Kamis, 22 Juli 2010

cerpen - Buku Harian Lita





 Buku Harian Lita

        “Hmmm… “ gumamku yang sendari tadi terus memandangi hamparan lagit biru yang tepat berada diatasku. Aku bingung, mengapa Allah mencipatakan matahari yang terik, sedangkan dimalam hari ada rembulan yang memancarkan cahaya yang begitu damai. Tetapi dari balik renungku, aku tahu Allah pasti memiliki maksud tertentu yang akan indah pada waktunya. Seperti matahari yang terik disiang hari. Kebanyakan orang membenci sinarnya karena panas, tetapi disamping itu, matahari memiliki peran yang sangat penting bagi kehidupan di bumi ini. Bayangkan saja jika tidak ada matahari yang memancarkan sinarnya sampai kebumi, apa yang akan terjadi ?



Dan Allah juga menciptakan bulan dengan maksud tertentu. Banyak orang yang mengatakan apalah guna bulan menyinari bumi padahal sinarnya tak mampu menjangkau tiap ruangan didalam rumah ?. dibalik pertanyaan konyol  itu pun ada jawaban tentang manfaatnya yang sungguh tak terduga. Sebelum ditemukakan dan diciptakannya listrik, bulanlah yang menjadi sumber penerangan utama bagi setiap insan dibumi yang membutuhkannya dikala malam.
        Aku juga tahu, Allah tidak akan pernah membiarkan hambanya menderita terus menerus. Dan kini aku sungguh berpegangan erat pada komitmen tersebut. Aku yakin, Allah tidak akan membiarkan Bunda terus menderita akibat ulah Ayahku. Aku yakin itu. Bunda adalah orang yang sungguh mulia bagiku, beliau sungguh seoarang wanita yang tak kenal putus asa walaupun banyak rintangan dan cobaan yang tak ada henti-hentinya, tetapi malah silir berganti seiring dengan bertambahnya waktu.
        Walau banyak rintangan yang datang,aku yakin aku dapat melaluinya bersama bunda tercinta. Apa lagi kini genap sudah aku berusia 13 tahun, aku baru saja beranjak dari umur kanak-kanak. Sungguh sulit bagiku untuk menahan deraian air mata, dikala Bunda harus bekerja keras demi melanjutkan kehidupan kami berdua. Ia rela bekerja dari pagi sampai malam untuk menjadi seorang buruh cuci pakaian yang penghasilannya sama sekali tidak menentu.
        Ayahku kini tak lagi tinggal dan hidup bersama kami dikala suka maupun duka. Ia lebih memilih untuk berkeluarga dengan wanita lain tanpa sedikitpun memberikan nafkah kepadaku.
        Tetapi Walau sulit, pasti setiap masalah ada jalannya, aku yakin itu !. walau tanpa kehadiran seorang ayah disisi ku, tetapi aku tetap berpegang erat pada pemikiran dan kerja kerasku sendiri. Aku yakin masih banyak anak seusiaku yang juga tidak dapat merasakan apa peran seorang ayah didalam sebuah keluarga.
        ”lita, Bunda mau tanya, apa lita kangen ayah ?” tanya bunda yang menyadarkanku pada lamunan akan langit. ”ohh eh.. emm.. e..eng..enga kok Bun.. ” jawabku terbata-bata. ”kamu yakin ?” ujar bunda lagi. ”iyh aku yakin bun !” tambahku kepada bunda sebelum ia pergi meninggalkan aku sendiri.
        Hari demi hari terus kulalui dengan risaukan dan rasa rinduku yang mulai tak dapat aku tutupi lagi. Aku takut bilamana aku berterus terang pada bunda jika lah aku rindu akan sosok seorang Ayah dikehidupanku.  Tetapi apa dayaku, aku hanya bisa mengadu dan mencurahkan seluruh perasaanku kedalam sebuah tulisan yang tertera jelas berwarna hitam didalam sebuah buku harian.
        Mungkin, tiada satu orangpun yang mengetahui bahwalah setiap kali aku menulis pada selembar kertas-kertas itu, tak ada yang terlewatkan dan tertuliskan tanpa deraian air mata yang membasahi tulisanku setiap hari.
        Dikala sepi, sunyi, penuh rasa kerinduan, dan keharuan hanya seongok buku tebal itu lah yang menjadi sahabat penaku. Ya hanya ia lah sahabatku tempat aku mengadu selain Allah tentunya.
       

        Malam ini terasa begitu gelap, sunyi, dan hening. Rembulanpun sepertinya enggan untuk membagi cahaya damainya kepadaku. Entah mengapa suasana begitu hening, yang terdengar hanyalah kicauan dari jangkrik-jangkrik kecil disekitar kamarku.
        Tetapi, tiba-tiba ”took took took !” ada yang mengetuk pintu kamarku. Akupun beranjak dari meja belajar dan buku harianku, “siapa ? masuk lah..” ujarku. ”ini Bunda ta.. ” jawab Bunda. ”oh, bunda.. ada apa Bun ?” tanyaku penasaran. Bunda terlihat aneh, gayanya seperti sedang menutupi sebuah rahasia tak terduga, ia tidak menjawab pertanyaan yang aku lontarkan padanya. Ia hanya diam membisu sembari duduk diatas ranjang tempat tidurku.
        Akhirnya bunda mau membuka mulutnya setelah diam sejenak. ”Ta, kehidupan kita selamanya akan seperti ini jika bunda tidak segera mencari pasangan hidup sebagai pengganti ayahmu.. bahkan mungkin kamu harus putus sekolah karena tidak ada biaya lagi, sayang..” ujar Bunda yang terus menerus menitiskan air mata. Aku dibuat binggung oleh kata-katanya. ”Apa mungkin Bunda ingin mencari pengganti Ayahku ?. ah, tidak mungkin !” ujarku dalam hati.
        Tetapi semua tanyaku terjawab ketika aku mengutarakannya pada Bunda. ”Bun, Lita tahu kita selalu terpuruk dalam kekurangan, tetapi masih ada Allah yang menjaga kita. Karena dimata Allah semua manusia tidak ada yang berbeda, hanya masalah keimanan dan ketaqwaan nya saja, Bunda. Jika Bunda ingin menikah dengan laki-laki lain lagi, Lita ikhlas menerimanya. Tetapi itu jika Bunda menerima lelaki itu bukan dipandang dari harta dan kekayaannya, melainkan berdasarkan cinta dan kasih Bunda yang tulus..”.
        Bunda masih menitiskan air matanya. ”Ta, Bunda bingung akan kehidupan kita yang semakin terpuruk, seakan-akan Allah tak pernah mendengar doa bunda. Bunda harus melakukan hal ini demi kebaikan dan kehidupan yang lebih baik bagi kita, nak..” tambah Bunda. Aku pun semakin mengutarakan isi hatiku yang mulai gundah mendengar ucapan Bunda. ”Astaughfirullah, Bunda... insyaAllah doa kita akan diijabah jikalau kita bersunguh-sungguh atas doa kita, dan Allah tidak akan pernah mungkin memberikan cobaan yang melampaui batas kemampuan umatnya, Bunda..” bantahku pada Bunda.
        Sakit sekali rasanya mendengar perkataan bunda. Tak dapat lagi aku membendung hamparan air mataku yang terus mengalir membasahi pelipis mataku. Bukannya aku ingin melawan bunda, tetapi aku tak ingin melihat bunda menderita karena terpaksa menikah dengan seorang laki-laki yang tidak ia cintai, melainkan untuk membiayai aku bersekolah. Setelah aku berdoa, mencurahkan perasaanku pada Allah dalam doaku, segeralah ku tunaikan salat tahajud, kuadukan seluruh hatiku pada doaku.
Hatiku mulai meredam dan kini kucoba untuk menuliskan perasaanku pada buku harianku.

”Dear, diary..
Sabtu, 9 desember 2002

Aku bingung akan sikap bunda yang ingin menikah pada seorang laki-laki yang tidak ia cintai... dengan alasan demi membiayai aku... tetapi aku tetaplah seorang anak gadis biasa yang pasti memiliki rasa kasih dan cinta pada ayahku sendiri, tetapi aku tak berani mengutarakannya pada bunda.
Aku tahu, ayah memang telah menyakiti bunda, tetapi perasaanku seolah-olah masih ingin merasakan dekap kasihnya di kehidupanku. Aku sungguh tak dapat membohongi diriku sendiri, karena kini hatiku yang berbicara. Bukanlah lidah yang tak bertulang ini.
Aku bingung untuk merelakan bunda menikah atau tidak, karena sejujurnya aku masih merindukan suasana penuh kekeluargaan yang hangat antar ayah, ibu, dan aku yang saling bercengrama.
Tuhan, jikalah aku harus menanggung derita ini, tak apa.. asalakan bunda masih mendapatkan kebahagiaan seutuhnya bersama pujaan hatinya. Yang tentunya ia cintai. Tetapi jikalau bunda harus menderita karena aku, aku sungguh tak sanggup melihat linangan air matanya...

Lalu apa yang harus aku pilih ?

Love,
Lita ”

        Itulah isi hatiku yang sesungguhnya. Aku selalu bercerita dengan tulisanku sendiri. Aku merasa pena dan lembaran kertas kini telah menjadi sahabat hidupku. Aku merasa nyaman dan tenang setelah bercengkrama dengan mereka. Dan lama kelamaan hal tersebut memotifasiku untuk terus berkarya menjadi apa yang aku inginkan. Akhirnya malam itu aku dapat tertidur tenang.
        Keesokan harinya, matahari bersinar terang, memancarkan sinar yang sungguh mempesona dan cuacapun semakin bersahabat. Tetapi semuanya berubah ketika ku lihat bunda telah mengenakan sebuah cincin tepat dijari manisnya, ya tuhan apa ini ? apakah mungkin bunda telah menikah dengan lelaki itu ?.
        Lalu, secara tiba-tiba Bunda mendatangiku dan mengelus lembut rambutku sambil berkata. ”Lita, perih memang menerima semua kenyataan ini,  tetapi inilah hidup yang harus kita lalui. Kamu harus menerima kehadiran ayah barumu disampingmu, nak.” ujar bunda yang lagi lagi menitiskan air matanya. Aku menjawab ”bukan perih yang aku rasakan bunda... tetapi sakit hati yang cukup mendalam yang tak akan mungkin aku utarakan lewat kata-kata, Bun.. tetapi jika ini memang pilihan Bunda aku ikhlas menerimanya sebagai Ayahku.” jawabku dengan berusaha membendung genangan air mata yang mulai menitis kepipi mungilku.
        Mungkin inilah takdirku, hidup dengan segala keterbatasanku yang harus menjadi bagian dari relungan ibu dan ayah baruku. Ingin rasanya aku memberontak dan berteriak tetapi apa dayaku ? hanya sepetak kamar kecil yang menjadi tempatku untuk menjerit. Diatas buku harianku tangisku pecah membaur dengan seluruh cerita-cerita kehidupanku. Andai aku dapat merubah segalanya dan andaikan aku dapat memutar waktu yang telah bergulir, ingin rasanya aku memilih untuk hidup ditengah keluarga yang harmonis dan penuh kehangatan. Tetapi cerita kebahagiaanku telah terhempas oleh lelaki yang telah menjadi ayah tiriku. Ia telah merenggut seluruh hidupku yang semakin sirna bagaikan pasir yang terhempas ombak, ayah tiriku rela merenggut hartaku satu-satunya demi kepuasan nafsu birahinya saja. Sungguh cerita yang tak akan mungkin dapat aku utarakan dalam hidupku, terkecuali pada sahabat-sahabatku. Pena dan buku harianku. Tetapi aku yakin semua kisahku pasti akan indah pada waktunya. Seperti rembulan yang bersinar dimalam hari.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar