Kamis, 09 Juni 2011

Cerpen-Mawar layu yang tak berputik


Disetiap siang, aku hanya duduk terdiam tanpa sepatah katapun. Tak juga seorang teman. Mencoba mengukir senyum dan keramahan disetiap ada yang mendekatiku. Bagai bunga mawar yang telah layu, aku selalu mencoba tetap mengembangkan kelopakku yang telah layu dimakan waktu. Berusaha agar seoekor kupu-kupu mau mendekatiku.

Dikala para lebah dan kupu-kupu itu bermain dan menari-nari diantara bunga-bunga segar, aku hanya bisa diam seribu bahasa. Tak hendak aku protes. Aku tetap lah aku, si bunga mawar yang layu. Tak akan ada seekor lebah ataupun kupu-kupu yang mau menjamah sariku ini. mereka yang dulu menari dan bercengkrama diantara aku, kini telah pergi meninggalkan aku sendiri. Membiarkan aku membusuk bersama kelopak-kelopakku.
       
Andai mereka tahu, betapa perihnya goresan dihati yang telah terukir perih ini. sakit. Sakit sekali. aku iri pada bunga-bunga segar itu. aku masih menaru harap pada lebah dan kupu-kupu itu, suatu saat nanti benihku akan tumbuh dan merekah kembali.  Tapi kapan waktu itu tiba ?
               
Yah, perumpamaan itu sepetinya memang telah melekat erat dijiwaku. Walaupun pada kenyataannya aku bukanlah setangkai mawar.  

***
Rasanya tidaklah seperti menginjakkan kaki diatas lantai yang tepat berada dibawah kaki ini. Hujan seketika mengguyur tanah yang tengah haus akan kehadirannya setelah sepanjang hari terpanggang oleh sengatan sinar mentari yang terik. Angin malam yang berhembus kencang, membuat jiwa ini seakan ingin jua terbang bersamanya, ingin ku ikuti langkahnya, membawa seluruh penat didada ini.

Terpikir dibenakku, mengapa rasanya Tuhan tak penah berpihak padaku. Entah sudah berapa billion detik, kaki ini masih sering terpaku di tempat yang sama. Goresan jejak langkah kaki itu pun masih terekam jelas dalam mata kalbu ini. Pun dengan uraian kata terakhir itu, masih melekat indah dalam jelaga hati. Ingatan ku pun langsung menerawang menuju ke dimensi waktu yang tidak akan pernah bisa terurai dan terenskripsi lagi. Hanya ada sebuah tatapan nanar tanpa arti, yang akan mulai menari dan bergolak didalam ruang rindu yang akan terus menerus memberontak dan menggelorakan sanubari ini.

Kugeser arah duduk ku, sembari mengambil sebuah catatan kecil, lengkap berserta pena berwarna biru, dari dalam tas hitam yang mempunyai corak merah sebagai pemanis. Hari ini tepat pukul 09.00 WIB, di bandara Radin Intan, ku mulai menggoreskan pena ini, goresan yang ke 240 akan kembali aku ukir dan kudedikasikan untuknya. Pagi ini tepat sudah 5 tahun, dimana dia meninggalkanku dalam sunyi, sepi dan tersekat oleh kesendirian di negeri ini. Lembar demi lembar catatan kecil ini, mulai terus terangkai dan membentuk suatu sinergi yang saling bertautan satu demi satu dalam setiap minggunya. Tepat pada detik ini pula, pesawat penerbangan ke Seoul itu mulai bergerak dengan perlahan-lahan untuk meninggalkan bumi Indonesia, serta meninggalkan tubuh ini dalam bingkai sepi.

“Ya, tepat sudah 5 tahun aku seperti ini. 5 tahun bertahan menjadi bunga yang layu hanya demi mengharapkan setidaknya seekor kupu-kupu atau lebah atau pun kunang-kunang kuning keemasan itu mau menghampiriku walau hanya sesaat.
       
Tidakkah kau ingat padaku ? 5 tahun yang lalu, engkau meninggalkan aku sendiri sini. Tepat dibangku ini. selama bertahun-tahun air mata ini tak kunjung kering juga. Seiring dengan hujan yang turun diluar sana, air mata ini tak kunjung reda. Terus mengalir membasahi catatan yang terpangku tak berdaya menjadi saksi bisu perpisahaan kita.      
        “aku Cuma mau bunda kembali”, hanya itu permintaan sederhanaku. Apakah itu berlebihan untuk Tuhan ?
       
Kembali terlintas dipikirku, peristiwa 5 tahun yang lalu. hari itu tamparan keji aku terima dalam dada ini. seorang wanita yang sangat berarti bagiku, pergi begitu saja tanpa melihat aku yang menangis tersendu-sendu. Ia pergi ke negeri itu. negeri yang mungkin menjadi negeri impian baginya, Seoul.
“Bunda bakal kembali buat Rinda. Tunggu bunda, sayang”, itu kata terakhirnya yang masih aku ingat. Tapi ia tak kembali kepelukku lagi. Ia terhempas oleh belaian angin dinegeri itu dan lalai sudah raganya dimakan buayan dunia. Ia tak akan pernah kembali.

Begitu bodohkah aku selama 5 tahun ini? Dimana setiap minggu nya aku selalu menyempatkan diri ketempat ini, hanya untuk sekedar mengenang dan mengharapkan dirimu datang kembali, meskipun itu hanya untuk memberikan sedikit senyuman mu kepadaku.

Tidakkah dirimu ingat kepadaku??

Ahh..kenapa juga dirimu harus pergi, kenapa juga aku engkau tinggalkan di tanah tumpah darah ini sendirian. Kenapa? Kenapa? dan kenapa?

Tanpa aku sadari, darah ini mulai mengalir dari hidungku, menetes membasahi catatan kecil yang sudah teramat sangat usang dan sudah dipenuhi dengan ribuan isak tangis serta tetesan darah yang dengan nikmatnya keluar dari hidungku. Ya beginilah aku, ketika hati ini mulai lelah akan dirimu, tubuh ini pun tidak kuat untuk menemani ku.

Segera saja aku mengambil tisu berukuran kecil yang mempunyai corak boneka barbie sebagai penghias bungkusnya, untuk sekedar menyeka hidung ini, dengan isak tangis yang masih saja terus mengalir.

bodohkh aku Tuhan? Mengapa Engkau tidak pernah adil terhadapku?

Kenapa rasa ini tetap saja engkau hangatkan, meskipun sudah 5 tahun berlalu. Kenapa? Kenapa tidak Engkau bekukan saja dalam dinginnya Nitrogen di relung pikirku.

Ahhh..kenapa juga aku harus menantimu, tapi…..

Aku harus ada disini, siapa tahu minggu depan kamu akan pulang ke negeri ini dan menemuiku, karena aku percaya itu…

..karena engkaulah aku ada, ya karena dirimulah aku bisa beranjak untuk melepaskan semua belenggu masa lalu, yang dengan kejam tanpa belas kasih membelengguku, merantaiku dan menghempaskanku ke dalam derajat kenistaan.”

“sahabat ? ah, tidak. Setelah engkau pergi, aku tak memiliki seorangpun. Mereka semua telah meninggalkan aku, Bun. Aku dianggap gila dan tak berguna. Aku ingin mereka tahu, Aku tidak gila ! aku hanya menunggumu disini.

Pecuma aku sekolah. Aku hanya dikucilkan, dipojokkan, tak dianggap. inginku mereka tahu, aku ada, aku nyata. Aku hanya sedikit berbeda dari mereka, dari bunga-bunga mawar yang lainnya. Mungkin, bila diibaratkan, aku hanya bunga mawar yang tak memiliki benang sari. Aku hanya sedikit cacat.

Bunda, aku hanya bisa menunggu disini. Berharap engkau pasti akan datang padaku.setidaknya memberikan sedkit kekuatan untuk aku kuat menghadapi cobaan ini. Bunda, dulu, disaat mereka bermain bola bekel, aku hanya bisa diam memandangnya dengan tatapan iri. Aku ingin, tapi… mereka tak menganggapku. Setiap kali mereka bermain, bercanda, bergembira, aku hanya bisa menyaksikannya dengan mataku. Bertahan ? aku selalu bertahan. Aku telah coba melampiaskan semua itu, aku bermain sendiri dirumah. Tanpa seorang teman. Hanya sendiri. aku mencoba tersenyum saat bola bekel itu tak bisa ku tanggap. Aku hanya tertawa semu saat keong-keong itu tak muat aku raup.

Namun, tetap saja ada rasa yang kurang. Rasa penyemangat darimu dulu  itu tetap saja tidak menemani bersamaku. Bahkan ketika tegukan air pertama ini mulai masuk dalam kerongkongan, membasahi rongga hati, tangis ini pun meledak, bulir-bulir panas ini mulai berjatuhan membasahi pipi dan menetes sehingga membuat catatan kecil itu semakin kusut.

Masih dalam tangis, aku pun mulai beringsut ke sudut sofa di terminal tiga itu. Nampak beberapa mata menatap dengan rasa iba dan penuh dengan tanda tanya. Tanpa ada suara, tanpa ada nada, hanya desahan nafas yang terasa semakin berat, dan semakin mengikat serta menyekat tenggorokan.

Mata ini terasa semakin berat, berputar, dan menampakkan binar kunang-kunang berwarna kuning keemasan. Masih dalam diam di pojok sofa berwarna merah marun itu, dengan berharap semua kegilaan ini menghilang dengan sendirinya. Namun…tubuh ini menjadi semakin ringan, kaki inipun mulai terasa dingin menggigil, pandangan ini semakin kabur, keringat dingin mulai membasahi semua nya, tangan, tubuh, dan pakaian yang kupakai pun bermandikan keringat ini. Lemah kaki ini tidak mampu untuk sekedar menyangga, bibir ini pun serasa terkatup membisu serta terkunci rapat dalam diam tanpa mampu untuk sekedar meminta bantuan, tangan ini pun seperti terantai oleh dinginnya hawa kematian. Aku akan menyusulmu. Tungu aku...




2 komentar:

  1. keren, sungguh menyayat hati. dg backsound yg harmoni,semakin mampu merasuki relung jiwa... tulisan yg hebat..

    BalasHapus
    Balasan
    1. Terima kasih atas kunjungan & menyempatkan membaca tulisan saya mbak Zara ^^

      Hapus