Sabtu, 16 Oktober 2010

Cerpen - Darah persahabatan

Darah Persahabatan

Mulutmu mengecap kata persahabatan padaku. apa maksudmu berucap sedemikian, kalau pada akhirnya perpisahan tengah terpampang dihadapan kita. Apa inginmu dari kata-kata penuh serat makna tersebut ?
        aku dan engkau, mungkin terikat dalam suatu hubungan yang indah, yang penuh kasih, yang maha kuat dan yang saling mengisi. mungkin terlalu sempurna untuk dituliskan. Persahabatan yang kekal, mungkin itulah yang dapat aku ucapkan untukmu.
        Aku tertawa bahagai saat kau senang, dan aku menangis pilu disaat kau sedih. Aku merasa kau adalah sahabat terbaikku, untuk selamanya. Selamanya sampai akhir waktu.
        Tetapi, mana janjimu, janji yang engkau ucapkan padaku ? janji dimana engkau mengatakan bahwa tidak ada satupun hal yang bisa memisahkan kita selain Tuhan. Andai engkau tahu, bukan air mata yang mengalir dari lubuk hatiku, namun air mata bening itu, telah berubah menjadi darah.
        Bisa kau bayangkan, seberapa besar kepedihan hatiku ? apa kau puas melihatku seperti ini ? apa kau sadar dengan semua ini ? mengapa dengan sebuah alasan yang tak cukup kuat, engkau rela meninggalkan aku sendiri tanpa siapapun didunia yang kelam ini, hanya karena engkau ingin menyusul kepergian orang tuamu dengan cara yang mengenasakan.
        Enggkau adalah lentera dalam kehidupan ini, engkau adalah musik pengisi jiwa dalam kesepian, dan engkau adalah alunan embun pagi yang menyejukkan pikirku. Apa engkau tahu, dahsyatnya sakit yang menujah benak ini saat engkau pergi menjauh dariku untuk selamanya. Sakit, sakit sekali. Sungguh.
        Dan semua berawal pada siang itu. Ya siang itu, saat dimana aku dan Dini dengan asyik berbincang ditaman, ia mengenakan sebuah mahkota yang ia buat dari serat jerami dan bunga-bunga kecil dikepalaku, tak teralu indah, namun memiliki makna tersirat yang besar.
        Saat itu pula ia menyampaikan keunak-punakkan hatinya padaku, ”Rini, aku pengen cepet-cepet ketemu Bunda disurga..”. ”maksud kamu apa sih, Din ?”, tanyaku penuh heran. ”kamu tau sendiri, dari kecil aku Cuma punya Bunda, Ayahku udah meninggal jauh sebelum aku lahir”, jelasnya. Untuk beberapa saat ia terdiam. Terlihat butit-butir air mata mulai mengalir  deras membasahi pipinya. Wajah putihnya itu, kini menjadi merah membara.
        Aku menatap kedua bola matanya, kuusap air mata Dini, lalu ku dekap lembut ia didadaku. ”Din, kamu harus kuat, aku bakal rela nemenin kamu sampek kapanpun, kita sahabat Din, aku akan selalu berbagi cinta dan kasih buat kamu, karena Cuma kamu sahabat aku yang terbaik. Kamu ga boleh ngomong kaya tadi, sekarang kamu dengerin detak jantung aku, biar kamu lebih tenang”, rayuku.
        Dini hanya diam dalam dekap hangatku, aku memandangi matanya, begitu kosong, bibirnya terlihat kering, sedangkan matanya masih terlihat sembab. Ia seperti orang tak tak lagi memiliki semangat, entah mengapa, secara tiba-tiba ia teringat akan Bundanya, yang meninggal sekitar 3 bulan yang lalu. Mungkin karena ibunda dari Dini tidak meninggal secara wajar, ia dibunuh, dan sampai sekarang pun kasus itu belum terungkap.
        Aku tak tahu apa isi pikiran Dini saat itu, ia mencoba melepaskan dekapanku dengan lembut, lalu memandang nanar mataku sesaat dan berlari menjauh dariku, entah kemana.
        Aku hanya membiarkan ia berlari menjauh dariku, mungkin ia ingin sendiri saat ini. Tetapi, keesokan harinya, apa yang aku temukan didalam rumah dini adalah ruangan yang bersimbah darah dengan seonggok perempuan cilik, yang tengah tak berdaya. Ia lah Dini, sahabatku.
Tetapi semua angan tengah terhapus oleh cairan kental ini, Darah. Semua berlumuran darah. Semuanya bersimbahan dihadapan mata kaki yang tegap ini. Mataku hanya tersorot tajam menatapnya, pandanganku penampakan kekosongan yang membingungkan. Semua berlumur merah. Tak luput satu barangpun terhelau. Aku menunduk ragu, langkah kakiku tak menentu melewati lautan merah ini, menapakkan jejak jelas dikaki.
Aku bersungkur diatas lumuran cair itu, ku renggangkan jari-jemariku, ku sentuh perlahan, namun menyakitkan. Pikiranku bungkam, entah apa isi otakku saat ini, aku tak menangis, aku tak tertawa, aku pun tak menjerit, aku hanya diam memandangnya.
Baru kali pertama aku menjumpai hal seperti ini. Yang pertama kali dalam hidup. Terlintas dihadapan, sesosok perempuan cilik yang tengah terbujur kaku disudut pojok ruangan. Ku pandangi perlahan, tangannya terus menjadi sumber mata air cairan merah yang kental itu, badannya terlentang dilantai, kakinya terlihat kaku, mengenaskan sekali.
Entah, tapi mungkin air mata ini hilang diserap mata hatiku. Tulang air mataku tak bergetar sama sekali, wajahku menampakkan kebungkaman, tapi hatiku menjerit.
        Ada rasa ingin mencampakkan muka, namun tangan ini tak berdaya. Terlumur darah yang melekat tak terkendali. Mungkinkah aku tak menangis ?
        Segerombolan orang menghampiriku, mencoba mengangkatku, namun aku tetap bersikeras diam ditempat. Mataku tak berkedip sama sekali, sakit yang menujah hati tak dapat diukur lagi, naas, air bening itu mengalir seketika dipipi.
        Apa maksud tersirat dari semua ini ? dosa kah aku jika ingin bahagaia ? apa salah aku ingin mendapatkan kasih sayang dan cinta dari sehabat terbaikku ? Tuhan, dosakah aku ? jika mungkin, saat ini juga, aku ingin menyusulnya, karena ia adalah bagian pengisi jiwaku.
        Rasanya baru kemarin ia memluk erat tubuhku, namun kini ia hanya tergeletak dilantai itu, ia menjadi kaku, ia pucat, dan ia tak bergerak sama sekali, bola matanya menjuru keatas, mencampakkan pemandangang yang menyedihkan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar