Jumat, 23 Juli 2010

Cerpen - Sekeping cinta untuk Bunda tersayang


Sekeping cinta untuk bunda tersayang


Aku terdiam bisu penuh keharuan Dibalik kaca ruang tidurku. Menatap seorang wanita yang sedang duduk diam disana. Walaupun kami berbeda tempat namun kami hanyalah berbatasan dengan sepetak kaca, tentu saja aku dapat melihat seluruh gerak-gerik yang dilakukannya. Seharusnya aku dapat membelai dan bercengkrama dengannya.
         Perlahan kucoba pejamkan mataku sejenak. Rasanya perih tiada tara. Tak kuasa aku menjatuhkan butir-butir air dari mataku. Kembali kucoba membuka mataku, kupandangi rautan tatap mata darinya yang sungguh kosong, bibirnya terbungkam bisu tiada berkata, hanya terdiam terpaku pada sebuah kursi dengan pakaian yang kotor, kumal, dan terlihat bau.
        Kembali kuamati wajahnya, rambutnya merah menampakkan kekumalan, raut wajahnya terlihat lebih tua dari pada usia yang sesungguhnya. Mungkin banyak orang yang berpendapat ia sangat buruk . Apa yang ada dibenakku sekarang, tidaklah menampakkan pikiran apapun. Hanya air mata yang terus menerus membanjiri pelipis mataku ini, entah sampai kapan kesedihan ini akan berlangsung.
        Aku amati wajah yang seharusnya aku belai lembut, tangan yang harusnya aku cium dengan penuh harapan keridhoan, dan tubuh yang seharusnya aku peluk erat, perlahan menatapku dengan kebisuan. Pandangan kami berlabuh.
        Aku semakin tak kuasa menatap wajah penuh kepolosan itu. Detak jantungku semakin menggelegar, rasanya tak kuasa lagi aku berdiri didepannya. Ibarat sebuah balon air yang tertusuk jarum. Pedih, perih, bercampur dalam keharuan. Walupun aku kini sudah menginjak usia remaja, bukan berarti aku tak dapat menangis melihat haru menyelimuti keheningan.
        Aku hanya menggeleng pelan, kulangkahkan kaki dengan cepat menuju kamar mandi. Didepan kaca bening aku curahkan seluruh perasaan yang sedang aku pendam saat ini. Butiran air mata kembali membanjiri pipiku. Ku coba mengusap kesedihanku, kubasuh wajahku dengan air. Segera aku mengambil air wudhu. Kukenakan kain mukena putih. Aku berdoa ”Ya Allah , aku hanya dapat berserah diri kepadamu, aku yakin Engkau tidak akan memberikan cobaan yang melampaui kemampuan umatnya, tak juga masalah yang sedang aku hadapi sekarang.”
***
Cerita ini berlabuh kira-kira sekitar setahun yang lalu. Saat itu kami sekeluarga sedang pergi berlibur ke suatu pedesaan terpencil di Jawa Timur. Kampung Asem Sari namanya. Saat itu Bunda meminta kami untuk berlibur bersama. Kebetulan pada saat itu Bunda baru pulih dari sakitnya. Didalam mobil, bunda sempat bercerita bahwa kampung itu menyimpan sejuta kenangan yang terpendam baginya. Tiada yang mengetahui apa yang dimaksudkan bunda, mungkin hanya ayah, yang hanya tersenyum menyimpan penuh rahasia.
Sesampainya disana kami segera disambut hangat oleh warga kampung sekitar. Malam itu juga kami menginap disalah satu rumah kepala desa. Mereka masih ingat pada bunda, yang dua puluh enam tahun silam pernah menjadi salah satu anggota masyarakat dikampung ini.
Malam ini aku terpaksa tidur berdua dengan adikku diatas sebuah ranjang kecil yang berdenyit ketika aku menaikinya. Sebenarnya ia bukanlah adik kandungku. Kata bunda aku adalah seorang anak adopsi, orang tuaku telah meninggal dunia, entah kapan tepatnya. Itu kata bunda setiap kali aku menanyakan mengapa aku berbeda dengan adikku. Aku memiliki kulit putih, mata yang sipit, serta rambut yang terurai lurus. Sedangkan adikku memiliki kulit berwarna sawo matang, mata yang bulat dan besar, serta rambut yang agak mengikal, persis dengan ayahku.
Namun begitu kenyataannya, ayah dan bunda tidak pernah mempermasalahkan serta membeda-bedakan kami berdua. Mereka bersikap adil satu sama lain. Kami berdua hidup damai, aman, dan tentram dalam asuhan pendidikan yang berkualitas. Apalagi ketika aku berhasil menjadi juara kelas pada saat kenaikan kelas ke kelas 8 kemarin, mereka semua sangat bangga melihatku.
Dengan diawali sarapan pagi, bunda mengajak kami semua untuk berjalan-jalan megitari pantai didekat desa itu. Kata pak kades, jarak dari laut dengan kampung ini hanya bekisar 15 menit jika ditempuh dengan berjalan kaki. Akhirnya kami berjalan bersama-sama menuju pantai tersebut.
Dari rumah kerumah kami lewati, tetapi tiba-tiba bunda menghentikan langkahnya didepan sebuah rumah tua yang sudah rentan dimakan waktu. Banyak lubang dimana-mana, pintunya lapuk dimakan rayap. Dibawah pohon, tampak seorang wanita separuh baya yang sedang duduk termenung sambil memandangi langit biru.
        Kami tersentak kebingungan ketika bunda melangkahkan kakiknya untuk menghampiri wanita separuh baya itu. Dengan perlahan ia duduk didepan wanita itu seraya berkata ”Bunga, kamu masih ingat dengan aku bukan? ” tanya bunda dengan lembut. Wanita itu perlahan mulai menatap kearah bunda, tetapi ia hanya terdiam seribu kata.
        Entah mengapa seketika jantungku berdetak keras, seperti aku telah memiliki ikatan batin yang kuat dengannya, tetapi aku berpikir itu hanya kebetulan saja atau mungkin karena rasa ketakutanku melihatnya, lagi pula aku tidak mengenal wanita separuh baya tersebut.
        Setelah cukup lama, akhirnya kami kembali melanjutkan perjalanan bersama. Keheningan menyelimuti langkah kami, entah mengapa sejak bertemu dengan wanita misterius tadi bunda hanya terdiam bisu. ”Sebenarnya siapa wanita tadi ? mengapa bunda begitu bersedih setelah bertemu dengannya ?” pendamku dalam hati. Tidak ada seorangpun yang berani berkata-kata, mereka hanya diam, begitupun aku.
        Akhirnya, deburan ombak yang menabrak bebatuan menyapa kami. Rasanya indah dan damai sekali. Tanpa menunggu lama lagi aku dan adikku segera berenang diantara deburan ombak yang menyapa lembut kami. Kami bersenang senang, hanya bunda yang terdiam dengan isak tangis dipelukan ayah. Kami bungkam melihatnya, hanya senyuman yang dapat kami tunjukan kepada bunda.
        Hari kedua dan ketiga kami lalui disana. Dan pada hari yang keempat ini, bunda kembali mengajakku menuju pantai, tetapi kali ini hanya berdua. Kami pun berangkat menuju pantai. Kali ini kami kembali melewati rumah misterius itu, tidak dipungkiri lagi seorang wanita kembali terlihat sedang duduk dibawah pohon yang rindang sambil memeluk erat sebuah boneka yang terlihat kusam. Tetapi kali ini bunda hanya diam sambil menunduk melewatinya.
        Sesampainya dipantai, bunda segera membuka perbekalan makanan yang dibawanya dari rumah. Kami segera menyantap makanan tersebut dengan lahapnya. Kami bercengkerama penuh kebahagian sehinga aku hampir tidak sadar kalau bunda mulai membicarakan wanita misterius itu. Aku memberanikan diri untuk bertanya ”Mengapa bun, dari tadi bunda terlihat resah ?” tanyaku pelan. Bunda hanya tersenyum lalu menghela nafas. Lama kami berdua mengobrol kesana kemari.
        ”Kakak sayang, kini kamu telah beranjak remaja, sudah seharusnya kamu mengetahui kenyataan yang sebenarnya ” jelas bunda sambil mengelus pipiku. Tatapannya sungguh menyakinkan, menyimpan sejuta kata yang tersimpan dalam memorinya. ”Kenyataan apa bun ?” tanya ku dengan penasaran. Kini bunda menatap hamparan laut yang berada didepan kami.
        ”Duapuluh enam tahun silam, ketika bunda pertama kali melewati desa ini kerena ada tugas kuliah yang mengharuskan bunda dan kawan-kawan melakukan penelitian terhadap penduduk di desa ini. Waktu itu wanita tersebut tidak seperti sekarang, ia masih remaja, wajahnya sungguh anggun mempesona, banyak lelaki yang terpikat olehnya. Karena selain cantik ia juga dikenal sebagai gadis yang ramah dan mudah bergaul dengan siapa saja. Perjalanan hidupnya, sangat sengsara. Setelah kedua orang tuanya meninggal di Kota Ambon karena terjadi kerusuhan, wanita itu di bawa oleh salah satu penduduk yang menyelamatkan diri. Hingga mengembara di desa ini. Hidupnya dari rumah ke rumah, sambil membantu mereka bekerja, demi sesuap nasi. Dan di usia yang relative muda, ia terpaksa putus sekolah. Bunda mengawali ceritanya. Dan aku mendengarkan cerita itu dengan perasaan miris dalam dada.
        ”Suatu malam, dikampung sebelah desa ini, sedang mengadakan acara. Kebetulan sekali ada sebuah pertunjukkan kesenian Ketoprak. Para warga pun berbondong-bondong ingin menghadiri acara tersebut. Termasuk Bunga, ia pergi bersama rombongan anak-anak sebayanya. Malam semakin larut, dan orang-orang makin asyik menyaksikan kesenian ketoprak tersebut, sehingga lupa pada kawan-kawan rombongannya. Setelah Ketoprak selesai, orang-orang sibuk mencari rombongan masing-masing. Semua ada, namun hanya Bunga yang tak kelihatan. Dan akhirnya, rombongan pun pulang.
        Untuk kembali pulang ke rumah, warga harus menempuh jarak yang cukup jauh, belum lagi terhalang oleh penerangan yang masih sangat minim. Mereka berjalan beriringan melalui jalanan sempit di tengah ladang. Dan pada saat yang tiada terduga, seorang warga tak sengaja menginjak tubuh manusia. Orang itu menjerit ketakutan. Dan saat salah satu warga mencoba melihat tubuh manusia tersebut, alangkah terkejutnya mereka semua. Tubuh manusia itu adalah Bunga. Ia pingsan di tepian ladang, dengan badan penuh lebam. Mengenaskan !, karena tak selembar kain pun yang membalut tubuhnya.” Bunda diam sejenak. Ia menghela nafas. Dan aku semakin hanyut dalam cerita bunda.
        Orang-orang kampung gempar dengan kabar tersebut. Belum lagi Bunga yang diasingkan dari masyarakat sekitar, karena kini dirinya dikabarkan sedang mengandung, sehingga ia menjadi stres. Bunga hanya dekat dengan bunda, bunda selalu berusaha menenangkannya. Tetapi dilain pihak bunda harus melanjutkan pendidikan bunda di kota. Bunda tidak dapat terlalu lama didesa ini, akhirnya bunda menitipkan Bunga kepada salah seorang tetangga Bunga. Bunda berjanji akan selalu menengok dan mengirimkan uang kepada bunga.
        Namun sayang setelah bunda kembali kekota, kadaan bunga justru semakin memperihatinkan, sehingga mengharuskan bunda untuk kembali kekampung ini. Bunda mengambil cuti kuliah selama tiga bulan untuk menemani bunga sampai ia melahirkan anaknya itu. Dan selama itu pula bunda menjadi bagian dari kampung ini.
        Akhirnya saat yang ditunggu pun tiba, bunga melahirkan anak perempuan yang sangat lucu. Bunda dan pak kades mengurus seluruh surat-surat bayi tersebut. Dan bunga menyerahkan bayi itu kepada bunda untuk bunda rawat dan bunda besarkan dengan baik” disini bunda meneteskan air mata begitu deras.
        “Nak, maafkan bunda. Karena bunda tak mampu menyelamatkan wanita tersebut. Bunda tak mampu memaksa wanita itu untuk tinggal bersamaku ke kota. Namun Bunda berjanji akan merawat anaknya, dan akan membuatnya sembuh kelak.” ”Maksud bunda apa?” tanyaku sambil memotong perkataan bunda”. Sambil menyeka air matanya, bibirnya bergetar, wajahnya menjadi pucat seketika.  Lalu ia segera memelukku dengan erat. Akupun semakin bingung dibuatnya.
        ”Nak, maaf kan bunda... anak yang bunda maksudkan adalah kamu” ucapnya sambil mempererat pelukannya kepadaku. ”ya ALLAH,... ” aku bagaikan dibakar diatas api unggun yang amat teramat panas disiang hari. Aku menggeleng seraya berkata ”Tiiiddaaaaaaak.. !” badanku bergetar, mataku tak dapat menghentikan deraian air mata. ”Maafkan bunda nak, maafkan bunda...” tangis kami semakin pecah dan menggelegar. Hamparan laut luas didepan kami telah menjadi saksi bisu kenyataan pahit ini. ”Tidak bundaaa... !” aku perlahan menjauh dari bunda dan lari meninggalkannya sendiri.
        Sampai pada akhirnya, aku pergi dari kampung itu, aku mengelana entah kemana. Perasaan bingung akan apa yang harus aku lakukan begitu menyelimuti perasaanku. Rasa lapar, sakit, dan ketidak percayaaan tidak aku pedulikan hingga akhirnya aku tak sadarkan diri didepan sebuah pertokoan dipinggir jalan.
        Entah berapa lama aku tak sadarkan diri, aku tersadar ketika seorang pemuda memebangunkanku dan membawaku kerumahnya. Disana aku menceritakan semua tentang apa yang telah aku lalui. Ia kembali menyadarkan aku tentang betapa sulitnya kehidupan didunia ini. Alhamdulillah, aku kembali tersadar akan apa yang sedang ku jalani dikehidupanku. Aku kembali kekampung itu dan aku membujuk wanita separuh baya yang tak lain adalah ibuku sendiri tersebut untuk pulang bersamaku. Dengan bantuan, ayah dan bunda.. ia akhirnya mau untuk tinggal bersama kami dikota. Terima kasih ya ALLAH...

***
        Setelah lama aku tinggalkan wanita tua tersebut dikamarku. Kembali kucoba menyapanya. Kali ini niatku telah bulat, aku harus dapat merawat dan menyembuhkan wanita yang telah melahirkan aku kedunia ini. Tanpa kehadirannya mungkin aku tidak dapat hadir dalam gemerlap dunia ini.
        Kulangkahkan kaki menuju ruangan itu, terlihat beliau tengah menyeka air mata dengan baju lusuhnya. Aku terperanjat seketika, menatap perilaku nya. Kudekati dirinya, lalu kupeluk tubuhnya.

“Bunda, jangan menangis. Apapun adanya dirimu, aku akan selalu bersamamu” batinku. Wanita itu mulai menggerakkan bibir, lalu perlahan berkata, “dimana anakku, aku rindu akan kehadirannya” ucap wanita itu disela tangisnya.

”oh, bunda... aku disini, aku adalah anakmu... maafkan aku selama ini bunda ” aku langsung memeluk erat tubuhnya... ”bunda aku disinii.. ”.
        Bunda menatapku "benarkah engkau adalah anakku ?" tannya Beliau dengan mata yang berkaca-kaca."Bunda... aku adalah anak Bunda, maafkan aku Bun, selama ini aku tidak menyadari keberadaanmu". air mata kami kembali bertumbah ruah, tak kusangka selama ini sosok seorang Ibu yang telah melahirkan aku kedunia ini, kini berada tepat didepanku"batinku dalam hati".
        Hari-hari kami lalui bersama dengan penuh kebahagiaan, karena kini Bunda telah mampu mengobati traumanya dimasa lalu.Ya Allah, terima kasih Engkau telah mendengar doaku. Kenangan ini terlalu manis untuk kami lalui bersama.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar