Selasa, 21 September 2010

Cerpen - Lentera tinta Cinta yang terakhir

Lentera tinta Cinta terakhir

        Boleh saja aku yang selalu mengalah pada Cinta, adikku. Tetapi tidak untuk yang satu ini. Toni, kekasih hatiku. Aku sudah mencintainya sejak duduk dibangku SMP hingga aku kuliah saat ini. Tak mungkin aku melepaskan dirinya dari dekapku. sungguh mustahil rasanya.
        Memang sudah tugasku untuk membahagiakan adikku dan selalu mengalah padanya, tetapi apa harus untuk yang satu ini ?. jika aku melakukannya, sama saja aku melukai diriku sendiri, kiranya lebih baik aku menanggung sara, jika harus merasakan kepahitan itu.
        Cinta, adikku semata wayang, seiring bergulirnya hari, ia terus-menerus mendesakku agar merelakan Toni untuk dirinya. Ia mengaku begitu mencintai Toni, lelaki yang telah menjadi kekasihku selama ini.
        Perdebatanpun tak jarang terjadi. Cinta selalu berusaha mencuri kesempatan dalam kesempitan pada Toni. Tambah lagi, aku jarang berada dirumah, sedangkan Toni sangat sering berkunjung kerumahku sekedar untuk bersilahturahmi. 
        Siapa yang tidak dibuat kesal oleh perlakuannya ? kurasa tidak ada seorangpun. malam itu, tepat dibawah sinar rembulan, kami berdebat keras, papa dan mama hanya bungkam melihat sikap kami. “kak ! aku cinta sama kak toni, kak. Tolong kak, kali ini aja, ikhlaskan dia untuk aku kak ! Cinta mohon kak..” terangnya berkali-kali padaku. Aku sama sekali tak menghiraukannya sama sekali.
        ”Aku hanya tak rela melihat Toni bersama Cinta, aku tetap bersikukuh pada pendirianku karena aku sungguh mencintai pria yang telah aku kenal sejak SMP ini” bisikku dalam hati. Walaupun Cinta merupakan adik kesayanganku, tetapi tetap tidak mungkin, karena perasaan itu tidak dapat dibohongi.
Tiba-tiba ditengah perdebatan keras itu, Cinta jatuh pingsan, entah apa sebabnya, tetapi aku rasa itu adalah hal yang tak perlu dikhawatirkan. Papa Tomi dan Mama yang begitu panik langsung berusaha menyadarkan Cinta, dan alhasil, ia pun kembali tersadar.
        Meski aku marah besar, Cinta tetap pada pendiriannya. Dia harus mendapatkan setiap keinginanya. Entah apa yang ada dalam diri anak yang kini duduk di kelas 3 SMU ini. Kejadian serupa terjadi berulang-ulang dan berakibat Cinta pingsan. Papa dan mama semakin bingung. Cinta akhirnya masuk rumah sakit. Sedangkan aku harus harus pergi ke Bandung untuk berkuliah.
        Tiga bulan kemudian, aku kembali dikejutkan pada sebuah kabar duka yang benar-benar membuat hatiku miris. Cinta, adik kesayanganku, meninggal dunia. Siang itu, sehabis menerima telpon dari mama, air mata tak henti-hentinya membanjiri kamarku, aku langsung menuju bandara dan kembali ke rumahku di palembang.
        Kehadiranku langsung disambut oleh air mata duka  dari papa dan mama. Aku langsung menuju kearah Cinta yang tengah terbaring tak berdaya, ku buka lembaran kain putih berwarna tipis yang menutupi wajahnya. Aku menangis histeris. Wajah yang menyampakkan kepolosan dan kesucian itu tengah pucat pasi. Tak banyak yang dapat aku lakukan, aku hanya mengecup keningnya sembari tak henti-henti melontarkan kata maaf padanya. Tapi terlambat sudah.
***
Tanpa aku ketahui, ternyata Cinta menderita kanker otak. Pada waktu itu umurnya hanya tersisa tiga bulan. Papa dan mama sangat sedih, tidak rela rasanya ditinggal oleh anak yang sangat dikasihinya. Namun mereka juga tidak mau terus terang pada ku. Mereka tidak mau mengganggu perkuliahan Ku. Terlebih lagi mereka harus tetap bersikap adil pada kedua anaknya.
Hingga tibalah pada saatnya. Cinta masuk rumah sakit. Betapa sedihnya saat anak keduanya itu mengerang kesakitan. Papa dan mama berusaha menghibur dan mengatakan semua akan baik-baik saja. Namun Cinta sudah mengetahui penyakitnya dan hari itu merupakan hari terakhirnya. Betul saja, hari itu memang hari terakhir bagi Cinta, meski dua orang dokter telah berusaha.
Aku tak sempat melihat saat-saat terakhir hidup Cinta. Namun aku tak percaya kalau adikku memang sudah pergi untuk selama-lamanya. Hanya sesal dalam hati. Andai saja aku tahu kalau Cinta mengidap penyakit itu, mungkin aku akan merelakan Toni. Kini hanya ada satu yang aku pegang didepan seongok tubuh Cinta, sebuah surat dari Cinta. Surat yang ia titipkan pada mama sebelum kepergiannya. Surat terakhir, ya... surat terakhir dari Cinta.
Buat Kak Kasih
Saat kakak membaca surat ini, mungkin Cinta sudah tiada. Namun kakak tidak perlu sedih, karena masih ada mama dan papa. Cinta juga telah menginggalkan kenangan indah. Kenangan yang tidak mungkin dilupakan sepanjang hidup kakak. Canda, tawa, suka dan semua yang ada dalam diri Cinta akan menjadi obat disaat kakak merindukan Cinta.
Sebenarnya Cinta juga tidak mau perpisahan ini. Namun Tuhan berkehendak lain. Bukan karena Dia benci sama kakak, tapi karena Dia menyayangi Cinta. Dia tidak menghendaki Cinta menderita dengan menahan rasa sakit yang berkepanjangan. Cinta yakin, itulah jalan yang terbaik bagi Cinta. Karena Dia selalu memberikan yang terbaik bagi umatnya.
Kakak tidak perlu menyesal dengan semua yang telah dilakukan selama ini. Karena Cinta yakin kalau semua itu akan menjadi keinginan Cinta yang terakhir. Cinta ngerti kalau perasaan itu tidak bisa dibohongi. Cinta tahu kalau kakak sangat mencintai Kak Toni, demikian juga sebaliknya. Tak mungkin kakak akan menyerahkan Kak Toni sama Cinta.
Kakak juga tidak perlu minta maaf. Sebelum napas ini berakhir, Cinta sudah memaafkan kakak. Justru Cinta-lah yang harus minta maaf. Karena selama ini telah membuat kakak resah dengan meminta sesuatu yang tidak mungkin kakak berikan. Yang pasti kehadiran Cinta telah mengganggu hubungan kalian. Itulah kesalahan Cinta selama ini.
Kini Cinta telah pergi. Tentu tak akan ada lagi yang mengganggu hubungan kakak dengan Kak Toni. Tak akan ada lagi yang meminta Kak Toni sama kakak. Kak Toni akan menjadi milik kakak selamanya. Satu permintaan Cinta. Sayangilah Kak Toni. Karena Cinta yakin kalau Kak Toni itu orang baik. Cinta berdoa semoga cinta kakak abadi. Selamat tinggal, Kak.
Salam buat mama dan papa
Cinta

Tidak ada komentar:

Posting Komentar