Sabtu, 31 Juli 2010

Cerpen - Dari Vina untuk Ayah

Dari Vina untuk ayah

Rasanya Masih kental membekas pada hatiku. Seperti layaknya sayatan yang mendalam. Rasa perih akan duka yang teramat mendalam. Hari ini, Ayah berpulang kepangkuan sang kuasa ilahi. Aku menangis tersedu-sedu, Aku sungguh tak dapat membendungnya. Semua air mataku bertumpah ruah dihadapan raga Ayahku yang kini tengah terbujur kaku tak berdaya.
Seandainya Ayah tahu, sendari tadi  Bunda tak kunjung-kunjung memperlihatkan senyuman manisnya lagi. Ucapan belasungkawa tak henti-hentinya terngiang didaun telingaku. Semua orang berusha menyemangatiku tanpa memikirkan apa yang sedang aku rasakan saat ini. Mereka tidak tahu seberapa pahit rasa yang harus aku teguk dalam linangan hati.

Tak mungkin aku tak bisa larut dalam kesedihan ini, hanya harumnya rangkaian bunga yang menghiasi tubuh ayahlah yang makin membuatku bersatu dalam tumpahan air mata yang jumlahnya mungkin tak dapat terbendung lagi.

      Vinaaa.... turut berduka cita ya..Yang sabar, tabah dan serahin aja semuanya sama Allah. Pasti semua itu ada hikmahnya. Yang sabaarr ya..” secara tiba-tiba suara itu mengejutkan Aku dari kesedihan yang membanjiri benakku. Itu lah suara sahabtku, Nur Aida, yang tiada henti mencoba membangkitkan semangatku. Tetapi Aku hanya dapat mengangguk tanpa kepastian yang tak kunjung tiba.

        Bagaimana mungkin Aku dapat tegar dan tetap menampakkan senyumanku pada setiap orang yang datang silir berganti. Hamparan karangan bunga tak henti-henti pula menghiasi hatiku yang semakin menggundah. Kepedihanku, dukaku, sakitku, dan airmatku turut pula Nur rasakan. Ia tiada henti menangis dikala Aku menangis, seolah-olah ia tahu apa yang sedang Aku rasakan saat ini.

        Mungkin ialah satu-satunya orang yang tahu percis akan sakit yang Aku rasakan, selain Bunda tentunya. Aku tak kuat bila harus melihat keadaan Bunda saat ini. Bunda hanya terdiam sembari mengurung diri dalam kamarnya seorang. Masih derdengar samar-samar ketika suaranya menderuh beru namun berbisik bagaikan derasnya air sungai yang mengalir deras ibarat linangan air mataku.

Masih tertanam subur dibenakku pelukkan erat terakhir yang ayah berikan kepadaku, rasanya sungguh nyaman tak tergantikan. Hangatnya tubuh dan suara detak jantungnya yang dulu dapat aku nikmati, kini tinggallah sepucuk harapan yang menanti ketidak pastian. Tetapi inilah hidupku, mungkin ini adalah jalan yang harus kutempuh, yaitu hidup tanpa kehadiran seorang ayah disisiku

        Tanpa kehadiran dirimu, Ayah, tiada lagi yang akan menjadi pemadam hatiku saat sedang terbakar emosi, tiada lagi yang akan menemaniku disaat hatiku pilu menahan sakitnya setiap kenyataan yang harus aku telan pahit-pahit, dan tiada lagi yang akan menjadi sahabat hatiku untuk berbagi suka maupun duka yang pasti akan selalu membuatku terjatuh dalam relung dan pelukmu.

        Mengapa engkau selalu menjadi malaikatku setiap saat, tetapi mengapa begitu cepat pula engkau meninggalkan aku sendiri diatas hamparan kehidupan yang kadang gelap dan kadang pula memancarkan cahaya yang memberikan ketenangan. Aku bingung apa yang harus Aku lakukan demi mengahapus semua rasa yang kini ada dibenakku maupun dibenak bunda. Air mata yang berlinangan diatas kepedihan karena kehilangan sosok seperti dirimu, sudah tak terhingga.

        Andaikan Ayah tahu, sejujurnya aku ingin melingkari sebuah cicin janji dibenakmu.”Ayah.. aku hanya memiliki sebuah mimpi akan dirimu disana, berjanjilah wahai ayahku tercinta, bila kau tinggalkan aku, kumohon tetaplah tersenyum meski hati sedih dan menangis, kuingin kau tetap tersenyum dengan tenang untuk menghadapinya.”

^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^

        Pagi ini, jasad Ayah akan disemayamkan tepat didepan tubuhku.  Hanya hamparan tahan merah yang akan menjadi penopang tubuh Ayah, hanya binatang-binatang kecil yang akan menjadi sahabat ayah disana.

        ”Bundaaa.. Vina sayang banget sama Ayah, Vina cinta Ayah.. Vina ga mau Ayah sendiri disana.. kasian Ayah, Bunda..” ucapku tersedu-sedu pada Bunda, aku menangis histeris melihat Ayahku yang kini perlahan-lahan mulai dimasukkan kedalam liang lahat. ”viii..iina.. sudah nak, sudah.. bukan hanya kamu yang menahan sakitnya kehidupan ini, tetapi semua orang disini juga turut merasakan apa yang kamu rasakan, kasihan Ayahmu kalau ia tahu kamu tidak mengikhlaskan kepergiannya untuk selamanya”. Tambah bunda sembari memaksakan senyuman untukku, tetapi aku tahu bunda berbohong padaku. Aku tahu hati bunda pasti hancur melihat ayah saat ini.

        Kegundahanpun mengantarkan ayah untuk berpulang menuju tempat yang abadi.

^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^

        Sesampainya dirumah, lagi, lagi, dan lagi.. foto ayah yang terpanpang jelas diatas dinding rumahku, membuat aku tak tahan untuk mengikhlaskannya pergi. Lautan air mata pun kembali mengenangi rumahku.

Saat aku duduk diruang tamu, Aku teringat saat Ayah berusaha membuatku tertawa dengan lawakan jenakanya. Saat Aku belajar, Aku teringat akan harumnya tubuh Ayah yang selalu menemaniku disaat Aku belajar. Saat aku membuat secangkir teh untuk Bunda, Aku teringat akan senyuman yang Ayah berikan saat aku membuatkannya secangkir teh panas. Dan saat aku Shalat, aku teringat akan Ayah yang dulu selalu menjadi imam bagi Aku dan Bunda.

Setiap waktu, Aku selalu teringat akan senyum, tawa, dan semua sifat yang Ayah miliki. Harumnya tubuh dan manisnya senyum yang ayah berikan selama ini masih Aku simpan dalam benakku yang terdalam, Aku tak akan mungkin dapat melupakan Ayah selamanya. Walaupun Aku dan Ayah terkekang oleh alam, tetapi jiwaku akan selalu bersamamu, Ayah.

Andaikan Ayah tahu, setiap  malam Aku menangis memandangi foto Ayah, kubisikkan kata-kata yang pernah terucap dari mulut mu, kubelai lembut wajahmu yang terbingkai kaca, kupeluk dan selalu ku jaga. Doa dan harapanku selalu Aku tujukan padamu, tak ada lagi penyemangat dalam hidupku selain Bunda seorang. Nafkah batin yang engkau berikan pada Bunda dan Aku sangatlah berarti kini.

Walau ku tahu, Aku tak boleh menangisi kepergianmu setiap saat, tetapi Aku tetaplah seorang gadis kecil yang pasti menitihkan air mata dikala kehilangan seseorang yang sangat berati besar dalam hidupku, tanpa Ayah Aku tak akan ada didunia ini, merasakan indahnya kehidupan, mendengarkan nasihat berlian yang terucap dari mulutmu, dan merasakan hangatnya pelukan penuh kasih sayang dari mu.

Catatan hatiku selalu aku tulisakan dalam buku harian  pemberian dari ayah, sewaktu aku berulang tahun yang ke-7. warnanya sudah pudar, bentuknya pun sudah tak semenarik dulu, tetapi kenangan yang tercantum didalamanya sungguh masih utuh seperti perasaanku pada Ayah. Ini ungkapanku saat Ayah telah tiada.

 

”Dear, diary...                                    sabtu, 25 juli 2010

Hari ini... aku kehilangan sebuh sosok yang telah menjadi panutan bagiku sejak kecil.  Ayahku telah pergi untuk selamanya. Aku tahu ini menyakitkan bagi semua orang yang menyayangi ayah. Sebenarnya masih banyak yang ingin aku lakukan dengan ayah, akupun belum sempat memberikan piala kejuaraan photographku pada ayah, Tetapi Tuhan telah berkata lain, mungkin ayah terlalu baik untuk melihatnya. Dan mungkin Tuhan sangat menyayangi ayah, maka dari itu Tuhan memanggilnya terlebih dahulu dari pada kami.

Yah, andaikan engkau mendengar dan melihatku. Aku ingin engkau yang menerima piala atas keberhasilan yang telah engkau ajarkan padku selama ini. inilah piala kejuaraan dari lomba photograp yang aku ikuti bersama ayah 2 minggu sebelum kematian ayah. Seharusnya aku senang menerimanya, tetapi aku sedih karena tiada lagi yang akan membimbingku seperti sebelumnya.

Ayah, aku ikhlas engkau pergi... aku bahagia jika kau juga turut bahagia. Aku yakin engkau pasti tersenyum melihat keberhasilanku. Aku yakin engkau tak akankesepian disurga sana, aku yakin engkau pasti mendapatkan kebahagian yang sesungguhnya...

Selamat jalan ayah, maafkan anakmu yang telah berlumur dosa ini... aku mencintai mu...

 

Love,

Vina yunita sari.

^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^

        Hanya ada satu kata untuk ayahku tersayang...

”aku akan selalu menjaga dan mencintaimu sepanjang masa, walau kita kini sudah tak bersama lagi, ayah...”

Aku berjanji padamu ayah, aku akan menghentikan semua tangisku untukmu, kerena aku tahu di dunia ini kita tidak punya apa-apa ,semua itu hanya pinjaman .bila semua itu hilang kita bukan menangis tetapi kita harus tersenyum karena Tuhan sudah begitu baik kpda kita. SELALU harus menghargai apa yg di beri dan di takdirkan .

Jumat, 23 Juli 2010

Cerpen - Sekeping cinta untuk Bunda tersayang


Sekeping cinta untuk bunda tersayang


Aku terdiam bisu penuh keharuan Dibalik kaca ruang tidurku. Menatap seorang wanita yang sedang duduk diam disana. Walaupun kami berbeda tempat namun kami hanyalah berbatasan dengan sepetak kaca, tentu saja aku dapat melihat seluruh gerak-gerik yang dilakukannya. Seharusnya aku dapat membelai dan bercengkrama dengannya.
         Perlahan kucoba pejamkan mataku sejenak. Rasanya perih tiada tara. Tak kuasa aku menjatuhkan butir-butir air dari mataku. Kembali kucoba membuka mataku, kupandangi rautan tatap mata darinya yang sungguh kosong, bibirnya terbungkam bisu tiada berkata, hanya terdiam terpaku pada sebuah kursi dengan pakaian yang kotor, kumal, dan terlihat bau.
        Kembali kuamati wajahnya, rambutnya merah menampakkan kekumalan, raut wajahnya terlihat lebih tua dari pada usia yang sesungguhnya. Mungkin banyak orang yang berpendapat ia sangat buruk . Apa yang ada dibenakku sekarang, tidaklah menampakkan pikiran apapun. Hanya air mata yang terus menerus membanjiri pelipis mataku ini, entah sampai kapan kesedihan ini akan berlangsung.
        Aku amati wajah yang seharusnya aku belai lembut, tangan yang harusnya aku cium dengan penuh harapan keridhoan, dan tubuh yang seharusnya aku peluk erat, perlahan menatapku dengan kebisuan. Pandangan kami berlabuh.
        Aku semakin tak kuasa menatap wajah penuh kepolosan itu. Detak jantungku semakin menggelegar, rasanya tak kuasa lagi aku berdiri didepannya. Ibarat sebuah balon air yang tertusuk jarum. Pedih, perih, bercampur dalam keharuan. Walupun aku kini sudah menginjak usia remaja, bukan berarti aku tak dapat menangis melihat haru menyelimuti keheningan.
        Aku hanya menggeleng pelan, kulangkahkan kaki dengan cepat menuju kamar mandi. Didepan kaca bening aku curahkan seluruh perasaan yang sedang aku pendam saat ini. Butiran air mata kembali membanjiri pipiku. Ku coba mengusap kesedihanku, kubasuh wajahku dengan air. Segera aku mengambil air wudhu. Kukenakan kain mukena putih. Aku berdoa ”Ya Allah , aku hanya dapat berserah diri kepadamu, aku yakin Engkau tidak akan memberikan cobaan yang melampaui kemampuan umatnya, tak juga masalah yang sedang aku hadapi sekarang.”
***
Cerita ini berlabuh kira-kira sekitar setahun yang lalu. Saat itu kami sekeluarga sedang pergi berlibur ke suatu pedesaan terpencil di Jawa Timur. Kampung Asem Sari namanya. Saat itu Bunda meminta kami untuk berlibur bersama. Kebetulan pada saat itu Bunda baru pulih dari sakitnya. Didalam mobil, bunda sempat bercerita bahwa kampung itu menyimpan sejuta kenangan yang terpendam baginya. Tiada yang mengetahui apa yang dimaksudkan bunda, mungkin hanya ayah, yang hanya tersenyum menyimpan penuh rahasia.
Sesampainya disana kami segera disambut hangat oleh warga kampung sekitar. Malam itu juga kami menginap disalah satu rumah kepala desa. Mereka masih ingat pada bunda, yang dua puluh enam tahun silam pernah menjadi salah satu anggota masyarakat dikampung ini.
Malam ini aku terpaksa tidur berdua dengan adikku diatas sebuah ranjang kecil yang berdenyit ketika aku menaikinya. Sebenarnya ia bukanlah adik kandungku. Kata bunda aku adalah seorang anak adopsi, orang tuaku telah meninggal dunia, entah kapan tepatnya. Itu kata bunda setiap kali aku menanyakan mengapa aku berbeda dengan adikku. Aku memiliki kulit putih, mata yang sipit, serta rambut yang terurai lurus. Sedangkan adikku memiliki kulit berwarna sawo matang, mata yang bulat dan besar, serta rambut yang agak mengikal, persis dengan ayahku.
Namun begitu kenyataannya, ayah dan bunda tidak pernah mempermasalahkan serta membeda-bedakan kami berdua. Mereka bersikap adil satu sama lain. Kami berdua hidup damai, aman, dan tentram dalam asuhan pendidikan yang berkualitas. Apalagi ketika aku berhasil menjadi juara kelas pada saat kenaikan kelas ke kelas 8 kemarin, mereka semua sangat bangga melihatku.
Dengan diawali sarapan pagi, bunda mengajak kami semua untuk berjalan-jalan megitari pantai didekat desa itu. Kata pak kades, jarak dari laut dengan kampung ini hanya bekisar 15 menit jika ditempuh dengan berjalan kaki. Akhirnya kami berjalan bersama-sama menuju pantai tersebut.
Dari rumah kerumah kami lewati, tetapi tiba-tiba bunda menghentikan langkahnya didepan sebuah rumah tua yang sudah rentan dimakan waktu. Banyak lubang dimana-mana, pintunya lapuk dimakan rayap. Dibawah pohon, tampak seorang wanita separuh baya yang sedang duduk termenung sambil memandangi langit biru.
        Kami tersentak kebingungan ketika bunda melangkahkan kakiknya untuk menghampiri wanita separuh baya itu. Dengan perlahan ia duduk didepan wanita itu seraya berkata ”Bunga, kamu masih ingat dengan aku bukan? ” tanya bunda dengan lembut. Wanita itu perlahan mulai menatap kearah bunda, tetapi ia hanya terdiam seribu kata.
        Entah mengapa seketika jantungku berdetak keras, seperti aku telah memiliki ikatan batin yang kuat dengannya, tetapi aku berpikir itu hanya kebetulan saja atau mungkin karena rasa ketakutanku melihatnya, lagi pula aku tidak mengenal wanita separuh baya tersebut.
        Setelah cukup lama, akhirnya kami kembali melanjutkan perjalanan bersama. Keheningan menyelimuti langkah kami, entah mengapa sejak bertemu dengan wanita misterius tadi bunda hanya terdiam bisu. ”Sebenarnya siapa wanita tadi ? mengapa bunda begitu bersedih setelah bertemu dengannya ?” pendamku dalam hati. Tidak ada seorangpun yang berani berkata-kata, mereka hanya diam, begitupun aku.
        Akhirnya, deburan ombak yang menabrak bebatuan menyapa kami. Rasanya indah dan damai sekali. Tanpa menunggu lama lagi aku dan adikku segera berenang diantara deburan ombak yang menyapa lembut kami. Kami bersenang senang, hanya bunda yang terdiam dengan isak tangis dipelukan ayah. Kami bungkam melihatnya, hanya senyuman yang dapat kami tunjukan kepada bunda.
        Hari kedua dan ketiga kami lalui disana. Dan pada hari yang keempat ini, bunda kembali mengajakku menuju pantai, tetapi kali ini hanya berdua. Kami pun berangkat menuju pantai. Kali ini kami kembali melewati rumah misterius itu, tidak dipungkiri lagi seorang wanita kembali terlihat sedang duduk dibawah pohon yang rindang sambil memeluk erat sebuah boneka yang terlihat kusam. Tetapi kali ini bunda hanya diam sambil menunduk melewatinya.
        Sesampainya dipantai, bunda segera membuka perbekalan makanan yang dibawanya dari rumah. Kami segera menyantap makanan tersebut dengan lahapnya. Kami bercengkerama penuh kebahagian sehinga aku hampir tidak sadar kalau bunda mulai membicarakan wanita misterius itu. Aku memberanikan diri untuk bertanya ”Mengapa bun, dari tadi bunda terlihat resah ?” tanyaku pelan. Bunda hanya tersenyum lalu menghela nafas. Lama kami berdua mengobrol kesana kemari.
        ”Kakak sayang, kini kamu telah beranjak remaja, sudah seharusnya kamu mengetahui kenyataan yang sebenarnya ” jelas bunda sambil mengelus pipiku. Tatapannya sungguh menyakinkan, menyimpan sejuta kata yang tersimpan dalam memorinya. ”Kenyataan apa bun ?” tanya ku dengan penasaran. Kini bunda menatap hamparan laut yang berada didepan kami.
        ”Duapuluh enam tahun silam, ketika bunda pertama kali melewati desa ini kerena ada tugas kuliah yang mengharuskan bunda dan kawan-kawan melakukan penelitian terhadap penduduk di desa ini. Waktu itu wanita tersebut tidak seperti sekarang, ia masih remaja, wajahnya sungguh anggun mempesona, banyak lelaki yang terpikat olehnya. Karena selain cantik ia juga dikenal sebagai gadis yang ramah dan mudah bergaul dengan siapa saja. Perjalanan hidupnya, sangat sengsara. Setelah kedua orang tuanya meninggal di Kota Ambon karena terjadi kerusuhan, wanita itu di bawa oleh salah satu penduduk yang menyelamatkan diri. Hingga mengembara di desa ini. Hidupnya dari rumah ke rumah, sambil membantu mereka bekerja, demi sesuap nasi. Dan di usia yang relative muda, ia terpaksa putus sekolah. Bunda mengawali ceritanya. Dan aku mendengarkan cerita itu dengan perasaan miris dalam dada.
        ”Suatu malam, dikampung sebelah desa ini, sedang mengadakan acara. Kebetulan sekali ada sebuah pertunjukkan kesenian Ketoprak. Para warga pun berbondong-bondong ingin menghadiri acara tersebut. Termasuk Bunga, ia pergi bersama rombongan anak-anak sebayanya. Malam semakin larut, dan orang-orang makin asyik menyaksikan kesenian ketoprak tersebut, sehingga lupa pada kawan-kawan rombongannya. Setelah Ketoprak selesai, orang-orang sibuk mencari rombongan masing-masing. Semua ada, namun hanya Bunga yang tak kelihatan. Dan akhirnya, rombongan pun pulang.
        Untuk kembali pulang ke rumah, warga harus menempuh jarak yang cukup jauh, belum lagi terhalang oleh penerangan yang masih sangat minim. Mereka berjalan beriringan melalui jalanan sempit di tengah ladang. Dan pada saat yang tiada terduga, seorang warga tak sengaja menginjak tubuh manusia. Orang itu menjerit ketakutan. Dan saat salah satu warga mencoba melihat tubuh manusia tersebut, alangkah terkejutnya mereka semua. Tubuh manusia itu adalah Bunga. Ia pingsan di tepian ladang, dengan badan penuh lebam. Mengenaskan !, karena tak selembar kain pun yang membalut tubuhnya.” Bunda diam sejenak. Ia menghela nafas. Dan aku semakin hanyut dalam cerita bunda.
        Orang-orang kampung gempar dengan kabar tersebut. Belum lagi Bunga yang diasingkan dari masyarakat sekitar, karena kini dirinya dikabarkan sedang mengandung, sehingga ia menjadi stres. Bunga hanya dekat dengan bunda, bunda selalu berusaha menenangkannya. Tetapi dilain pihak bunda harus melanjutkan pendidikan bunda di kota. Bunda tidak dapat terlalu lama didesa ini, akhirnya bunda menitipkan Bunga kepada salah seorang tetangga Bunga. Bunda berjanji akan selalu menengok dan mengirimkan uang kepada bunga.
        Namun sayang setelah bunda kembali kekota, kadaan bunga justru semakin memperihatinkan, sehingga mengharuskan bunda untuk kembali kekampung ini. Bunda mengambil cuti kuliah selama tiga bulan untuk menemani bunga sampai ia melahirkan anaknya itu. Dan selama itu pula bunda menjadi bagian dari kampung ini.
        Akhirnya saat yang ditunggu pun tiba, bunga melahirkan anak perempuan yang sangat lucu. Bunda dan pak kades mengurus seluruh surat-surat bayi tersebut. Dan bunga menyerahkan bayi itu kepada bunda untuk bunda rawat dan bunda besarkan dengan baik” disini bunda meneteskan air mata begitu deras.
        “Nak, maafkan bunda. Karena bunda tak mampu menyelamatkan wanita tersebut. Bunda tak mampu memaksa wanita itu untuk tinggal bersamaku ke kota. Namun Bunda berjanji akan merawat anaknya, dan akan membuatnya sembuh kelak.” ”Maksud bunda apa?” tanyaku sambil memotong perkataan bunda”. Sambil menyeka air matanya, bibirnya bergetar, wajahnya menjadi pucat seketika.  Lalu ia segera memelukku dengan erat. Akupun semakin bingung dibuatnya.
        ”Nak, maaf kan bunda... anak yang bunda maksudkan adalah kamu” ucapnya sambil mempererat pelukannya kepadaku. ”ya ALLAH,... ” aku bagaikan dibakar diatas api unggun yang amat teramat panas disiang hari. Aku menggeleng seraya berkata ”Tiiiddaaaaaaak.. !” badanku bergetar, mataku tak dapat menghentikan deraian air mata. ”Maafkan bunda nak, maafkan bunda...” tangis kami semakin pecah dan menggelegar. Hamparan laut luas didepan kami telah menjadi saksi bisu kenyataan pahit ini. ”Tidak bundaaa... !” aku perlahan menjauh dari bunda dan lari meninggalkannya sendiri.
        Sampai pada akhirnya, aku pergi dari kampung itu, aku mengelana entah kemana. Perasaan bingung akan apa yang harus aku lakukan begitu menyelimuti perasaanku. Rasa lapar, sakit, dan ketidak percayaaan tidak aku pedulikan hingga akhirnya aku tak sadarkan diri didepan sebuah pertokoan dipinggir jalan.
        Entah berapa lama aku tak sadarkan diri, aku tersadar ketika seorang pemuda memebangunkanku dan membawaku kerumahnya. Disana aku menceritakan semua tentang apa yang telah aku lalui. Ia kembali menyadarkan aku tentang betapa sulitnya kehidupan didunia ini. Alhamdulillah, aku kembali tersadar akan apa yang sedang ku jalani dikehidupanku. Aku kembali kekampung itu dan aku membujuk wanita separuh baya yang tak lain adalah ibuku sendiri tersebut untuk pulang bersamaku. Dengan bantuan, ayah dan bunda.. ia akhirnya mau untuk tinggal bersama kami dikota. Terima kasih ya ALLAH...

***
        Setelah lama aku tinggalkan wanita tua tersebut dikamarku. Kembali kucoba menyapanya. Kali ini niatku telah bulat, aku harus dapat merawat dan menyembuhkan wanita yang telah melahirkan aku kedunia ini. Tanpa kehadirannya mungkin aku tidak dapat hadir dalam gemerlap dunia ini.
        Kulangkahkan kaki menuju ruangan itu, terlihat beliau tengah menyeka air mata dengan baju lusuhnya. Aku terperanjat seketika, menatap perilaku nya. Kudekati dirinya, lalu kupeluk tubuhnya.

“Bunda, jangan menangis. Apapun adanya dirimu, aku akan selalu bersamamu” batinku. Wanita itu mulai menggerakkan bibir, lalu perlahan berkata, “dimana anakku, aku rindu akan kehadirannya” ucap wanita itu disela tangisnya.

”oh, bunda... aku disini, aku adalah anakmu... maafkan aku selama ini bunda ” aku langsung memeluk erat tubuhnya... ”bunda aku disinii.. ”.
        Bunda menatapku "benarkah engkau adalah anakku ?" tannya Beliau dengan mata yang berkaca-kaca."Bunda... aku adalah anak Bunda, maafkan aku Bun, selama ini aku tidak menyadari keberadaanmu". air mata kami kembali bertumbah ruah, tak kusangka selama ini sosok seorang Ibu yang telah melahirkan aku kedunia ini, kini berada tepat didepanku"batinku dalam hati".
        Hari-hari kami lalui bersama dengan penuh kebahagiaan, karena kini Bunda telah mampu mengobati traumanya dimasa lalu.Ya Allah, terima kasih Engkau telah mendengar doaku. Kenangan ini terlalu manis untuk kami lalui bersama.

Cerpen - Simpang Ajal

Simpang Ajal


Selesai sudah tugas Montenero. Karenanya, kini ia tinggal bunuh diri. Bunuh diri! Itu saja. Betapa tidak! Ia telah membunuh tiga orang itu sekaligus. Ya, tiga orang. Santa, orang yang dengan serta-merta memenggal kepala bapaknya ketika bapaknya menolak menandatangani selembar kertas yang berisi surat perjanjian untuk terikat dengan sebuah partai. Lantas Denta, yang ketika pembunuhan itu terjadi berusaha membungkam mulut bapaknya agar tidak berteriak, serta Martineau yang mengikatkan tali pada tubuh bapaknya agar bapaknya tak bergerak sedikit pun menjelang kematiannya. Karena itu, sekarang, Montenero sendiri tinggal bunuh diri!

"Selamat malam, Montenero. Sebaiknya kamu kubur dulu ketiga mayat itu baik-baik! Setelah itu, terserah!" ucap batin Montenero, meronta.

"Ya, kubur dulu! Lantas, selamat tinggal!" sisi kedirian batin Montenero yang lain menimpali.

Sesungguhnya Montenero memang tidak perlu menjumput beragam kebijaksanaan untuk sesegera mungkin mengubur mayat-mayat itu. Toh memang, tugas pembantaiannya telah usai. Dan dengan sendirinya, dendam yang bersemayam di dalam dirinya lunas terbalaskan.

"Tetapi, semestinya engkau mempunyai cukup rasa kemanusiaan untuk tidak membiarkan mayat-mayat itu menggeletak begitu saja karena kau bunuh! Kasihan tubuh mereka menggeletak! Semestinya jika dengan cepat mereka menjadi makanan belatung-belatung menggiriskan di dalam tanah. Bukan menjadi makanan empuk bagi lalat-lalat hijau!" Belati, yang telah menikam dada Santa, Denta, dan Martineau masing-masing sebanyak enam kali, yang sepertinya sangat tahu berontak batin Montenero, ikut angkat bicara.

Montenero menghela napas. Menggeliat.
"Ah, benar. Sudah semestinya. Sekarang, engkau harus bisa membebaskan pikiranmu dari angan-angan tentang balas dendam. Ingat, ketiga mayat itu telah menjadi seonggok daging yang tak berarti. Harus dikubur! Engkau harus mengubah pola pikir yang begitu konyol itu, Montenero," cecar sebilah Pedang, yang rencananya ia gunakan juga untuk membunuh, tetapi Santa, Denta, dan Martineau ternyata cukup memilih mati cuma dengan sebilah Belati.

"Oh ya. Ya. Aku ingat lagi sekarang. Engkau harus mempersiapkan banyak keberanian agar kau menjadi tidak gagu dalam bersikap. Jangan seperti ketika kau akan membunuh! Kau hunjamkan diriku ke dada ketiga mayat itu dengan gemetar. Sekarang, untuk menguburkan ketiga mayat itu, tak perlu ada denyut ragu yang berujung gemetaran badan, desah napas memburu, suara terengah-engah, dan keringat dingin yang keluar berleleran. Semua itu harus diubah. Dengan segera!"

Montenero melirik jam tangan. Kurang tiga puluhan menit kokok ayam bakalan meletup kejut. Ia menghapus keringat dingin yang perlahan-lahan tapi pasti mulai membanjiri muka dan tangannya.

"Cepat lakukan! Keberanian telah datang dengan sendirinya. Lakukan!"
Angin pagi mendesir. Jam tangan terus berdetak. Montenero pucat. Lunglai. Apa yang dikatakan oleh Belati dan Pedang itu ada benarnya. Tak ada kebijaksanaan lain menjelang pagi hari itu kecuali penguburan. Tentu saja, penguburan dengan segala kelayakannya. Ada dupa, bunga, kain pembungkus mayat, dan pastilah keberanian. Untuk yang terakhir, soal keberanian itu memang sudah sedikit dimiliki Montenero. Tetapi, untuk dupa, bunga, dan juga sesobek kain pembungkus mayat? Atau, pikiran tentang sesobek kain pembungkus mayat sungguh tak diperlukan lagi?

"Ah, begitu banyak pertimbangan kau! Ambillah cangkul! Gali tanah yang cukup untuk mengubur ketiga mayat itu sekaligus. Cepat! Tunggu apa lagi, ha?! Ayo, berikan kelayakan kematian kepada Santa, Denta, dan Martineau. Setidaknya, agar ruh mereka bisa sedikit tertawa di alam baka sana. Cepat Montenero! Waktu tinggal sebentar! Masih ada tugas-tugas lain yang harus kau panggul untuk mencipta sejarah. Sejarah, Montenero! Jangan main-main! Cepat! Ayo, dong. Cepat!!!"

Montenero diam. Terpaku. Ia sebenarnya memang tidak perlu mempertimbangkan apa-apa lagi kecuali segera mengubur ketiga mayat itu serapi mungkin, agar paginya tidak sia-sia karena dikorek-korek anjing. Lantas, selesai! Sejarah baru tergores. Bapaknya yang mati sangat mengenaskan dengan kepala terpenggal dari tubuhnya, terbalas sudah. Meskipun kematian Santa, Denta, dan Martineau tidak sempurna seperti kematian bapaknya, tetapi setidaknya mati. Itu saja. Karena hanya sisa keberanian itulah yang dimilikinya. Kebetulan memang juga mati, bukan? Tuntaslah cerita ibunya yang selalu membekas dalam ingatan dan membuatnya selalu berpikir dan bersikap semirip orang sableng.

Montenero memutuskan mengambil cangkul. Belati dan Pedang tertawa. Membuat Montenero kembali gundah, berada dalam sangkar kebingungan. Keringat berleleran lagi dari sekujur tubuhnya. Tangannya kembali gemetar. Dengan berteriak sekeras mungkin, Montenero membanting cangkul yang sudah tergenggam kencang di tangannya. Berarti keberaniannya sedikit hilang, bukan? Bahkan barangkali hilang sama sekali? Belati dan Pedang kebingungan. Keduanya pucat pasi. Motivasi apa yang mesti disuntikkan untuk membangkitkan kesadaran keberanian Montenero menjelang matahari terbit?

"Aku tak mampu lagi melakukan apa-apa. Aku telah menuntaskan tugasku. Aku telah mencipta…. Uh…. Semestinya kau tak menghimpitku dengan hal-hal kecil yang justru akan menjebakku pada rasa bersalah semacam ini!" dengan suara penuh gemetar, seolah dicekam oleh ketakutan entah apa, Montenero angkat bicara.

"O…. Kau menganggapnya hal kecil, Montenero? Harusnya aku tadi menolak untuk kau gunakan membunuh jika kau menganggap penguburan adalah sebagai hal yang kecil, remeh. O…. aku bisa saja mogok untuk membunuh bila akhirnya kau malah bimbang sikap semacam ini! Kau tahu, Montenero. Aku bisa balik mengubah keberanianmu untuk membunuh. Aku bisa tiba-tiba saja menikam dadamu sendiri di depan Santa, Denta, dan Martineau. Bangsat! Anjing, kau!!!"

Montenero terpaku. Suasana di sekitar tempat pembantaian itu merayap senyap. Montenero berulang-kali blingsatan. Montenero terus-menerus mengusap keringat yang berleleran membasahi sekujur wajah. Dan detik terus saja berdetak. Sesekali ia garuk-garuk kepala sembari berjalan mondar-mandir. Belati dan Pedang cuma memandangi saja. Bisa jadi, Belati dan Pedang memang sudah kehabisan kata-kata untuk memotivasi Montenero. Sesekali dilihatnya mayat Santa yang terbujur kaku, Denta yang terkapar melingkar bagai ular, dan Martineau yang jika diperhatikan secara jeli ternyata malah tersenyum di puncak kenyerian kematiannya.

"Bagaimana, Montenero? Bagaimana? Aku masih sanggup membikin keberanian buatmu. Belum terlambat, dan tak akan pernah terlambat. Aku masih bersabar bersama Pedang."

"Bagaimana?" Montenero mengusik tanya kepada dirinya sendiri.
"Terserah!"
"Bagaimana, Belati?"
"Terserah! Bagaimana dengan kamu, Montenero? Masih sanggup kau mendengar kata-kataku? Ok. Engkau masih bisa bekerja dengan cepat menanam ketiga mayat itu baik-baik. Ambillah cangkul itu. Keduklah tanah segera. Kuburkan mereka senyaman mungkin. Ah, bulan yang sebentar lagi bakalan angslup itu juga pasti merestui dan memandangimu dengan rasa puas. Barangkali, ia bakalan memberi ucapan selamat kepadamu. Kenapa engkau mesti terjebak pada rasa ragu? Ayo, aku senantiasa berada di belakangmu!"

Aih, ayam telah berkokok bersahutan. Meskipun ayam baru berkokok, keadaan di sekitar tempat pembantaian itu sudah cerah. Udara meruapkan kesegaran. Montenero terlambat. Ia belumlah membuat perhitungan-perhitungan untuk bergegas menyuruh Belati agar mau menikamkan diri ke dada Montenero yang kini telah disesaki gebalau bingung, ketololan, amarah, dan entah apa lagi, juga entah ditujukan buat siapa lagi. Montenero betul-betul lunglai, lenyap keberanian, tercipta goresan sejarah yang entah baru entah tidak.


Kamis, 22 Juli 2010

cerpen - Buku Harian Lita





 Buku Harian Lita

        “Hmmm… “ gumamku yang sendari tadi terus memandangi hamparan lagit biru yang tepat berada diatasku. Aku bingung, mengapa Allah mencipatakan matahari yang terik, sedangkan dimalam hari ada rembulan yang memancarkan cahaya yang begitu damai. Tetapi dari balik renungku, aku tahu Allah pasti memiliki maksud tertentu yang akan indah pada waktunya. Seperti matahari yang terik disiang hari. Kebanyakan orang membenci sinarnya karena panas, tetapi disamping itu, matahari memiliki peran yang sangat penting bagi kehidupan di bumi ini. Bayangkan saja jika tidak ada matahari yang memancarkan sinarnya sampai kebumi, apa yang akan terjadi ?



Dan Allah juga menciptakan bulan dengan maksud tertentu. Banyak orang yang mengatakan apalah guna bulan menyinari bumi padahal sinarnya tak mampu menjangkau tiap ruangan didalam rumah ?. dibalik pertanyaan konyol  itu pun ada jawaban tentang manfaatnya yang sungguh tak terduga. Sebelum ditemukakan dan diciptakannya listrik, bulanlah yang menjadi sumber penerangan utama bagi setiap insan dibumi yang membutuhkannya dikala malam.
        Aku juga tahu, Allah tidak akan pernah membiarkan hambanya menderita terus menerus. Dan kini aku sungguh berpegangan erat pada komitmen tersebut. Aku yakin, Allah tidak akan membiarkan Bunda terus menderita akibat ulah Ayahku. Aku yakin itu. Bunda adalah orang yang sungguh mulia bagiku, beliau sungguh seoarang wanita yang tak kenal putus asa walaupun banyak rintangan dan cobaan yang tak ada henti-hentinya, tetapi malah silir berganti seiring dengan bertambahnya waktu.
        Walau banyak rintangan yang datang,aku yakin aku dapat melaluinya bersama bunda tercinta. Apa lagi kini genap sudah aku berusia 13 tahun, aku baru saja beranjak dari umur kanak-kanak. Sungguh sulit bagiku untuk menahan deraian air mata, dikala Bunda harus bekerja keras demi melanjutkan kehidupan kami berdua. Ia rela bekerja dari pagi sampai malam untuk menjadi seorang buruh cuci pakaian yang penghasilannya sama sekali tidak menentu.
        Ayahku kini tak lagi tinggal dan hidup bersama kami dikala suka maupun duka. Ia lebih memilih untuk berkeluarga dengan wanita lain tanpa sedikitpun memberikan nafkah kepadaku.
        Tetapi Walau sulit, pasti setiap masalah ada jalannya, aku yakin itu !. walau tanpa kehadiran seorang ayah disisi ku, tetapi aku tetap berpegang erat pada pemikiran dan kerja kerasku sendiri. Aku yakin masih banyak anak seusiaku yang juga tidak dapat merasakan apa peran seorang ayah didalam sebuah keluarga.
        ”lita, Bunda mau tanya, apa lita kangen ayah ?” tanya bunda yang menyadarkanku pada lamunan akan langit. ”ohh eh.. emm.. e..eng..enga kok Bun.. ” jawabku terbata-bata. ”kamu yakin ?” ujar bunda lagi. ”iyh aku yakin bun !” tambahku kepada bunda sebelum ia pergi meninggalkan aku sendiri.
        Hari demi hari terus kulalui dengan risaukan dan rasa rinduku yang mulai tak dapat aku tutupi lagi. Aku takut bilamana aku berterus terang pada bunda jika lah aku rindu akan sosok seorang Ayah dikehidupanku.  Tetapi apa dayaku, aku hanya bisa mengadu dan mencurahkan seluruh perasaanku kedalam sebuah tulisan yang tertera jelas berwarna hitam didalam sebuah buku harian.
        Mungkin, tiada satu orangpun yang mengetahui bahwalah setiap kali aku menulis pada selembar kertas-kertas itu, tak ada yang terlewatkan dan tertuliskan tanpa deraian air mata yang membasahi tulisanku setiap hari.
        Dikala sepi, sunyi, penuh rasa kerinduan, dan keharuan hanya seongok buku tebal itu lah yang menjadi sahabat penaku. Ya hanya ia lah sahabatku tempat aku mengadu selain Allah tentunya.
       

        Malam ini terasa begitu gelap, sunyi, dan hening. Rembulanpun sepertinya enggan untuk membagi cahaya damainya kepadaku. Entah mengapa suasana begitu hening, yang terdengar hanyalah kicauan dari jangkrik-jangkrik kecil disekitar kamarku.
        Tetapi, tiba-tiba ”took took took !” ada yang mengetuk pintu kamarku. Akupun beranjak dari meja belajar dan buku harianku, “siapa ? masuk lah..” ujarku. ”ini Bunda ta.. ” jawab Bunda. ”oh, bunda.. ada apa Bun ?” tanyaku penasaran. Bunda terlihat aneh, gayanya seperti sedang menutupi sebuah rahasia tak terduga, ia tidak menjawab pertanyaan yang aku lontarkan padanya. Ia hanya diam membisu sembari duduk diatas ranjang tempat tidurku.
        Akhirnya bunda mau membuka mulutnya setelah diam sejenak. ”Ta, kehidupan kita selamanya akan seperti ini jika bunda tidak segera mencari pasangan hidup sebagai pengganti ayahmu.. bahkan mungkin kamu harus putus sekolah karena tidak ada biaya lagi, sayang..” ujar Bunda yang terus menerus menitiskan air mata. Aku dibuat binggung oleh kata-katanya. ”Apa mungkin Bunda ingin mencari pengganti Ayahku ?. ah, tidak mungkin !” ujarku dalam hati.
        Tetapi semua tanyaku terjawab ketika aku mengutarakannya pada Bunda. ”Bun, Lita tahu kita selalu terpuruk dalam kekurangan, tetapi masih ada Allah yang menjaga kita. Karena dimata Allah semua manusia tidak ada yang berbeda, hanya masalah keimanan dan ketaqwaan nya saja, Bunda. Jika Bunda ingin menikah dengan laki-laki lain lagi, Lita ikhlas menerimanya. Tetapi itu jika Bunda menerima lelaki itu bukan dipandang dari harta dan kekayaannya, melainkan berdasarkan cinta dan kasih Bunda yang tulus..”.
        Bunda masih menitiskan air matanya. ”Ta, Bunda bingung akan kehidupan kita yang semakin terpuruk, seakan-akan Allah tak pernah mendengar doa bunda. Bunda harus melakukan hal ini demi kebaikan dan kehidupan yang lebih baik bagi kita, nak..” tambah Bunda. Aku pun semakin mengutarakan isi hatiku yang mulai gundah mendengar ucapan Bunda. ”Astaughfirullah, Bunda... insyaAllah doa kita akan diijabah jikalau kita bersunguh-sungguh atas doa kita, dan Allah tidak akan pernah mungkin memberikan cobaan yang melampaui batas kemampuan umatnya, Bunda..” bantahku pada Bunda.
        Sakit sekali rasanya mendengar perkataan bunda. Tak dapat lagi aku membendung hamparan air mataku yang terus mengalir membasahi pelipis mataku. Bukannya aku ingin melawan bunda, tetapi aku tak ingin melihat bunda menderita karena terpaksa menikah dengan seorang laki-laki yang tidak ia cintai, melainkan untuk membiayai aku bersekolah. Setelah aku berdoa, mencurahkan perasaanku pada Allah dalam doaku, segeralah ku tunaikan salat tahajud, kuadukan seluruh hatiku pada doaku.
Hatiku mulai meredam dan kini kucoba untuk menuliskan perasaanku pada buku harianku.

”Dear, diary..
Sabtu, 9 desember 2002

Aku bingung akan sikap bunda yang ingin menikah pada seorang laki-laki yang tidak ia cintai... dengan alasan demi membiayai aku... tetapi aku tetaplah seorang anak gadis biasa yang pasti memiliki rasa kasih dan cinta pada ayahku sendiri, tetapi aku tak berani mengutarakannya pada bunda.
Aku tahu, ayah memang telah menyakiti bunda, tetapi perasaanku seolah-olah masih ingin merasakan dekap kasihnya di kehidupanku. Aku sungguh tak dapat membohongi diriku sendiri, karena kini hatiku yang berbicara. Bukanlah lidah yang tak bertulang ini.
Aku bingung untuk merelakan bunda menikah atau tidak, karena sejujurnya aku masih merindukan suasana penuh kekeluargaan yang hangat antar ayah, ibu, dan aku yang saling bercengrama.
Tuhan, jikalah aku harus menanggung derita ini, tak apa.. asalakan bunda masih mendapatkan kebahagiaan seutuhnya bersama pujaan hatinya. Yang tentunya ia cintai. Tetapi jikalau bunda harus menderita karena aku, aku sungguh tak sanggup melihat linangan air matanya...

Lalu apa yang harus aku pilih ?

Love,
Lita ”

        Itulah isi hatiku yang sesungguhnya. Aku selalu bercerita dengan tulisanku sendiri. Aku merasa pena dan lembaran kertas kini telah menjadi sahabat hidupku. Aku merasa nyaman dan tenang setelah bercengkrama dengan mereka. Dan lama kelamaan hal tersebut memotifasiku untuk terus berkarya menjadi apa yang aku inginkan. Akhirnya malam itu aku dapat tertidur tenang.
        Keesokan harinya, matahari bersinar terang, memancarkan sinar yang sungguh mempesona dan cuacapun semakin bersahabat. Tetapi semuanya berubah ketika ku lihat bunda telah mengenakan sebuah cincin tepat dijari manisnya, ya tuhan apa ini ? apakah mungkin bunda telah menikah dengan lelaki itu ?.
        Lalu, secara tiba-tiba Bunda mendatangiku dan mengelus lembut rambutku sambil berkata. ”Lita, perih memang menerima semua kenyataan ini,  tetapi inilah hidup yang harus kita lalui. Kamu harus menerima kehadiran ayah barumu disampingmu, nak.” ujar bunda yang lagi lagi menitiskan air matanya. Aku menjawab ”bukan perih yang aku rasakan bunda... tetapi sakit hati yang cukup mendalam yang tak akan mungkin aku utarakan lewat kata-kata, Bun.. tetapi jika ini memang pilihan Bunda aku ikhlas menerimanya sebagai Ayahku.” jawabku dengan berusaha membendung genangan air mata yang mulai menitis kepipi mungilku.
        Mungkin inilah takdirku, hidup dengan segala keterbatasanku yang harus menjadi bagian dari relungan ibu dan ayah baruku. Ingin rasanya aku memberontak dan berteriak tetapi apa dayaku ? hanya sepetak kamar kecil yang menjadi tempatku untuk menjerit. Diatas buku harianku tangisku pecah membaur dengan seluruh cerita-cerita kehidupanku. Andai aku dapat merubah segalanya dan andaikan aku dapat memutar waktu yang telah bergulir, ingin rasanya aku memilih untuk hidup ditengah keluarga yang harmonis dan penuh kehangatan. Tetapi cerita kebahagiaanku telah terhempas oleh lelaki yang telah menjadi ayah tiriku. Ia telah merenggut seluruh hidupku yang semakin sirna bagaikan pasir yang terhempas ombak, ayah tiriku rela merenggut hartaku satu-satunya demi kepuasan nafsu birahinya saja. Sungguh cerita yang tak akan mungkin dapat aku utarakan dalam hidupku, terkecuali pada sahabat-sahabatku. Pena dan buku harianku. Tetapi aku yakin semua kisahku pasti akan indah pada waktunya. Seperti rembulan yang bersinar dimalam hari.