Selasa, 14 Juni 2011

Cerpen-My Secret Admirer, I’m in love !

Mentari sore semakin menjauh dan terbenam di ufuk timur. Warna-warni aurora yang berpadu ria dengan sinar jingga keemasan seolah-olah bermain sambil menari diangkasa luas. Indah sekali. sekali lagi, kupejamkan kedua mataku, kuhirup perlahan udara disekitar taman ini. begitu damai dan indah. Rasanya tak hendak aku berpijak meninggalakn surga dunia ini.
          Aku biasa duduk dibangku taman ini setiap sore sekedar untuk melihat matahari terbenam atapun melepaskan gundah bila aku sedang bermasalah. Daerah disekitar taman ini memang menyerupai bukit, sehingga pemandangannya sangat menakjubkan. Terlebih lagi bila menjelang petang seperti sekarang ini. sebenarnya, taman ini atau lebih tepatnya kursi ditaman ini adalah tempat kenangan yang terindah bagiku. Dulu, aku dan kekasihku biasa duduk ditaman yang indah ini. namun kini… ia tak lagi bisa menemaniku.
          Kubuka perlahan kelopak mataku, kuraih tas merah muda yang berhiaskan lukisan sulur dan bunga sebagi pemanis. Kuraih sebuah kotak dari dalamnya. Ini untuk yang kesekian kalinya aku mendapatkan sekotak coklat dari orang yang aku sendiri tak tahu siapa. Setiap hari, sekotak coklat dan puisi menunggu didepan kamar kosku. Sipengirim hanya membubuhi inisial S.A. didalamnya.
***
Jika egkau tertawa
Dunia seakan berhenti berputar untukku
Jika enggau tersenyum
Dunia seakan memberikan kecupan untukku
Jika engkau adalah mawar
Engkau adalah mawar yang tak berduri
Kau begitu indah dan tak terganti
Begitu manis dan tak akan melukai hatiku dengan durimu.
Yours,
S.A.
“gimana Ar, romantis banget kan puisinya ?” tanyaku pada Ari, sahabatku.
“ah, angga juga ah. Bagusan puisi buatanku malah,”
“ah kamu ini Ar. Kamu sendiri aja ga bisa kan bikinnya ? atauuu.. kamu iri ya sama S.A. soalnya dia pinter banget bikin puisi. Makanya kamu bilang puisinya biasa aja hahaa..hayo ngaku… ?” ledekku.
          “took!” sebuah gumpalan tangan mendarat dikepalaku. “siapa juga yang iri sama si S.A.-mu  itu hahaa.. dasar peri bunga ! udah ah, pulang yuk..”
          Aish ! dasar, udah jitok kepala orang semaunya, eh sekarang malah ngejek. Tapi tak apalah, justru hal ini yang aku suka darinya. Walaupun candaannya terkadang tidak lucu dan malah sebaliknya, menyakitkan.
Aku bertemu Ari di tahun pertama sewaktu SMP. Yang mempertemukan kami adalah selera musik kami sama : Super Junior, SNSD, TVXQ, Shinee, T-Max,  dan sejenisnya. Ari orang yang istimewa. Dia manis, menawan, kurus, dengan tinggi menjulang, berkulit bersih, sedikit bau—bau lelaki— cowok brilliant seandainya dia mau rajin belajar sedikit saja, lembut hati, tergila-gila pada sastra, penulis lagu, pemusik yang bisa diandalkan—dia pernah menunjukkan beberapa demo lagunya, dan kupikir itu manis, meski banyak umpatan dalam lagunya yang kebanyakan tentang protes sosial—, dan dia pencinta K-pop sejati. Dialah sahabatku yang selalu menghiburku sejak kepergian Doni, kekasihku yang meninggal 2 tahun yang lalu. Doni mengalami kecelakaan motor ketika ia hendak menjemputku dimalam itu. Sejak itu aku mengalami trauma berat, aku tak mau bertemu dengan lelaki, tak pandang siapa. Tapi untunglah Ari selalu ada untukku sampai akhirnya aku bisa bangkit kembali.
                                                          ***
          Pagi ini ketika mentari belum juga datang memperlihatkan sinar keagungannya, aku telah terbangun. Sengaja ingin melihat apakah S.A. sudah kembali meletakkan hadiah dan Puisi cintanya didepan pintu kamarku.
          Sudah ada ! tapi.. kali ini berbeda. Ia tidak mengirimkan sekotak coklat seperti bisanya, kali ini ia mengirimkanku setangkai mawar merah dan surat yang terikat ditangkainya. Kuambil segera. Aneh, mengapa bunga mawar ini tak berduri ? sepetinya S.A. sengaja memotong duri-durinya. Tapi.. untuk apa ?
Bunga yang tak berduri,
Sama seperti hatimu. Indah dan tak tajam.
Aku akan menemuimu hari ini.tunggu aku di depan gerbang sekolahmu sepulang sekolah.
Yours,
S.A
          Menemuiku ? akhirnya, setelah sekian lama, aku dapat bertemu dengannya, sang S.A. alias si Secret Admirer.
***
          “kriiiiiiing..” bel panjang sekolah telah dibunyikan. Aku akan bertemu S.A. Sebelum pergi menuju gerbang sekolah, ku ajak Ari untuk menemaniku, namun ia menyangkal untuk ikut. Katanya ia ada les pelajaran tambahan diluar. Yah baiklah, kulangkahkan kakiku dengan cepat menuju kearah gerbang sekolah. Suasana sudah tak bergitu ramai, soalnya jam pulang sekolah telah lewat 15 menit yang lalu. mungkin aku sedikit terlambat soalnya aku ingin tampil sempurna di hadapan S.A. jadi, kuhabiskan waktu untuk berlanggak lenggok didepan kaca toilet.
          Terlihat sesosok lelaki berbadan tegap dan tinggi, dengan jaket yang menutupi sebagian tubuhnya. Kudekati lelaki itu.
 “hai” sapanya.
Mataku tak berkedip memandangnya, perlahan air mata mengalir dari pelipis mataku. Bukan, ini bukan butir kesedihan, tapi butir kebahagiaan, butir kemenangan hati. Ia memeluk tubuhku yang seakan tak berdaya dihadapannya. Ia adalah… Ari. sahabat karibku yang telah memberikan aku nyawa untuk bisa berpijak dibumi ini.
          Kami berpeluk erat seakan tak ingin berpisah. Hangat dan nyaman.
“mengata kau tak bilang dari dulu ?”
“aku senang melihat senyum dan semangatmu bisa kembali setelah kepergian Doni. Aku senang engaku bisa tertawa dan bahagia kembali setelah menerima dan membaca puisi dari S.A. aku tak ingin kau terus larut dalam kesedihan. ”
“tapi… kenapa tidak kaku katakan yang sejujurnya ?”
“aku telah mengatakan yang sejujurnya disetiap bingkisan puisi yang kukirimkan untukmu, peri bungaku yang tak berberduri. Aku adalah Satria Aristianto”   
***
          Luka itu telah kering. Kini aku tak perlu bersedih lagi. Seseorang telah mengisi lembaran hidupku yang baru. Ya, sahabatku adalah kekasihku sendiri.
          Kini, bangku ditaman ini tak lagi kosong. Seorang  peri bunga dan pangeran matahari telah mengisinya. 
“Rin, udah liat madding belom ?” tanya Sisi teman sebangkuku.
“belom, gw kan ga hobi ngeliat madding-mading gitu. Memang ada apaan sih, Si ? kok kayanya lo antusias banget ?”
“ada lomba membuat naskah Film Indie lho, Rin. lo ikut gih, bukannya lo hobi nulis-nulis cerpen gitu ? yah, iseng-iseng aja Rin”
“tapi gw kan ga suk..” belum sempat aku melanjutkan kalimat, Sisi telah menempelkan jari telunjuknya didepan bibirku.
“sssst.. lo pasti bisa ! ka nada si.. itu tu..” ujarnya sambil melirik kearah pintu kelas.
          Ku ikuti arah bola mata Sisi. Rupanya Ari tengah bediri disana.
“males ah ! ngapain juga ikut acara kaya gitu ? Gw kesana dulu ya..” balasku.  Aku melangkah menuju Ari. “aku tunggu kamu di taman sepulang sekolah.”katanya singkat. Sesingkat itu kah ? ada apa dengannya hari ini ?
***
“rin, bila suatu saat nanti aku harus pergi apa yang akan kamu lakukan ?” cakap Ari sembari memandang lurus kerah bola mataku. Ya, tepat dimatik mataku.
“maksudmu ? tentu saja ku akan mencegahmu.” Jawabku singkat
“lalu, bila aku tak kembali, apa kau akan tetap menantiku ataukah kau akan mencari penggantiku ?” ujarnya. Perkataan semakin mengada-ngada dan aneh. Ada apa dengannya ?
“penggantimu ? tidak lagi ! aku akan menantimu. Cukup sudah aku kehilangan orang yang sangat aku sayangi, tak akan mau aku mengulanginya,”
          Perlahan air mata itu mulai mengalir dari matanya. Ia terlihat bimbang. Lalu, kurengguh tangannya.
“ada apa ? bicaralah.. aku disini..”
          Ia tak menjawab. “aku mencintaimu, peri bungaku” lantangnya, kemudian ia memelukku, mencium keninggku, lalu pergi menjauh. Ku tahan dirinya, namun sia-sia, kekuatanku sangat lemah disbanding dengannya. Ada apa ini ? apa yang terjadi dengan Ari ?
***
Keesokan harinya…
          Ari tak masuk sekolah. Kucoba mencari tahu kekelasnya dan semua temannya tak tahu menahu mengapa Ari tak masuk hari ini. kucoba mengontaknya, namun ponselnya tak aktif.
          Sepulang sekolah, aku tak pulang ke rumah kosku. Hari ini aku pulang ke Apartemen Papaku karena hari ini Papa pulang dari London. Sesampainya aku di apartemen Papa, Papa terlihat telah menungguku dengan geram didepan pintu.
“ada apa, Pa ?”
“Ari.”
“Ari ? papa tau Ari dari mana ? kenap dengan Ari,Pa ? “
“jauhin dia sekarang !”
“ga ! Ga mungkin ! Pa…kami saling mencintai !”
“lupakan ! itu Cuma mimpi ! kalian ga boleh bersatu !”
Papa terdiam sejenak. Wajahnya terlihat begitu muram, binggung, dan marah. Kuhampiri dirinya yang kini tengah duduk disofa ruang tamu.
“Papa telah menikah dengan tante Vivi. Kamu sudah mengenalnya kan ?”.
Aku hanya mengangguk mendengarnya. Setelah kepergiaan mama, papa memang sangat dekat dengan tante Vivi, rekan kerjanya di London. Tak heran jika kini mereka telah menikah dan membina rumah tangga yang baru. Tante Vivi sendiri adalah seorang janda beranak 2. Kata Papa, anak pertama Tante Vivi tinggal di Indonesia dan bersekolah di sekolah yang sama denganku. Tapi aku tak mengenal anak tante Vivi tersebut.
“ Ari adalah anak dari tante Vivi” kata papa.
“tapi Pa, kami bukan saudara kandung. Berarti kami boleh menjalin hubungan !” jawabku geram.
“Tidak ! jauhi dia ! kalian kakak-adik. Tak sepantasnya kalian berpacaran !”
          Luka itu kembali terbuka. Aku hanya diam. Diam seribu bahasa. Hanya air mata dan air mata yang mewakili perasaan ini. ingin rasanya ku turut larut besamanya. Namun, aku tak bedaya. Aku sungguh kecewa ! mengapa semua ini harus diberikan Tuhan kepadaku ?
***
Hari ini, hari minggu. Aku sengaja pergi ke taman seperti biasanya. Air mata ini tak terbendung lagi. Mengalir deras bukan main. Sang menatri sepertinya tak hendak memberikan sinarnya setitikpun untuk hatiku yang kelam ini. Kini bangku ini kembali kosong, sang pangeran mentari tak lagi menemaniku. Kembali terputar dimemori otakku, kata-kata keji yang baru tadi pagi kudengar dari bibir Papa.
          Terhitung sudah 1 minggu berlalu. Ari tak masuk sekolah, ponselnya mati, ia tidak pernah pulang kerumahnya, kami lost contact. Tuhan, mengapa jantungku berdebar seperti ini ?
           “Ari meninggal, ia bunuh diri dikamarnya”. Tak ada kata yang hendak terucap, tak ada ekpresi yang hentak tergambar, tak ada gerak yang hendak melawan. Tubuh ini rasanya tak sanggup berdiri tegak setelah mendengar kata-kata keji itu. Tuhan, apa salahku ? mengapa enggau ambil Ari ? tak cukupkah Engkau telah mengambil Doni dariku ? mengapa Engaku juga merebut Ari dari sisiku ? Tuhan, apa dosaku ? apa aku tak pantas bahagia ?
          Papa berusaha menenangkan Tante Vivi yang menangis tersedu-sedu dipundaknya. Ari bunuh diri karena depresi. Ia sangat shock ketika Mamanya memberitahukan bahwa kami tak bisa bersatu. Mamanya melarang Ari untuk berhubungan lagi denganku. Itulah sebabnya beberapa hari yang lalu aku dan Ari lost contact. Dan sekarang ia telah pergi. Pergi meninggalkan aku sendiri disini.
***
          Tidak ! tidak akan ! aku tidak akan sanggup menghantarkan Ari sampai keperistirahatannya yang terakhir. Aku memilih berdiam diri ditaman ini dengan sepucuk surat yang tergenggam kuat oleh jemariku. Ini adalah surat yang dititipkan Ari untukku sebelum kepergiannya. Ada bercak darah disana. Kubuka, dan kubaca..
Dear, Peri bungaku, Rinda
          aku sakit. aku tak sanggup berpisah denganmu. Aku tak mau berhenti melihat senyummu. Jangan menangis. Jangan menangis, aku taksanggup melihatnya. Tolong, hentikan sekarang.
          Rinda, mencintaimu adalah sebuah anugerah bagiku. Mengukir senyum diwajahmu adalah sebuah kepuasan bagiku.
          Aku hanya ingin melihat senyummu disaat aku pergi. Aku hanya ingin melihat engkau menjadi sosok yang tegar. Jangan tangisi jika aku pergi. Antarlah aku pergi dengan ke ikhlasan. Biarkan aku bahagia disana. Walau kutahu lautan air mata akan tercipta seketika, ketika aku pergi nanti. Tersenyumlah peri bungaku tercinta.. aku menyayangimu..
Yours,
S.A. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar