Jumat, 14 Mei 2010

cerpen - kenangan dari bunda

Kenangan Dari Bunda


        Ibu, sungguh kata yang tidak asing lagi ditelinga semua orang. Tetapi setiap kali aku mendengar kata tersebut ditelingaku, serentak pikiran ku melayang membayangkan bila saat ini ibuku masih menemaniku, dan air mataku langsung membasahi pelepih mataku. Aku sudah tak lagi memiliki sosok yg bernama ibu. Ibuku telah meninggal dunia sekitar dua tahun yang lalu.
        Sesungguhnya hatiku benar-benar pilu ketika aku mengingat-ingat kembali kenanganku bersama ibuku dulu. ”andaikan aku masih memiliki seorang ibu .. ” ujar ku berharap . Sesungguhnya aku tak sanggup bila hidup seperti ini, tetapi disamping itu aku juga masih memiliki tanggung jawab yang masih sangat besar kepada kedua orang adikku yang masih sangat kecil, aku tak mau mereka mengetahui kalau aku menangis. Aku tak mau mereka berpikir bahwa kakak nya adalah seseorang yang lemah.
        Aku masih ingat saat saat dimana Bunda sedang berusaha melawan penyakitnya. Aku sempat berbincang bersama dengan Bunda. ”Nur, bunda yakin kamu adalah anak yang baik. Bunda yakin kamu pasti dapat mengantikan Bunda menjaga kedua adikmu. Ingat nak, jika Bunda pergi nanti, rawat mereka dengan sebaik-baiknya ya nak.. ” ujar bunda terbata-bata. ”Bun.. Bunda harus bertahan, aku yakin bunda pasti bisa bertahan. Adik-adik masih sangat membutuhkan Bunda, mereka masih kecil Bun.. Nur mohon bunda untuk kuat” jawabku sambil menitiskan air mata melihat keadaaan Bunda yng semakin memburuk.
        Bunda hanya terdiam dan menggeleng pelan. Ia hanya menitiskan setitis air mata, dan tak kusangka itu adalah air mata terakhir Bunda. ”Buundaaaaaa... ! Bun, Bunda bangun jangan tinggalkan nur disini sendiri Bun....” air mata semakin bertumpah ruah ketika kedua adikku Rina dan Rini melihat Bunda yang telah terbujur kaku tak berdaya. Sepetak kamar tidur telah menjadi sebuah saksi bisu kepergian ibuku.
        Setelah Beberapa tahun setelah kepergian bunda, aku terbawa kesedihanku hingga kealam bawah sadarku.
 Malam itu ketika aku sedang tertidur pulas, tiba-tiba secara serentak aku terbangun, dan menjerit ”Bunda....”. ternyata aku sedang bermimpi ketika aku sedang bermain bersama bunda dan kedua adikku, disana kami sangat bahagia, ibuku tersenyum kepadaku. Pancaran pesona matanya yang begitu mengagumkan mengarah kepadaku. Aku sempat tak percaya kalau kini ibu sudah tiada. Ternyata rasa rinduku kepada ibu sudah tak dapat terbendung lagi.
        Andaikan bunga tidurku itu dapat menjadi sebuah kenyataan, aku masih ingin berkumpul dengannya, merasakan detak jantungnya di telingaku, memeluknya dan mendengarkan nasihat mutiara yang terucap dari bibir manisnya. Aku masih belum siap menerima kenyataan pahit dalam hidupku ini, aku sangat ingin bertemu dengan ibuku lagi. Aku sadar dulu, ketika ia sedang menasihatiku, aku hanya mengabaikan nasihat yang baru kini kurasakan manfaatnya.
        Terbayang indahnya senyuman yang terpancar dari wajahnya yang dibalut oleh kerudung yang indah mempesona. Tatapan wajah yang begitu suci mengarah kewajahku. Tetapi inilah kenyataan hidup yang harus ku terima, aku sudah tak memiliki seorang ibu yang dapat mamanjakan aku dan kedua adikku lagi. Dapat menjaga kami dikala kami sakit, ia akan selalu menjaga kami sepanjang malam sampai kami merasa lebih baik.
        Menurutku, ibu adalah sosok seorang wanita yang paling mulia dimuka bumi ini. Kasih dan sayangnya rela diberikan untuk buah hati tercintanya. Kasih sayangnya tidak akan pernah sirna oleh waktu, ketulusan hatinya dapat menembus langit ketujuh. Dan pengorbanan dirinya melebihi apapun yang ada dimuka bumi ini.
        Hanya dari album biru yang telah usang, aku dan kedua adikku hanya bisa mengenang kembali masa-masa indah yang pernah kami lalui bersama dengan penuh duka cita. Adikku pernah berkata ”kak, bunda kenapa nggak pernah main sama rini lagi ?” ujarnya dengan penuh kepolosan. Aku hanya dapat menjawab ”rini sayang, kamu sabar ya.. kakak yakin suatu saat kita pasti dapat berkumpul kembali dengan bunda... sekrang, bunda sudah menyusul ayah, mereka berdua telah tenang disana”. Jawabku sambil termenggu. Aku tahu sesungguhnya adik-adikku sangat merindukan sosok bunda. Sama sepertiku. Tapi apa yang dapat aku perbuat demi mereka.
        Andaikan waktu dapat diputar kembali, aku sangat merindukan masa-masa dimana kami berkumpul dan mencurahkan isi hati dan pikiran bersama. Sungguh indahnya saat itu, kata-kata indah akan selalu menyelimuti telinga kami. Bisikan dari bibirnya masih benar-benar terngiang ditelingaku. Sungguh masa-masa yang indah.
        Tetapi aku harus kuat dan percaya bahwa sesunguhnya ibu masih menyayangi kami semua dengan segala sifat kerendahan hatinya. Kini aku berusia 12 tahun, itu mengartikan bahwa kini aku sudah mulai beranjak dewasa. Aku bukanlah anak kecil yang lemah dan manja. Aku dapat belajar menghargai semua jeri payah yang telah diberikan Bunda kepada kami. Aku harus terus berjuang menghadapi cobaan yang selalu datang silir berganti kepadaku dan adik-adikku.
        Seandainya ibu mendengarku aku ingin berkata ”bunda, aku sangat mencintaimu melebihi apapun yang ada didunia ini, tetapi mengapa kau pergi begitu cepat dariku, aku belum sempat membahagiakan dirimu. Aku ingin menjadi yang terbaik dan dapat menjadi kebanggaanmu dalam setiap hal yang aku lakukan. Walaupun aku harus bekerja keras demi menghidupi kedua adikku, aku tak akan menyerah bun.. aku akan selalu meminta ridho darimu dalam setiap jalan yang akan ku ambil, walau kau kini telah tiada.”
        Walau kini kita tak bersama, aku akan selalu mencoba membanggakanmu, aku berjanji, aku akan menjadikan adik-adikku menjadi anak yang soleh dan solehah serta dapat berguna bagi bangsa dan negaranya kelak. Aku akan terus berusaha menghidupi mereka, walaupun aku harus menahan rasa lapar yang begitu menusuk kalbuku, aku rela mencurahnkan segalanya yang ada pada diriku untuk membahagiakan mereka. Aku akan menjadi seorang kakak yang baik untuk adik-adikku. Aku berjanji padamu, Bunda...
        

1 komentar: