Kamis, 07 Oktober 2010

Cerpen - ketika hujan menghapus debu

Ketika hujan menghapus debu

Perempuan itu berdiri tegap dibalik tebalnya embun dipagi buta ini. Aku hanya memandanginya dengan pandangan nanar. Tak luput sedikit pun aku menoleh. Air mata pun mulai menggenang dibola mataku. Hatiku memilu seketika.
        Ia terus berjalan tak tentu arah. Menerobos tebalnya kabut dan udara dingin yang menyelimuti tubuhnya seakan-akan menusuk hingga kedalam tulang, tetapi ia sama sekali tidak memperdulikan hal tersebut. Langkah kakinya malah ia percepat, meninggalkan aku yang berdiri sendiri jauh dibelakangnya.
        Kepergiannya memang menyisakan bekas sara yang menggores hati. Tak sadar, air mata kini deras mengalir dialunan pipiku.
        Ica, itu sapaan yang biasa melekat pada dirinya. Ia adalah seorang sahabat yang berhati mulia, selembut sutra, dan seindah berlian. Sayang, Ia telah memilih jalannya untuk pergi. itu keputusannya.
        Aku tersungkur ditanah. Jujur, aku tak sanggup bila tanpa kehadiran sesosok sahabat terbaikku. Entah mengapa, lidah ini tergerak untuk berkata-kata, ”icaa.. !!!” aku menjerit diiringi tangis kehilangan.
        Ica yang telah berjalan cukup jauh, entah bagaimana, menoleh kearahku yang tersungkur. Ia menoleh, tapi tidak kembali, ia hanya diam disana. Terlihat beberapa kali ia mengusap matanya.
        Ingin kaki ini mengejarnya, namun aku tak kuat untuk melangkah lagi. Tenagaku terkuras habis oleh rasa ini. bilamana aku menjerit, aku menangis, dan aku mengejar kepergiannya, apa mungkin ia akan melakukan hal yang sama denganku. Ini adalah keputusannya, tak akan ada seorang pun yang bisa mencampurinya.
        Penyesalan, tinggal ungkap kata penuh makna dihati. Hilang sudah kini sahabat terbaikku, yang tak lain akibat ulahku sendiri. Akibat keegoisan diriku. akibat cinta. Ya, cinta yang tak terbalaskan, tetapi terhapus oleh hujan air mata.
Semua berlabuh pada lelaki itu. Ivan. Awalnya tak ada yang terlihat begitu istimewa dari penampilannya yang sederhana itu. Hanya berkemeja biru dipadukan dengan sepasang celana panjang hitam, itu lah pakaian yang ia kenakan beberapa hari yang lalu. Jika dilihat dari luar, sungguh tak akan ada satu pun hati wanita yang tergetar, namun berbeda dengan hatinya.  
Aku merasa ada sebuah rasa yang tak dapat aku tolak. Rasa yang bergejolak dihati, ketika melihat pada pandangan pertamaku. Aku kira aku memiliki rasa Cinta pada Ivan. Jelas aku malu mengungkapkan pada siapa pun, itu wajar.
Tetapi seiring berjalannya waktu, Ivan justru lebih sering berjumpa dengan aku. Terutama setelah sekolah usai, kami selalu pulang bersama. berbeda dengan Icaa, aku merasa ia tidak memiliki rasa apa pun didalam hatinya itu. ”Hanya sebatas teman” itu kata yang terucap dari bibir manisnya setiap ada yang bertanya tentang Ivan padanya.
Hari itu, hari Minggu. Aku dan Ica sengaja pergi kepantai yang jarknya tak begitu jauh dari rumah kami. Sejak kecil, kami selalu bersama. Syifa dan Ica. kedua orang tua kami telah pergi sejak kecil, namun kami bukan saudara kandung. Kami bedua, dibesarkan disebuah panti asuhan.
Aku hanya menatap ke garis cakrawala. Langit sedang membiru dengan indah. Sebentar lagi, laut akan berwarna jingga, matahari akan tenggelam. ”Sungguh pemandangan yang sangat eksotis kalau saja ditemani sepasang orang tua yang aku cintai dan mencintaiku. Tapi aku tahu kedua orang tua ku enggak pernah mencintaiku mereka rela menelantarkan aku dipanti ini. ” batinku.
Air mata ini jatuh kepasir, jujur aku tak sanggup, aku tak bisa, aku tak mampu, dan aku tak mau seperti ini. melihat paras mereka pun aku tak pernah, apa lagi kasih sayang mereka. Mengenaskan. 
Ica memandangiku sayu. Ia tersenyum simpul melihat aku menangis, ”Syifa, aku tahu kamu rindu sama orang tua kamu kan ? aku juga. Apa lagi disaat-saat matahari tenggelam seperti ini, sungguh indah memang jika ditemani orang yang kita sayangi dan menyayangi kita. Tapi sudahlah, ada aku untuk kamu. Kamu sahabat aku, aku rasa itu lebih dari menyayangi dan mencintai.” rayu Ica sembari mengusap air mataku. Ia memang sangat tegar, tidak seperti aku, cenggeng.
Aku membalas senyum manisnya. Entah perasaan apa yang mendorongku untuk memeluk dirinya. Aku memeluknya dengan sangat erat, seolah-olah tak ingin kehilangan dirinya sekali pun. Hanya Ica yang menyayangiku dan mencintaiku. Hanya ia yang peduli padaku, pada kehidupanku.
”ini ! dengarkanlah ! pasti kamu akan lebih tenang, ayo ambil, Syifa..” tiba-tiba ica menyodorkan sesuatu ditangannya. Aku menengambil benda yang ia berikan. Sebuah kerang yang indah dan cukup besar. ”makasih Ca..”. lagi-lagi ia membalasku dengan senyum anggunnya. ”sekarang coba dengerin.”. aku mulai mengikuti keinginannya. Kuletakkan kerang itu di telingaku, terdengar seperti hembusan angin pantai yang menyejukkan pikir. Susanannya sangat damai, tenang sekali.
”Syif, aku mau jujur nih..” tiba-tiba Ica memecah suasana. “Jujur apa, Ca ?” tanya ku penasaran. “tapi maaf ya sebelumnya Syif..”. perkataan Ica semakin membuat penasaran. “iya, apa ?”. “hmm.. ak..aku.. suka sama.. sama Ivan.”. aku tak dapat berkata-kata lagi. Mulutku terkunci rapat seketika, keringat dingin langsung membasahi tubuhku, air mata mengalir dengan sangat derasnya, membasahi pipiku yang memerah. 
Perasaanku bercampur padu. Getaran yang kurasa dihati sungguh menguncang emosi. Lautan dan langit hitam itu, menjadi saksi ketajaman perasaan. Ingin rasanya menjerit, tapi tak mungkin. Ica, sahabatku, orang yang aku sayang ternyata mencintai orang yang juga aku cintai, Ivan. Bayangkan, keji.
”aku tak memaksa, kamu tinggal pilih aja. Kamu pilih sahabat kamu atau Andhika, Syif ? aku ga bisa bohongin perasaanku. Aku percaya hati kecil ku berkata aku mencintai Ivan, walaupun bibir ini sering berucap aku dan dia hanya sebatas teman”. Jelasnya. ”aku ga bisa jawab Ca.. aku dihadepin sama dua pilihan berat itu ? kamu ga ngerti perasaan aku. Kamu jahat Ca ! ”. Aku memakinya dan langsung meninggalkan pantai. Aku pun sempat melempar kerang indah yang ia sempat berikan padaku tadi kearah Ica duduk.
Aku berlari sekencang mungkin, meninggalkan ica yang diam dipantai. Entah apa yang terjadi kemudian, aku sadar kembali ketika hari mulai pagi.
aku tersentak melihat sekelilingku. Biasanya dikamara ini Ica tidur bersamaku, tetapi kemana dia ?. aku berlari keluar kamar dan benar saja, Ica tengah berjalan pergi menjauh. Ia sempat menjerit dari kejauhan, ”Syif ! aku sadar, mungkin ini jalan terbaikku, biarin aku pergi, dari pada aku harus ngeliat kamu nangis. Kamu pantes sama Andhika, bukan sama aku, aku tahu itu. Maafin aku Syif !” pekiknya.
Aku berusaha mengejarnya, namun tak sampai, ia sudah terlalu jauh. Mungkinkah ini semua salahku ? salahkah aku bila memilih kekasihku, dibanding sahabat terbaikku. aku memang salah. Aku memang egois. Dan aku memang jahat.
           berlari kedalam panti, aku masuk kearah dapur, kuambil sebilah pisau. Semuanya rumit, Tetapi mungkin, pisau ditanganku ini, akan mengakhiri semuanya. Ya, semua kesalahanku. Semuanya akan berakhir ketika pisau ini menembus urat nadiku. Semuanya akan kembali normal, aku tak akan pernah menangis lagi karena cinta ataupun sahabat. Dan aku pasti akan tenang selamanya. ”a’..a’aaaaaaa ! sakiiiiiiiit !ssstt..ini demi kamu Ica. ”. Darah bersimbahan dimana-mana tetapi, aku tak peduli. Biarlah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar