Sabtu, 05 Maret 2011

Cerpen - Sebuah dilema

Sebuah Dilema

“Rafiii.. raf ! ayo ngomong sama mama kalo kamu ga kenapa-napa nak.. rafiiii ! jagan tinggalin mama...” mama Rafi memeluk tubuh anaknya yang tengah tergoleh lemas tak berdaya. Ia menjerit histeris, menangis sejadi-jadinya, berusaha meyakinkan sekumpulan orang yang berada dikelilingnya bahwa anaknya masih bernyawa.
Semakin histeris tangisnya, semakin banyak pula para pelayat yang berdatangan sekedar untuk memberi luapan bela sungkawa. Beberapa dari mereka turut hanyut dalam rasa kehilangan. Semantara tak sedikit pula yang berusaha membendung kesedihannya, pergi menjauh dari keramaian di pagi itu, mencoba menenangkan diri. Seperti yang kulakukan.
***
Nama lengkapnya adalah Rafi Al-akbar. Kami biasa menyapanya Rafi. Ia tinggal disamping rumahku bersama ibunya sebatangkara. Ya, ibunya adalah seorang janda tua yang telah renta dimakan usia. Ayahnya telah lama meninggalkan mereka demi seorang gadis kota. Entah telah berapa lama. Aku sendiri tak begitu ingin tahu.
Aku tinggal disebuah kompleks perumahan yang tidak begitu elit dipinggir kota Metropolitan. Mungkin tak pantas disebut perumahan atau mungkin cocoknya sebuah perbedengan sempit.
Hanya sebuah kamar berukuran 3 x 2 meter yang mampu aku sewa sebagai termpat berteduh. Tak terlalu nyaman, jarak antara kamar satu dengan yang lainnya hanya dibatasi oleh sehelai triplek yang tak terlalu tebal. Setiap malam aku bisa mendengar suara Rafi yang bermain gitar didepan teras rumahnya dan tak jarang pula dikala pagi menjelang aku dapat mendengar suara pertengkaran  rumah tangga tetanggaku yang lainnya.
Berisik memang, namun aku justru memilih untuk menjadikannya sebagai ide dan inspirasi dalam karya-karya tulisku. Ya, aku adalah seorang penulis. bukan penulis terkenal tentunya, Mungkin kata penulis amatir cocok untukku.
            Rafi adalah remaja berusia 13 tahun. hobinya adalah bermain gitar dan menggangu tetangganya. Tiap kali aku sedang fokus menulis, ia selalu datang untuk sekedar memamerkan bakat nya padaku atau menyampaikan kata-kata gombalnya padaku. Ya, beberapa kali sudah ia menyatakan perasaannya itu. Perasaan yang tak pernah dapat aku terima.
            Rafi telah putus sekolah sejak mamanya mulai tak mampu untuk membiayainya lagi. Maklum saja, Bu Narti, mamanya, hanya seorang buruh pikul dipasar. Pergi di pagi buta dan kembali di kala malam menjelang dengan gaji yang tak dapat memadatkan isi kocek. Wajar saja jika Rafi selalu menggangu ku karena tak pernah mendapat perhatian dari mamanya.
            kini adalah saatnya aku unjuk kebolehan. Ada lomba karya tulis yang hadiah utamanya adalah draft  karya tulis pemenang akan dibukukan. Kali ini aku tak boleh gagal ! itu adalah mimpiku seumur hidup.
“mbak.. mbak.. denger ya mbak.. mbak ! jangan nulis terus sih ! liat nih aku punya lagu baru… denger geh mbak ! mbak… ih dngerin dulu sih !” kecoh Rafi yang lagi-lagi datang mengganguku.
“nanti aja ya, Fi.. mbak lagi sibuk.”
“Jreng.. jreng… mau dibawa..kemanaaa.. hubungan kitaaa...jreng..jreng...” tanpa mengindahkan kata-kataku, jemarinya langsung memainkan kunci-kunci pada gitaranya sambil diselingi beberapa bait dari mulutnya.
            Jujur saja ia sangat menyebalkan. Suaranya fals, apa lagi nada-nada gitarnya itu, membuat telingaku makin bising. Konsentarsi ku buyar seketika. Ingin rasanya aku mengusir Rafi dari ruanganku.
“mbak.. jadi gimana.. mbak mau kan jadi pacar aku ? ya mbak ya.. pliiiss.. nanti aku terusin lagi deh lagunya buat mbak.. ya mbak ya ? ya ? yayayaya ?”
            Aku tak meladeni perkataannya. Aku tetap saja fokus kearah Laptopku, duduk tenang diatas kursi kayu sambil berusaha menahan gejolak amarah yang mulai muncul. Aku malas meladeni perkataannya itu. Mana mungkin aku berpacaran dengan remaja usia 13 tahun yang masih bau kencur itu, tetapi jika aku mengatakan “tidak” itu sama saja aku menyakiti perasaannya. cintanya adalah cinta monyet yang akan terbalaskan sebelah tangan olehku. Apa lagi ia sering menggunakan kata-kata kasar yang aku benci. Entah dari mana ajaran itu. Mungkin bawaan dari lingkungan sekitarnya yang diperparah dengan kurangnya rasa perhatian dari mamanya.
            Mungkin merasa diacuhkan, Rafi datang kearah meja kerjaku. Melihat kelayar laptopku, entah apa yang ia perhatikan. “ini apaan mbak ? kok bisa gitu sih mbak ? ya ? oh ada tombol-tombolnya gini ya ? tombol ini apaan mbak ?”  bertubi-tubi pertanyaan ia lontarkan padaku. Bingung aku meladeninya, tak mungkin aku memarahi anak kecil ini. Huh sangat menggeramkan.
            Puas ia bertanya-tanya, akhirnya ia diam juga. Ia hanya mematung memendangi jemariku yang terus sibuk mengetik, walaupun imajinasiku sudah buyar dan moodku sudah hancur. Tetapi tiba-tiba, tangannya mencoba meraih-raih kearah draft novelku yang baru setengah aku print, mungkin ia penasaran karena cover-nya sengaja aku beri design tokoh animasi anak-anak. tetapi belum sempat ia gapai draftku itu, seketika tangannya mengenai gelas air minum yang tepat berada di antara draft novel dan laptopku. Airnya mengenang membasahi draft itu dan membuat laptopku rusak, laptop yang aku beli dengan susah payah, dengan hasil keringt dan jeri payahku sepanjang karirku menjadi seorang penulis. Hasil tabunganku selama lima tahun, kini rusak. Semua tulisanku untuk lomba tiga hari lagi, nasibnya suram.
            Aku menatapnya dengan penuh emosi. Kugenggam bahun kanannya, “mbak kan udah bilang !! mbak lagi sibuk !” lontarku. Jujur, kali ini emosi tak dapat aku tahan. Mata Rafi terlihat memerah menahan air matanya. Kepalanya hanya ia tundukkan, ia tak berani menatap kearahku.
***
            Hari ini hari ulang tahun Rafi. aku sudah mempersiapkan hari ini sejak kemarin. Sebuah kado tak terduga telah berdiri diatas meja kerjaku. Benar saja, hari ini, Rafi datang kerumahku, tentu saja dengan gitarnya.
“mbaaak..” sapanya.
“iya, hey.. selamat ulang tahun ya.. mbak ada kado tuh dimeja. Kamu ambil sendiri aja ya..”
            Degan girangnya, Rafi masuk dan mengambil kado dariku. Tetapi dengan bodohnya, ia sampai tak melihat bahwa ada sebuah paku payung kecil berkarat yang sengaja ku letakkan dilantai. Ia pun menginjaknya.
            Aku menyeringai puas “akhirnya kena juga kau ! rasakan kau bocah nakal!” bisikku dalam hati. Namun jujur saja ada perasaan iba dan bersalah dalam benakku. Tapi rasa itu ditangkis dengan rasa dendam yang terus menjadi-jadi.
            Suara gitar dan nyanyiannya, kini berubah menjadi suara-suara rintihan dan tangis. Hampir setiap malam aku mendengarnya. Namun menurutku suara rintihannya adalah lebih baik dari pada suara nyanyainnya itu.

Lihat saja… akan kutunggu maut menjemput dirimu…
***
 Hatiku terasa ringan. Ini yang kubutuhkan. Inilah candu yang memicu aku untuk berkarya. Kali ini akau akan sukses menulis naskah untuk kompetisi penulisan novel tanpa gangguan bocah kecil itu. Dilemma dalam hati, untuk meneriman cinta monyetnya atau tidak terbalaskan sudah.

Aku bahagia… Teramat sangat bahagia…

             

Tidak ada komentar:

Posting Komentar