagi, kini pilahanku hanya ada dua, yaitu hidup dengan segala siksaan dan keperihan yang mendalam. Atau mati dengan segala kepedihan yang menyelimuti perasaan banyak orang terutama Bunda.
        Jelas terpandang didalam sebuah kamar berpetak kecil terbaring sesosok gadis mungil yang entah tidur entah sadar. Semua orang dibuat terharu beru melihatnya. Wajah nya terlihat pucat pasi dan seolah-olah ingin mengucapkan sepatah kata.Walau banyak yang tidak mengetahui apakah aku hadir diantara mereka atau tidak, tetapi kini aku berpandangan dengan seorang wanita yang tak henti-hentinya menghabisi kesedihannya. Ya, itu lah Bundaku. Dan gadis mungil yang terbaring lemah tak berdaya itu adalah aku. Ya aku.
       
        ***
Semua ini hanya berawal dari konflik rumah tangga yang dapat dikatakan ”masalah sepele”, tetapi seperti arus banjir yang deras, masalah ini semakin membabi buta keluarga kami karena kata ”bercerai” telah terucap dari mulut ayah dan bunda masing-masing.
Sampai akhirnya, mereka bercerai. Siapa yang menanggung seluruh keperihan yang cukup mendalam melebihi mereka ?, siapa yang harus merasa tertekan akibat ejekan dari teman-teman sebayanya ?. Hanya ada satu jawaban yang mungkin mudah disebutkan melalui bibir setiap orang ”aku” ya, aku yang menanggung semua ini. Pilihan yang berat dijatuhkan kepadaku yaitu ingin ikut ayah atau bunda. Sungguh sebuah pertanyaan yang tak bertara untuk anak seusiaku.
Mengunyah sesuap nasi dengan berlauk-kan garam. Itu adalah resiko yang aku ambil untuk lebih memilih mengikut bunda, tak ada pilihan lain selain itu. Ayahku telah menghadap yang Kuasa tak lama berselang dari hari perceraian mereka. ”tia, maaf kan bunda.. hanya ini yang dapat bunda berikan untukmu” ujar bunda sembari menitiskan air mata. ”tidak apa bun, aku sudah cukup bersyukur dengan semua ini, aku telah memilih, itu berarti aku juga telah siap menerima semua resikonya, bunda.. sudah bunda jangan menangis, aku juga sedih melihat bunda menangis” ucapku. Sambil mengusap air matanya bunda berkata ”maaf kan bunda ya sayang”. Aku mengganguk pelan seraya tersenyum pada bunda.
Bukan sekedar meneguk sesuap lauk pauk dengan taburan sebuah zat yang beryodium tinggi, bukan hanya bersedih pilu, bukan hanya merasa iri melihat banyak anak yang bisa bersekolah dengan layaknya, dan bukan hanya harus merelakan banyak mimpi dan kesempatan yang telah aku buang, tetapi hanya sebuah ucapan dari anak yatim berusia 8 tahun, yang mungkin banyak yang menganggap remeh kannya.
”tia.. ga punya ayah.. tia ga punya ayah... hahahaa ” sungguh, bukan hanya air mata yang mengalir deras dari mataku, bahkan benak ini tak tahan untuk membendungnya. Tetapi itu lah perkataan keji yang harus masuk kedalam telingaku, semua teman-temanku menjauhiku, memusuhiku, bahkan tak jarang yang mengejekku seperti tadi.
Sedih, bukan lah hal yang jelas terekam dalam memori hatiku, tetapi perasaan sakit, haru, dan merasa dikucikan, telah bersatu padu dalam benakku, ibarat semangkuk adonan yang telah tercampur rata dengan segala bahan, kemudian teraduk rata kedalam sebuah cetakan perasaan.
Malam itu, tak seperti biasa aku tertidur pulas bagai seorang bayi mungil. ya, dalam mimpiku, aku berada dalam sebuah ruangan putih yang entah apa namanya, disana aku bertemu dengn sebuah cahaya putih yang begitu cerah menyilaukan pandangnku. ”jika waktunya tiba kamu akan mengetahui apa arti dari kehidupan yang sesungguhnya.” ujar cahaya tersebut. ” arti kehidupan ?? apa maksudnya ? kamu siapa ?” tanyaku kebingungan. Tak ada jawaban, semuanya menjadi sepi sunyi, dan perlahan cahaya tersebut menghilang dari hadapanku. ”hey !! tunggu, kamu belum menjawab pertanyaanku ! ” lontarku.
”heey bangun.. ! apa yang kamu katakan, sayang ? ” tiba-tiba aku mendengar perkataan tersebut, aku tersentak kaget. ”uuooooaah... hmm bunda..., aku mimpi aneh bun.. ”
”ah, sudah lah.. cepat sana kamu mandi dan bergegas menyiapkan barang dagangan !”.bantah bunda.  aku segera meninggalkan bunda dan segera aku ambil sebuah handuk kecil didepan kamarku.
        Segera aku berdiri didepan kaca kamar mandi kecil dibelakang rumah. ”apa arti mimpiku semalam ? mimpi yang aneeh !” gumamku didepan kaca. ”tiiiaa.. cepat nak !” lagi-lagi bunda mengejutkan aku. ”iya bun.. sebentar.” jawabku.
        Setelah semua selesai, segera aku pergi membantu bunda menjualkan ”gado-gado” dibawah pasar. Aku harus melakukan hal ini demi bunda. Sejak kepergian ayah, bunda terpaksa berjualan gado-gado demi menyambung hidup kami, dan aku terpaksa putus sekolah karena masalah ekonomi yang dialami bunda. Tetapi aku tidak akan menyerah ! aku pasti bisa bersekolah kembali !.
        Tetapi tiba-tiba, ketika aku sedang menjajakan barang dagangan bunda.. ”JDEGEAARRRRGGG” tiba-tiba sebuah kendaraan bermotor melaju cepat didepanku dan seketika tubuhku terhempas ke tanah, dan kepalaku terbentur kearah sebuah batu besar yang tepat berada  didepanku. Aku tak tahu lagi apa yang terjadi, seketika semuanya berubah menjadi hitam, gelap, dan sunyi.

***
        Setelah lama aku pandangi bunda yang menatapku dibalik sebuah kaca ruang ICU. Aku mencoba sekuat tenagaku untuk kembali tersadar dan melihat senyuman bunda. Kucoba dan terus kucoba, tetapi semuanya tidak membuahkan hasil. Masih jelas terlihat tubuh mungil yang sedang berjuang dengan segala kekuatannya, dengan bayak kabel, dan alat kedokteran lain nya yang melekat pada tubuh seorang gadis mungil yang terbaring lemah tak berdaya pada sebuah ranjang kecil itu.
        Kini, aku sudah tahu apa arti dari mimpiku. ”Arti kehidupan yang sebenarnya” ya aku mengetahuinya. Seperti yang aku alami kini ”hidup hanyalah menanti sebuah tagisan memilukan yang entah kapan akan berakhir dan hidup hanyalah menanti sebuah jawaban”. Ya itulah arti yang aku kecam kan dalam hatiku.
        Andai aku dapat memilih, dan andaikan aku dapat meminta sebuah permohonan. Aku akan memohon kepada Tuhan, agar aku dapat tersadar kembali, takkan aku siakan kesempatan hidupku, tak apa jika aku tak memiliki ayah, tak apa jika aku harus mengunyah taburan garam setiap hari. Tetapi tolong, jangan biarkan aku melihat tangisan dari bunda.
        Kini tiba saatnya, mesin electrocardiogram... telah menunjukan hasil denyut nadi berupa simbol ”_________________________” . Tuhan, apakah ini pilihanku ? dan apakah benar ungkapan yang aku tujukan untuk mimpiku beberapa malam sebelum malam ini terjadi ? ya.. benar ! kini saatnya telah tiba untuk tangisan bunda yang terdengar jelas di depan tubuh mungil, pucat, dan tak berdaya yang merupakan ”Aku”. Air mata yang tak henti-hentinya dititiskan bunda diatas jasadku. Tetapi aku bahagia, semua telah berakhir, dan aku beruntung telah sempat mengecup kening bunda untuk terakhir kalinya.
        Hanya satu pesanku untuk bunda yang belum sempat aku katakan. jangan tangisi kepergian, tangisilah pertemuan, Karena segala yang ada didunia ini hanya sementara.. ketika masa itu telah datang mengahampiri, tiba lah saatnya untuk aku sekarang... walau masih banyak waktu yang harus aku gapai demi kebahagiaan bunda, tetapi takdir ku telah menunjukkan jalan yang berbeda. Jalan yang mengajakku mengetahui kehidupan yang sesungguhnya. Cintaku, kasihku, dan seluruh hidupku kini telah bersatu kembali bersama ayahku. Aku bahagia, walau terlalu banyak air mata yang harus dititiskan hanya demi mengantarkan aku ketempat terakhir, karena aku telah bertemu dengan ayah kembali.

cerpen - sebatas kehidupan


Sebatas Kehidupan


“nin kamu masih ingat aku bukan ? aku Tari, sahabatmu...” ujar seorang gadis yg terlihat sebaya dengan aku, tetapi aku tidak tahu siapa dia sebenarnya ? banyak yg berkata namanya adalah “Tari” tapi siapa itu tari ? mengapa aku dapat melupakan segala hal yang telah tersimpan baik dalam memoriku ?.
***
Semuanya berawal sejak kematian ayah yang berkisar sekitar 8 bulan yang lalu. Selama ini, ayah adalah tulang punggung keluarga kami, ia rela membanting tulang hanya demi memberikan nafkah kepada kami sekeluarga. Bunda hanya lah seorang ibu rumah tangga biasa, tidak banyak yang dapat dilakukannya akibat penyakit Cikungunya yang dideritanya sekitar satu tahun yang lalu.
Bunda terpaksa menggunakan alat bantu tongkat untuk dapat berjalan, tak sedikit yang mengejeknya. Oleh karena itu bunda memutuskan untuk menjadi ibu rumah tangga saja.

Tetapi sejak kematian ayah, semuanya berubah. Hidup kami bergantung pada tetangga, bahkan bukan hal yang tidak biasa lagi bagi kami jikalau harus berpuasa karena tidak memiliki sepeser uang pun untuk menikmati sesuap nasi putih nan hangat. Setelah kepergian ayah pula bunda rela menjadi seorang buruh cuci pakaian, hanya demi menyambung hidup sehari. Rasanya ingin sekali membantu bunda, tetapi ia selalu berkata ”nin, jangan nak.. biarkan bunda bekerja sendiri... lebih baik kamu belajar saja nak, banggakan bunda mu yang tinggal seorang diri ini” ya, itulah kata bunda setiap kali aku ingin membantunya.

Pagi ini, aku buka tudung nasi diatas meja makan yang cukup rapuh dan terlihat renta. Pandangan mata ini hanya tertuju pada sepiring nasi dingin yng terlihat sudah mengeras. Bergegas aku menemui bunda didapur, ”bun, kita tidak punya lauk lagi ya ?” ucapku lantang. ”maaf kan bunda nak, bunda sudah tidak memiliki uang lagi untuk membeli lauk pauk untukmu. Bunda mohon nak, kamu sabar ya..” ujar bunda pelan. ”tidak apa bun, aku bersyukur masih dapat mersakan manisnya nasi putih tersebut walaupun hanya dengan taburan garam. Bunda sudah makan ? jawabku yang berusaha menenangkan bunda yang terlihat sedih. ”ehh.... a’ a.. anu.. bunda udah makan kok nak. Yasudah kamu makan, nak !” jawab bunda gugup. Aku yakin pasti bunda berbohong padaku.

Hari demi hari kami lalui berasama dengan penuh kekurangan.
Aku rela menjajakan gorengan demi membantu bunda seorang. Aku merasa kasihan bila harus melihat bunda yang pulang dengan resapan keringat dibaju dan keningnya.

”aaaaarrghh! Kepalaku Sakiit sekali !” ujarku sewaktu sedang menjajakan gorengan disekitar kompleks perumahan yang tak jauh dari rumahku. Aku terpuruk dijalanan, tak sanggup aku menahan rasa sakit ini, rasanya terus mendenyut-denyut, tak kuasa aku menahannya sehingga tubuhku tergoleh tak beradaya dijalanan.

Aku tak tahu berapa lama aku tak sadarkan diri, aku terbangun ketika sudah berada dikamarku. ”hmm... aneh, tadi aku kan lagi jualan. Kenapa bisa ada dirumah lagi ya ?” pendamku dalam hati. Kucoba berdiri untuk menemui ibu, ”aaauuuhh ! sakiiiit !” lagi-lagi kepalaku mendadak sakit.


Seketika ibu menghampiriku kekamar dan berkata ”udah nin, jangan dipaksa kalau masih sakit”. Aku hanya bisa memandangi bunda. Rasanya sakit sekali, bahkan untuk menjawab perkataan bunda, aku tak sanggup lagi. ”ya Allah.. sembuhkan lah aku, apa yang terjadi pada ku ? aku mohon, hanya Engkau lah yang maha segalanya..” ujarku dalam hati yang berusaha berdo’a dikala itu.


Bunda terlihat sedih, sesekali ia menitisakan air matanya. Aku sungguh bingung apa yang telah terjadi padaku sampai-sampai bunda menangis.

Dan 3 hari kemuadian, kepalaku kembali merasakan sakit yang teramat sangat, tak dapat dihalau kembali seketika hidungku mengeluarkan darah, bibirku pucat, dan serentak aku pun tak sadarkan diri. Yang terlihat hanya gelap, gelap, dan gelap.

***

”Nindi !” tiba-tiba sebuah suara mengejutkan ku dari lamunan. ”nin, kamu kenapa ? kamu ga ingat sama aku ya ?” ujar Tari. ”aku ga tau ! tari ? itu siapa ?” kataku. ” aku Tari sahabatmu, kenapasih Nin, kamu tega ngelupain aku semenjak kamu mengalami sakit ?” jelas Tari yang sebelum pada akhirnya meninggalkan aku sendiri diantara teman-teman sekelasku yang terus mengejek dan melontarkan perkataan yang cukup menyekitkan.

Tak tahan aku memendam kebingungan, aku pun berteriak. ”cukuuuup !!! aku ga tau semuanya, aku pusing !” rintihku sambil menangis karena kebingungan yang sekin membuatku terpuruk.

Selang beberapa hari kemudian, semua penderitaanku berakhir sudah, semuanya menjadi tenang dan damai. Tak ada lagi kesakitan ataupun keluhan yang kurasakan akibat sebuah penyakit yang menyerangku dengan sangat kuat dan yang mengharuskan aku untuk berpisah dengan orang-orang tercinta disekitarku. Ya karena penyakit ”radang selaput otak”. Mungkin keberadaan penyakit ini belum terlalu dekat ditelinga semua orang, tetapi bagiku ini adalah takdir dari Allah untukku.

Mungkin Ia memberikan semua ini, karena ia sayang sayang padaku. Ia tak mau melihat aku menderita karena penyakit ini. Terima kasih ya Allah. Walaupun banyak air mata yang menderai mengantarkan aku pergi untuk selamanya, tetapi aku bahagia. Kini, aku telah merasakan apa itu kidup yang sesungguhnya. Penderitaan, sakit, dan keluh kesah, semuanya akan berujung pada sebuah tangis dan senyuman.

Cerpen - penyesalan yang terlambat



Penyesalan yang terlambat

         Rasanya ingin sekali memutar waktu, andaikan saja aku bisa melakukannya. Aku ingin mengulang waktu-waktu yang telah aku sia-siakan selama ini. Aku belum sempat membahagiakan kedua orang tuaku sendiri, bahkan aku juga belum sempat memberikan kebanggaan terhadap mereka. ”Rina” begitulah biasanya aku disapa. Aku adalah seorang anak yatim piatu, kedua orang tuaku meninggal dalam kecelakaan mobil sewaktu aku masih berumur 3 tahun.
        Kini aku baru tahu betapa besar kasih sayang mereka yang rela mengorbankan nyawanya sendiri demi menyelamatkan aku pada saat kecelakaan tersebut. Sejak kejadian tersebut aku diasuh oleh seorang tetanggaku, tetapi aku tidak pernah mendapatkan kebahagiaan dari mereka. Aku ingin bersekolah seperti anak-anak yang lainnya, aku ingin mengejar cita-citaku sejauh mungkin, aku ingin membahagiakan kedua orang tuaku walaupun mereka sudah lagi tidak bersamaku.
        Ingin rasanya ku putar kembali waktu yang indah itu. Aku ingin melihat wajah mereka, memeluknya dengan erat, dan melewati waktu bersama. aku lupa akan wajah mereka, aku sama sekali tidak pernah melihat wajah mereka, bahkan aku juga tidak memiliki satu fotopun dari mereka. Hanya kalung perak yang bertuliskan namaku yang terus kusimpan. 
        Aku ingin tumbuh seperti yang lain, bukan hanya menjadi seorang penyemir sepatu jalanan yang tak jelas arah dan tujuannya. Dikalau ada keramaian seringkali aku meminta belas kasihan dari mereka, aku merayu sekuat tenagaku hanya demi sesendok nasi putih. Ada rasa iri setiapa kali aku melihat teman-teman sebayaku yang dimanja oleh kedua orang tua mereka, seandainya saja aku menjadi mereka. Tak mungkin aku sia-siakan kesempatan itu, aku melihat banyak sekali permintaan yang terucap dari mulut mereka tetapi orang tua mereka tidak pernah menolaknya.
        Ingin rasanya aku bersekolah dan dapat membahagiakan orang tuaku yang telah pergi meninggalkan aku sebatang kara. Seandainya mereka ada disini aku ingin memeluknya, mengecup keningnya, tertawa bersama, dan berkumpul seperti anak-anak yang lainnya. sering aku bertanya pada diriku sendiri, ”mengapa aku harus ditakdirkan dengan tidak memiliki orang tua ?” dan satu hal yang masih melekat kuat dibenakku adalah mengapa mereka harus meyelamatkan diriku sewaktu kejadian tersebut, sampai-sampai mereka tidak memperdulikan keselamatannya sendiri.
        Setiap malam aku berdoa agar suatu saat nanti aku dapat bertemu dengan orang tuaku. Rasanya dunia ini benar-benar tidak adil, mengapa mereka yang masih memiliki orang tua yg lengkap menyia-nyiakan kesempatan tersebut ? bahkan bukan hal yang aneh lagi jika banyak yang membentak, memukul, serta menyalahkan orang tuanya sendiri bila ada sesuatu yang kurang ataupun salah.
        Apa salah jika aku ingin bahagia ? mengapa aku ditakdirkan untuk hidup seorang diri yang tak jelas arah dan pikirannya.
Setiap hari aku lalui hari-hariku dengan kesedihan, melihat kebahagian orang lain yang begitu besar, tetapi aku malah menangis. Jika memang aku harus menjalani hidup tanpa kasih sayang dan kebahagiaan, jika memang aku harus hidup tanpa menginjak bangku sekolah, jika memang aku tidak berhak hidup seperti mereka, dan jika aku harus hidup dengan mengandalkan profesi sebagai seorang semir sepatu, aku rela menerima semuanya. Aku hanya memiliki satu keinginan yang selalu aku dambakan yaitu melihat wajah kedua orang tuaku.
        ”Teman”tentu saja kata itu tidak pernah lepas dari hidup manusia. Banyak sekali yang berkata bahwalah aku ini seorang ”anak haram” apa mereka tidak tahu bagaimana perasaanku jika mereka mengolok-olok diriku dengan sebutan itu. Aku menangis setiap kali mereka mengucpkan kata-kata itu, aku memang bukan orang yang hebat, tetapi aku juga tidak ingin dilontarkan perkataan seperti itu.
        Tidaklah kalian yang masih memiliki orang tua yang lengakap dan orang tua yang akan selalu memenuhi kebutuhan yang kalian inginkan. Apa bila suatu saat mereka pergi untuk selamanya dan meninggalkan kalian sebatang kara seperti ku apa kalian sudah sempat membahagiakan mereka ? apakah kalian sempat memberikan suatu kehormatan kepada mereka ? apakah kalian sempat memkbalas pengorbanannya ? dan apakah kalian sudah sempat meminta maaf kepada mereka ? ”aku hanya ingin kalian menyadari anugerah terbesar yang telah kalian miliki bukan hanya dapat mengolok-olok orang lain yg sudah menjadi yatim piatu”.
        Aku ingin membuktikan kepada dunia bahwalah aku pantas menjadi yang terbaik walaupun tanpa kehadiran sosok yang paling berharga dalam hidup manusia. Aku juga ingin memberikan sutu kebanggaan untuk mereka walaupun aku sudah tidak dapat memberikannya secara langsung. Tapi aku sungguh ingin mempersembahkan segala yang terbaik untuk mereka walaupun kami tidak mungkin pernah bertemu kembali, tapi aku yakin mereka bangga kepadaku.
        Aku hanya memiliki satu pesan untuk semua orang yang telah menyia-nyiakan kesempatan beharga dalam hidup kalian,” coba  renungkan seandainya kalian menjadi seorang anak jalanan yang terdampar dijalan, jika seandainya kalian membentak orang tua kalian, kalian pikir apakah hal itu pantas kalian berikan untuk orang yang telah mengandung dan melahirkan, hingga merawat kita sampai saat ini. Lalu kalian melawannya dengan kata-kata kasar, dan tiba-tiba mereka pergi begitu cepat disaat kalian belum meminta maaf kepadanya, disaat kalian belum sempat mencium tangannya untuk selamanya, apa yang akan kalian lakukan ? ”.
        Itulah hal yang aku alamai selama bertahun-tahun lamnya, aku lupa akan wajah orang tuaku sendiri, penyesalanku yang mungkin dulu sering membuat orang tuaku bersedih.kini tak mungkin lagi aku dapat melontarkan kata ”maaf” kepada mereka.
Untuk selamanya. Bahkan demi menyelamatkan aku mereka
meninggal dunia. Tuhan, jika memang ini adalah takdirku aku akan menerimanya, tetapi aku hanya ingin menyampaikan rasa terima kasih dan maaf kepada mereka.

Kamis, 10 Juni 2010

Cerpen - seuntai kasih untuk Ayah dihari ualng tahunnya

Seuntai kasih untuk Ayah dihari ulang tahunnya


        ”ayah ” itu adalah sebutan untuk orang yang sangat berarti dalam kehidupan setiap orang. Menurutku ayah adalah sosok orang yang paling berharga yang pernah kumiliki setidaknya 9 tahun yang lalu. Jelas sudah kini terpampang dibenakku ”aku adalah seorang anak yatim”. Entah apa yang terus dapat membuat ibuku tegar mengadapi kehidupan bersama kami tanpa kehadiran ayah.
        ”Hari ulang tahun”, ya, setiap orang pasti memiliki kesan yang cukup berarti dalam mengabadikan saat-saat itu atau mungkin mereka memiliki kenangan bersama keluarga yang tentunya terdapat peran seorang ayah didalamnya. ”Tetapi apakah mungkin aku dapat melakukan hal-hal seperti anak-anak lain yang masih memiliki kedua orang tua yang lengkap dan hidup bersama dengan bahagia ? ” tanyaku dalam hati. ”tia, ibu tahu kamu masih sayang sama ayah, ibu juga tahu kamu merindukan ayah” secara tiba-tiba ibu masuk kekamarku dan seolah-olah tahu apa yang ada dibenakku saat ini.
        Menggeleng pelan seraya pergi meninggalkan ibu sendiri, hanya hal itu yang aku lakukan. Jelas tertera diatas sebuah kalender yang menunjukan tanggal 11 Desember, jelas tertera jua dipikirku ”ini adalah hari ulang tahun ayah”. Aku tak tahu harus berbuat apa lagi, jujur benakku mengatakan ”tia sayang ayah” tetapi mataku seolah-olah mengatakan hal yang mendalam melalui tetesan air mata dan pikirku pun berkata ”tiada harapan lagi untuk mempersatukan keluargamu, ini lah kenyataanmu”.
        Perasaan duka mengabuti perasaanku. Ingin rasanya ku peluk erat ayah disaat hari ulang tahunnya ini dan berkata ”yah, hanya kasih suciku yang hanya dapat aku persembahkan untuk mu, tiada yang dapat aku berikan lagi selain senyuman dan kasihku untukmu”. ”Tetapi mungkin saja itu dapat terulang kembali seperti halnya 9 tahun yang lalu. Apa salahnya berangan untuk kebahagian ?, hidup ini hanyalah menunda suatu tangisan yang entah apa penyebabnya.” Hanya itu kata penyemangat bagiku.
        Selama 9 tahun lamanya aku tidak pernah lagi merasakan kasih sayang nan membahagiakan dari seorang kepala keluarga yang aku impikan selama ini. Terukir jelas dihatiku dimana saat kami berkumpul bersama penuh kecerian, berbagi penuh kasih dalam suasana kekeluargaan. Kini, hanya tangis yang dapat aku persembahkan untuk ayahku yang kini telah pergi.
        Ayahku bukan pergi untuk selamanya, ayahku bukan pergi kepada yang kuasa, ayahku juga bukan pergi untukku. Ayah pergi meninggalkan aku untuk seorang wanita lain yang tidak jelas aslanya. Banyak yang menyangka ayahku hanyalah seorang pecundang belaka tetapi bagiku ia tetaplah seorang pahlawan bagiku, ya itulah pendapatku. Entah apa buah pembicaraan dari banyak orang diluarsana, tetapi tetap ayah adalah ayahku.
        ***
”tia, untuk apa kamu membuat kue itu ? untuk ayahmu nak ?” ucap ibu yang datang tiba-tiba. ”ia bu, walaupun tia tidak tahu dimana ayah sekarang, tetapi tia tetap akan membuat kue ini untuknya, karena selama ini tia belum pernah membahagiakannya” ujarku seraya menitiskan air mata diatas kue buatanku yang rencananya akan aku berikan untuk ayah. Kuliahat ibu segera berjalan meninggalkanku sendiri didapur, aku bingung melihatnya.
        Setelah aku pengang erat sebuah kue ulang tahun yang diatasnya tertera”selamat ulang tahun ayah Dika”. Hanya itu yang dapat aku berikan untuk ayah, aku tak tahu harus ku apakan kue itu, ”membuangnya ? memberikannya kepada ornag lain ataauu.. ” tiba-tiba pikiranku bungkam melihat seorang gadis yang berjalan bersama dengan ayahnya melewati rumahku. Kebahagian jelas terpancar dari jawah gadis itu ketika ayahnya mengecup keningnya .saat itu juga kue yang ada ditanganku jatuh kelantai dan hancur berserakan.
        Lagi dan lagi air mata mengaru deru kesedihan dihari yang istimewa tersebut bertumpah ruah, entah apa perasaanku sekarang. Selama 9 tahun aku hanya dapat mengabadikan wajah ayah didalam sebuah almbum tua yang sudah rapuh dan usang dimakan waktu yang bergulir.
        Kucoba pejamkan mata sejenak, terlihat jelas wajah ayah yang tersenym kepadaku, tanpa terasa derasnya air mata membuatku berpikir bahwa masih banyak kesedihan yang dirasakan anak-anak lain diluarsana,  ya bukan lah aku sendiri dini.
Perasaaanku mulai menenang sejenak. Dan kucoba buka mataku perlahan, tetapi mengapa bayang-bayang wajah ayah dan kesedihan tetap terpancar jelas dimataku. Tetapi kesedihaku tetap tidak akan membuat semangatku hilang.
        Aku ambil kue yang aku jatuhkan diatas lantai, terlihat hancur berserakan, tak layak makan, dan kotor terbalut debu dilantai. ”ya ampun apa yang aku lakukan ? mengapa kesedihaku saat ini meluluhkan seluruh badanku. Rasanya lemas sekali, hanya air mata dan air mata yang terus mengusap wajahku”. Entah sampai kapan kesedihan ini akan berlanjut.
Tiada seorangpun yang ingin dilahirkan didalam sebuah rumah tangga yang mengalamai ”broken home”, anak korbannya. Ejekan yang aku dengar selama ini, lontaran kasar yang terekam di telingaku, dan persaan sedih yang menyelimuti keadaan seolah-olah hanya seperti sebuah latar dalam drama yang mengisahkan kebohongan belaka.
Andai aku dapat mengulang waktu, seseungguhnya aku tidak mau hidup seperti ini. Tanpa ayah, tanpa kehadiran seorang kepala keluarga, itu lah yang aku alami. Terdengar samar-samar tangisan ibu dari dalam kamar, aku bungkam seribu kata menatapi sebuah kenyataan hidup yang cukup berat berada didepan mataku.
”Cinta, kasih, kebahagian” hanya itu yang aku inginkan dalam keluarga ini. Kebahagian yang dapat menghapus seluruh air mata yang berumpah ruah bak banjir bandang saat ini. Banyak ornag yang berkata, sejak aku kecil ayah selalu memanjakanku dlam asuhannya, baynak yang berkata dulu keluarga kami adalah keluarga yang hangat dalam kebahagian yang mengharukan.
”aku pasti bisa ! aku pasti bisa ! ya aku pasti bisa melewati semua ini tanpa deraian air mataku” pendamku dalam angan. Segera aku angkat kembali kue yang telah jatuh tadi, dan aku masukan kedalam sebuah pelastik bening, aku sisipkan sebuah surat didalamnya yang berisi anganku untuk kembali berkumpul bersama ayah dan ibu. Tanpa pikir panjang lagi, aku hanyutkan kue itu disebuah kali kecil tak jauh dari rumahku.
Hanya harapan kecil yang tersimpan dalam hati tentang kerasnya kehidupan tanpa kehadiran ayah, perasaan gundahku terhapus ketika ibu memengang pundakku dan berkata ”nak, hapuslah air matamu, ikhlaskan kehidupan ini, jalani hidupmu dengan sejuta mimipi dan jangan biarkan kesedihanmu ini mengahapus anganmu, kejarlah mimpimu sejauh bintang disana, ibu yakin kamu pasti kuat menjalaninya” ujar ibu sambil memeluk erat tubuhku di antara hamparan derasnya air kali. Aku mengaangguk pelan seraya mengecup kening ibuku yang tinggal seorang diri, aku berjanji aku akan membahagiakannya, walaupun tanpa ayah...
Selamat ulang tahun ayah... aku sanyang padamu...