Jumat, 14 Mei 2010

cerpen - selamat jalan ayah



Selamat Jalan Ayah...

        Woouaaah.... kantukku, mendengar jam beker yang terus menerus berdering, rasanya aku masih ingin melanjutkan bunga tidurku. Setelah aku bangun, segera kubuka jendela yang tepat berada disudut kamarku. Kulihat pagi ini langit begitu cerah, terlihat tetes-tetes air embun membasahi daun dan ranting pohon cemara didepan rumahku.
        Hari ini hari minggu tepatnya tanggal 5 juni, aku langsung tersentak karena aku baru ingat kalau hari ini adalah hari ulang tahun ayahku. Akupun langsung bergegas mandi dan melihat keruang makan, biasanya ibu memasak makanan yang spesial untuk  hari yang spesial, apa lagi hari ini adalah hari ulang tahun ayah. Namun, setelah kubuka tudung meja makan, mataku hanya tertuju pada sepiring nasi putih, tak ada lauk pauk atau makanan yang biasanya Ibu sajikan untuk aku dan Ayah.
        Akupun bingung karena pagi itu rumahku benar-benar sangat sepi, tidak ada aktifitas sama sekali. Yang terdengar hanya kicauan burung-burung yang sedang bertengger didepan rumahku.
Aku yang kebingungan, langsung memanggil nama ibuku ”bu..bu.. ? ibu dimana ?” tanyaku dengan suara lantang. Tetapi tidak ada jawaban sama sekali. tanpa berpikir panjang lagi aku langsung bergagas menuju kerumah tetanggaku, karena aku berpikir ibu ada disana.
        Sesampainya didepan rumah tetanggaku, aku langsung disambut dengan tangisan duka Bu Eka. Aku bergegas bertanya kepadanya ”bu eka, mengapa menangis ? begini bu, aku ingin menanyakan apakah ibu melihat ibuku ?”. lalu bu eka langsung menjawab pertanyaanku sambil tersedu-sedu ” nak, ayahmu mengalami kecelakaan sewaktu ingin pergi membeli obat untuk ibumu. Ia tewas seketika dan sekarang ibumu masih dirumah sakit untuk mengurus jenazah ayahmu”. Aku yang mendengar perkataan bu eka serentak meneteskan air mata dan seolah-olah tidak pernah menyadari apa yang baru saja ibu eka katakan, aku segera menjerit histeris dan seketika akupun langsung tak sadarkan diri.
        Entah berapa lama aku tak sadarkan diri, aku terbangun dan aku segera keluar dari kamar. Kulihat para tetangga serta seluruh kerabat dekat dari keluargaku tengah berkumpul menyambut kedatangan jenazah ayahku, Tak sengaja pula aku mendengar tangisan yang begitu memilukan hatiku, aku tahu kini ayah telah pergi meninggalkan aku beserta ibuku sendirian. Tapi, aku juga harus mengetahui satu hal, bahwa aku tak boleh menitiskan airmata didepan ibuku yang sedang berduka, aku harus berusaha tegar menerima semua ini, walau rasanya sakit sekali untuk menahannya.
        Akhirnya kucoba memberanikan diri untuk membuka kain putih nan tipis yang menyelimuti kepala ayahku yang telah terbujur kaku, kupandangi wajahnya yang begitu pucat, bibirnya  yang memancarkan penderitaan, serta matanya yang terpejam penuh keharuan. Tak mungkin aku dapat menahan air mataku yang segera membanjiri pelipis pipiku, tetapi disisi lain aku melihat ibu yang tak henti-hentinya menitiskan air mata. Aku bingung, apa yang harus aku lakukan disaat semua orang sedang mendoakan jenazah ayahku. Rasa bingungku terus melonjak, sampai-sampai aku kembali taksadarkan diri.
        dalam dunia mayaku aku bermimpi bertemu kembali dengan ayah. Ayah berkta kepadaku ”nak kamu harus dapat menjaga ibumu ya, ayah hanya pergi sementara, esok bila waktunya tiba kita pasti akan kembali berjumpa dan kita dapat berkumpul kembali seperti sedia kala. Ayah yakin kamu adalah anak yang pandai, kejarlah terus impianmu sejauh mungkin. jangan biarkan kesedihanmu menghapus seluruh impianmu tersebut, walalupun tanpa ayah ”. Disana aku ingin memeluk ayahku tetapi tiba-tiba ayah menghilang dan aku seketika merasakan tetesan airmata dari ibuku yang begitu mengkhawatirkan diriku.
***
        Setelah beberapa bulan dari kepergian ayah, barulah aku menyadari bahwa diriku masih membutuhkan figur seorang ayah yang dapat memberikanku semangat untuk terus berjuang demi ibu. Hari-hari pun kulalui bersama ibuku seorang, kami berdua hidup berkekurangan, bahkan ibu rela menjadi seorang buruh cuci pakaian demi membiayai sekolahku yang telah menunggak tiga bulan. Rasanya aku ingin membantu ibu tetapi, ibu sama sekali tidak memperbolehkan aku untuk membantunya. ”nak, biarkan ibu bekerja seorang diri, tak apa nak... Sa, boleh ibu meminta satu hal darimu ?”. ”tapi bu.. itu terlalu berat untuk ibu lakukan sendiri. Apa yang ibu inginkan ?” ujarku. ”nak, kamu harus berjanji kalau kelak kamu dapat menjadi orang yang berhasil dan dapat membanggakan ayahmu disana. Kamu mau berjanji demi ibu ?”. aku mengaangguk pelan, aku terharu dengan kerja keras ibu selama ini hanya demi aku seorang.
        Seandainya ayah masih ada bersama kami, aku ingin membahagiankannya. Aku ingin mempersembahkan piala sekaligus mendali emas yang kudapatkan pada waktu aku mengikuti lomba jurnalistik di jakarta kemarin, ingin rasanya melihatnya bangga kepadaku, melihat senyuman penuh kasihnya, dan tatapan penuh cinta kepadaku. Tapi aku yakin walaupun kini ayah telah tiada dan kini kami harus bekerja keras demi menyambung hidup, aku tetap yakin kalau ayah bangga padaku.
        Sebelumnya ayahku adalah seorang penulis yang terkenal, hasil goresan penanya terkenal sampai ke mancanegara. Aku sungguh bangga kepadanya. Karena aku melihat kegigihan ayahku untuk terus menulis dan terus berlatih keras, aku juga memiliki tekat untuk menjadi penerus ayahku. Aku berjanji kelak jika aku telah dewasa aku pasti dapat menjadi kebanggaan untuk ayah, walaupun tak mudah untuk menggoreskan pena diatas serpihan kertas putih, tapi aku yakin jika aku terus berlatih dan bekerja keras, aku dapat menggapai anganku dan dapat membanggakan ayah...
Selamat jalan ayah, do’a ku akan selalu menyertaimu. Terimakasih yang sebesar-besarnya aku tujukan kepadamu... berkat dirimu aku dapat belajar bagaimana kerasnya kehidupan. Selalu yah dan selalu.. aku menantikan keadaanmu dalam hatiku, walaupun kini kita telah berpisah untuk selamanya.. aku percaya kasih sayangmu ayah...
Selamat jalan ayah...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar