Senin, 28 Juni 2010

cerpen - sebatas kehidupan


Sebatas Kehidupan


“nin kamu masih ingat aku bukan ? aku Tari, sahabatmu...” ujar seorang gadis yg terlihat sebaya dengan aku, tetapi aku tidak tahu siapa dia sebenarnya ? banyak yg berkata namanya adalah “Tari” tapi siapa itu tari ? mengapa aku dapat melupakan segala hal yang telah tersimpan baik dalam memoriku ?.
***
Semuanya berawal sejak kematian ayah yang berkisar sekitar 8 bulan yang lalu. Selama ini, ayah adalah tulang punggung keluarga kami, ia rela membanting tulang hanya demi memberikan nafkah kepada kami sekeluarga. Bunda hanya lah seorang ibu rumah tangga biasa, tidak banyak yang dapat dilakukannya akibat penyakit Cikungunya yang dideritanya sekitar satu tahun yang lalu.
Bunda terpaksa menggunakan alat bantu tongkat untuk dapat berjalan, tak sedikit yang mengejeknya. Oleh karena itu bunda memutuskan untuk menjadi ibu rumah tangga saja.

Tetapi sejak kematian ayah, semuanya berubah. Hidup kami bergantung pada tetangga, bahkan bukan hal yang tidak biasa lagi bagi kami jikalau harus berpuasa karena tidak memiliki sepeser uang pun untuk menikmati sesuap nasi putih nan hangat. Setelah kepergian ayah pula bunda rela menjadi seorang buruh cuci pakaian, hanya demi menyambung hidup sehari. Rasanya ingin sekali membantu bunda, tetapi ia selalu berkata ”nin, jangan nak.. biarkan bunda bekerja sendiri... lebih baik kamu belajar saja nak, banggakan bunda mu yang tinggal seorang diri ini” ya, itulah kata bunda setiap kali aku ingin membantunya.

Pagi ini, aku buka tudung nasi diatas meja makan yang cukup rapuh dan terlihat renta. Pandangan mata ini hanya tertuju pada sepiring nasi dingin yng terlihat sudah mengeras. Bergegas aku menemui bunda didapur, ”bun, kita tidak punya lauk lagi ya ?” ucapku lantang. ”maaf kan bunda nak, bunda sudah tidak memiliki uang lagi untuk membeli lauk pauk untukmu. Bunda mohon nak, kamu sabar ya..” ujar bunda pelan. ”tidak apa bun, aku bersyukur masih dapat mersakan manisnya nasi putih tersebut walaupun hanya dengan taburan garam. Bunda sudah makan ? jawabku yang berusaha menenangkan bunda yang terlihat sedih. ”ehh.... a’ a.. anu.. bunda udah makan kok nak. Yasudah kamu makan, nak !” jawab bunda gugup. Aku yakin pasti bunda berbohong padaku.

Hari demi hari kami lalui berasama dengan penuh kekurangan.
Aku rela menjajakan gorengan demi membantu bunda seorang. Aku merasa kasihan bila harus melihat bunda yang pulang dengan resapan keringat dibaju dan keningnya.

”aaaaarrghh! Kepalaku Sakiit sekali !” ujarku sewaktu sedang menjajakan gorengan disekitar kompleks perumahan yang tak jauh dari rumahku. Aku terpuruk dijalanan, tak sanggup aku menahan rasa sakit ini, rasanya terus mendenyut-denyut, tak kuasa aku menahannya sehingga tubuhku tergoleh tak beradaya dijalanan.

Aku tak tahu berapa lama aku tak sadarkan diri, aku terbangun ketika sudah berada dikamarku. ”hmm... aneh, tadi aku kan lagi jualan. Kenapa bisa ada dirumah lagi ya ?” pendamku dalam hati. Kucoba berdiri untuk menemui ibu, ”aaauuuhh ! sakiiiit !” lagi-lagi kepalaku mendadak sakit.


Seketika ibu menghampiriku kekamar dan berkata ”udah nin, jangan dipaksa kalau masih sakit”. Aku hanya bisa memandangi bunda. Rasanya sakit sekali, bahkan untuk menjawab perkataan bunda, aku tak sanggup lagi. ”ya Allah.. sembuhkan lah aku, apa yang terjadi pada ku ? aku mohon, hanya Engkau lah yang maha segalanya..” ujarku dalam hati yang berusaha berdo’a dikala itu.


Bunda terlihat sedih, sesekali ia menitisakan air matanya. Aku sungguh bingung apa yang telah terjadi padaku sampai-sampai bunda menangis.

Dan 3 hari kemuadian, kepalaku kembali merasakan sakit yang teramat sangat, tak dapat dihalau kembali seketika hidungku mengeluarkan darah, bibirku pucat, dan serentak aku pun tak sadarkan diri. Yang terlihat hanya gelap, gelap, dan gelap.

***

”Nindi !” tiba-tiba sebuah suara mengejutkan ku dari lamunan. ”nin, kamu kenapa ? kamu ga ingat sama aku ya ?” ujar Tari. ”aku ga tau ! tari ? itu siapa ?” kataku. ” aku Tari sahabatmu, kenapasih Nin, kamu tega ngelupain aku semenjak kamu mengalami sakit ?” jelas Tari yang sebelum pada akhirnya meninggalkan aku sendiri diantara teman-teman sekelasku yang terus mengejek dan melontarkan perkataan yang cukup menyekitkan.

Tak tahan aku memendam kebingungan, aku pun berteriak. ”cukuuuup !!! aku ga tau semuanya, aku pusing !” rintihku sambil menangis karena kebingungan yang sekin membuatku terpuruk.

Selang beberapa hari kemudian, semua penderitaanku berakhir sudah, semuanya menjadi tenang dan damai. Tak ada lagi kesakitan ataupun keluhan yang kurasakan akibat sebuah penyakit yang menyerangku dengan sangat kuat dan yang mengharuskan aku untuk berpisah dengan orang-orang tercinta disekitarku. Ya karena penyakit ”radang selaput otak”. Mungkin keberadaan penyakit ini belum terlalu dekat ditelinga semua orang, tetapi bagiku ini adalah takdir dari Allah untukku.

Mungkin Ia memberikan semua ini, karena ia sayang sayang padaku. Ia tak mau melihat aku menderita karena penyakit ini. Terima kasih ya Allah. Walaupun banyak air mata yang menderai mengantarkan aku pergi untuk selamanya, tetapi aku bahagia. Kini, aku telah merasakan apa itu kidup yang sesungguhnya. Penderitaan, sakit, dan keluh kesah, semuanya akan berujung pada sebuah tangis dan senyuman.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar